Mood Menulis - FLP Blitar

Ilustrasi


Kembali ke perbincangan kita Ahad (17/01/16) kemaren, bahwa menulis itu membutuhkan mood. Tentu saja mood itu penting agar kita mampu menghasilkan karya yang tidak hanya bagus, tapi juga berhasil diselesaikan. Untuk apa ide yang bagus, kalau itu hanya mengendap di kepala?

Namun mood tidak selalu menjadi faktor penting. Tergantung apa jenis tulisannya. Ketika masih bekerja di Majalah, dalam sebulan, saya harus menulis 2 hingga 3 buah wawancara dan mengedit 10 berita. 1 wawancara biasanya menghabiskan space 2 hingga 3 halaman. Apalagi waktu di koran, seorang wartawan harus mencari plus menulis minimal 4 berita dalam sehari. Artinya, seorang wartawan koran harian, mau tidak mau harus menulis lebih dari satu berita setiap hari.

Begitu pun dengan seorang dosen. Dosen berbeda dengan Guru. Dosen memiliki akses penelitian yang lebih luas. Termasuk peluang untuk menulis Jurnal dan Buku. Apalagi berdasarkan sistem kepangkatan terbaru, point diambil salah satunya melalui karya tulis yang dihasilkan.

Seorang dosen yang sudah PNS misalkan, dituntut untuk menghasilkan banyak karya tulis. Misalkan dalam dua bulan target satu buah jurnal. Menulis untuk jurnal pun tidak gampang. Hampir mirip seperti membuat skripsi, hanya saja penelitiannya bisa lebih terbatas. Atau misalkan, dalam satu semester (6 bulan), target satu buku. Tentu itu lebih menguras tenaga lagi, karena buku jauh lebih tebal dari jurnal. Padahal, tugas utama dosen kalau di Indonesia adalah mengajar.

Misalkan untuk pengajuan gelar Profesor, kredit pointnya harus mencapai 500. Padahal, satu buah jurnal yang ditulis pointnya hanya 10. Satu buku (kalau tidak salah ingat) pointnya hanya 20. Satu artikel ilmiah di media nasional, pointnya hanya 1 atau 3.

Betapa wartawan dan dosen/akademisi dihadapkan pada disiplin menulis yang begitu tinggi. Jika semua itu membutuhkan mood, tentu ini akan menjadi problem besar. Tapi menurut saya, mood itu ada hubungannya dengan jam terbang. Seorang wartawan tidak perlu mood untuk membuat sebuah tulisan, sama halnya dengan dosen senior. Disiplin menulis atau kebiasaan itu membangun profesionalitas.

Sama halnya dengan sastrawan senior yang selalu kita nikmati cerpen atau puisinya di koran dan majalah setiap bulannya. Dahlan Iskan sudah pasti menulis esai “new hope” setiap senin di Koran Jawa Pos. Kalaupun misalkan senin itu dia tidak menulis, kendalanya bukan mood lagi, melainkan waktu dan kesibukan.

Begitu pun dengan Goenawan Mohamad yang pasti mengisi rubrik catatan pinggir di Majalah Tempo setiap minggunya. Bahkan setahu saya, sejak tahun 70-an hingga sekarang, Om Goen belum pernah absen nulis disana setiap minggunya, kecuali pas Majalah Tempo di beredel rezim Orde Baru dulu.

Begitu pun dengan kolomnis Resonansi Koran republika yang di isi oleh Pimred Nasihin Masha, Ikhwanul Karim, Prof. Syafii Maarif, Prof. Azyumardi Azra dan Asma Nadia. Setiap harinya, tulisan lima tokoh ini bergantian mengisi rubrik tersebut. itu berarti, salah satu/dua diantara lima tokoh itu, membuat dua tulisan setiap minggunya karena satu minggu berisi 7 hari.

Ada yang lebih “ekstrem” lagi. Menulis satu artikel setiap hari dan itu sudah berjalan sekitar lima tahun ini. Tanpa jeda. Beliau adalah Prof. Imam Suprayogo, Mantan Rektor UIN Malang. Tulisan hariannya diposting di website pribadinya www.imamsuprayogo.com

Kalau masih mencari mood booster dalam menulis, mungkin jawabannya adalah jam terbang. Karena menulis itu hal teknis, sementara mood itu non teknis dan kita tidak tahu letaknya dimana. Mood itu bisa jadi gairah, passion, atau sejenisnya. Seperti misalkan ketika kita menyukai seseorang, kehadirannya selalu menggairahkan dan membahagiakan.

Pertanyaannya, apa yang membuat kita suka dengan dia? Pertanyaan serupa mungkin juga terjadi dengan menulis. Mood itu letaknya disitu. (*)

Blitar, 19 Januari 2016
A Fahrizal Aziz

No comments:

Pages