Belajar Teknis dan Belajar Substansi - FLP Blitar

Belajar Teknis dan Belajar Substansi

Bagikan
Belakangan terakhir ini saya membaca buku-buku Soekarno atau tentang Soekarno sekitar tahun 60-an. Salah satunya buku berjudul “Soekarno Mentjari dan Menemukan Tuhan” karya H.A Notosoetardjo. Tahun itu, belum diterbitkan EYD (Ejaan yang disempurnakan), menulisnya pun masih menggunakan mesin tik.

Jika mengoreksi tulisan-tulisan di tahun itu dengan EYD, tentu saja akan ditemukan banyak kesalahan. Terutama kesalahan teknis berupa tanda baca, kata, atau struktur kalimat. Karena, dalam beberapa tulisan di buku itu, masih ada tanda petik yang tak beraturan, koma yang jumlahnya lebih dari satu, dan titik yang lebih dari tiga.

Tapi terlepas dari benar tidaknya struktur teknis, kita bisa menangkap isi/substansi dari tulisan tersebut. Saya menduga, orang-orang terdahulu ketika menulis memang tidak terbebani EYD. Meski tujuan diadakannya EYD pun sebenarnya bukan untuk menambah beban menulis, melainkan untuk merapikan.

Hanya saja, yang sekarang terjadi, terutama di kalangan anak-anak sekolah, yang diajarkan serba teknis dan sangat struktural. Bagaimana tulisan yang BENAR, dan bagaimana struktur yang BENAR. Konsep BENAR inilah yang kadang membuat seseorang tidak bebas menulis. Apalagi, BENAR-nya disini tidak merujuk pada isi/substansi, melainkan pada hal-hal teknis seperti tanda baca, struktur kata, atau baku dan tidak baku.

Misalkan, perdebatan dalam sebuah tulisan sering kali ditekankan pada hal-hal teknis. Contohnya, debat mana yang benar antara “dirumah” atau “di rumah”. Padahal intinya tetap saja sama. Sejak SD, setiap ada tugas menulis cerpen, yang di coret, ditandai dengan bolpoin merah, selalu bagian-bagian yang teknis. Bukan isi/substansinya.

Padahal, kalau boleh jujur, sebuah tulisan –jika memang tidak kacau-kacau amat—mau bagus secara teknis atau tidak, intinya adalah isi/substansi dari ceritanya itu sendiri. Artinya, teknis atau struktur itu relatif.

Kalau mau kritis secara teknis, tentu buku-buku Raditya Dika dan Sujiwo Tejo akan dengan mudah kita salahkan karena menggunakan free style. Tapi toh buku itu diterbitkan dan diterima masyarakat secara luas. Jadi, asalkan sebuah tulisan tidak kacau-kacau amat, teknis itu sangatlah relatif.

Yang menyedihkan, seseorang gagal menyelesaikan tulisan karena pusing dengan hal-hal teknis. Padahal di otaknya sudah terbentuk konsepsi/ide/inspirasi yang sebenarnya itulah isi/substansi dari tulisan yang ia buat. Setiap mereka yang ingin menulis, sebenarnya isi dari tulisannya itu sudah ada dalam kepala masing-masing. Hanya kerap kali tersendat untuk dituangkan karena “terpenjara” hal-hal teknis berupa BENAR itu tadi.

Menurut saya, ide atau inspirasi itu dituangkan saja dulu. Hal-hal teknis dan struktur jangan terlalu dipikirkan, kendati itu dibutuhkan. Yang penting apa isi dari tulisan itu sendiri. Hal-hal teknis dan struktur itu bisa digunakan untuk ndandani tulisan, bukan menjelaskan BENAR TIDAKNYA.

Bagaimana cerpen yang BENAR? Sebenarnya tidak ada cerpen yang BENAR. Yang ada adalah cerpen yang BAIK. Dan konsep BAIK itu diukur dari isinya, bukan dari struktur teknisnya. Kalaupun harus dipaksakan konsep BENAR. Maka yang BENAR itu bukan cerpennya, melainkan tanda baca, struktur kalimat, paragraf dan sejenisnya. Bukan isi cerpennya itu sendiri.

Inilah yang harus dibedakan. Mana yang teknis dan mana yang substansi. Teknis itu bisa dipelajari sekejap, tapi substansi itu tidak bisa dipelajari, substansi muncul dari kepekaan pikiran masing-masing orang. Jangan sampai hal yang teknis itu membatasi kebebasan kita menuangkan ide-ide.

19 Desember 2015
A Fahrizal Aziz

No comments:

Pages