Jayengtilam dan Pembentukan Indentitas Lokal dari Cerita Panji - FLP Blitar

Jayengtilam dan Pembentukan Indentitas Lokal dari Cerita Panji

Bagikan
Oleh: Ahmad Radhitya Alam




Subagio Sastrowardoyo, penyair legendaris Indonesia pernah menuliskan, “Asal mula adalah kata. Jagat tersusun tersusun dari kata”. Namun, meyakini nenek moyang segala ilmu, juga tentu saja kata adalah mitos, juga sah. Jauh sebelum kata-kata diperas, diperah sampai apuh beban artinya, mitos lebih dahulu menyingkap makna sampai akarnya yang purba. Mitos-mitos itu kemudian berkembang menjadi tuturan sastra lisan turun menurun dan ditranformasikan dalam bentuk naskah fisik maupun artefak berbagai bentuk. Salah satu mitos dan sastra lisan yang dialihwahanakan dalam bentuk naskah dan artefak adalah cerita panji dalam Jayengtilam.

Jayengtilam, sastra lisan yang berkembang di peraduan. Ide dasar Museum Sonobudoyo dalam menggelar pameran akhir tahun AMEX (Annual Mueum Exhibition) adalah mengangkat kejayaan tradisi lisan yang hidup di mayarakat. Meminjam salah satu nama Panji yakni Jayengtilam yang berarti jaya di peraduan, pameran ini membawa ruh dari manifetasi sastra lisan yang diwujudkan dalam koleksi-koleksi museum.

Kisah setra-gandamayit dan astabrata mengawali penjelajahan ruang pamer dengan narasi setan, kepemimpinan, dan wayang yang berada pada masing-masing ruang. Kisah perempuan dan mitos ratu pantai selatan menyambut perjalanan menikmati pameran sebagai atu keatuan dari ide dasar sastra lisan. Di ruang tengah, kontestasi Budaya Jawa dengan kental diwujudkan melalui visualisasi pasren serta kosmologi yang menyertainya. Barulah kiah topeng dan tuturan mengenai nafu manusia menyambut dalam penjelajahan ruang berikutnya. 

Klimaks dari perjalanan menikmati pameran ini adalah menyelami cerita panji melalui koleksi wayang beber. Di ruang terakhir, pengunjung dapat berbagi kisah tentang pengalaman budaya dalam arti luas untuk dilisankan sebagai cerita. Sementara pengunjung lainnya dapat menikmati cerita tersebut sebagai tuturan dan kembali menghidupkan memori kolektif tentang tradisi lian di masyarakat.

Panji sebagai maha-sastra Nusantara lahir pada masa Kerajaan Kediri, abad ke-11. Kisahnya bertransformasi menjadi tradisi lisan antara tahun 1389-1429 M, yang kemudian terpahat di beberapa candi seperti Candi Panataran pada abad ke-14 dan Candi Kendalisodo pada pertengahan abad ke-15 M. Panji sebagai kekayaan intelektual Jawa kemudian diadaptasi oleh negara-negara kerajaan di Semenanjung Malaka hingga Birma. Spirit sastra lisan dan lokalitas yang dibangun dari Kisah Panji inilah yang mendasari terciptanya berbagai artefak dan naskah-naskah sastra dalam berbagai media. Bentuk-bentuk fisik itulah yang kemudian membawa kita menyelami kejayaan tradisi lisan, dan menerjemahkan berbagai pertanda yang ada di tengah masyarakat.[]

No comments:

Pages