Sowan, Tidak Pernah Usai Menata Niat - FLP Blitar

Sowan, Tidak Pernah Usai Menata Niat

Bagikan


Oleh: Dinan

Ada yang unik dari acara perekrutan anggota baru komunitas FLP Blitar yang berlangsung tepat tanggal 12 September sampai 13 September 2020. Ada wajah dua perempuan baru yang luntang-luntung dan canggung di lokasi. Yap, diantara 10 peserta ya cuma 2 perempuan yang rasanya kok berani sekali datang sementara mayoritas laki-laki yang daftar.

Ah iya, ada seorang perempuan lagi, Bu Miza. Namun begitu beliau adalah senior, FLP bukan lagi teman asing dan beliau adalah dosen yang aktif dan literasi adalah karibnya. Dua perempuan itu saya dan Risma. Risma adalah siswa kelas 9 yang semangatnya luar biasa. Jika tidak ada dia, mungkin saya sudah mundur ketika tahu mayoritas laki-laki yang daftar pakai alasan, “Maaf kak, dompet saya ketinggalan di rumah, saya pulang dulu ya,..”

Malu dan insecure pasti ada. Apalagi kami (saya dan Risma) bukan pembicara ulung dan tidak terlalu piawai memulai percakapan. Namun kami sudah tiba dan kalau kembali, alias “mbalik kucing” ya tambah malu, akhirnya berdua-dua saja perempuan ini mengikuti rangkaian agenda Open Recruitment anggota FLP 2020. Angkatan corona katanya. Special edition, atau entah bagaimana cara memanggil kami 10 manusia yang sama-sama haus ilmu literasi di acara ini.

Acara yang membuat suasana dan kecanggungan memudar bagi saya adalah ketika malam harinya di hari Sabtu. Malam minggu itu menghangat setelah para petinggi komunitas memperkenalkan FLP lebih dekat kepada peserta. Ada Kak Hendra selaku ketua umum FLP Blitar dan pengagas komunitas FLP di Blitar, Kak Fahrizal, yang menjelaskan sejak kapan FLP terbentuk, perkembangannya dan lika-likunya. Ternyata nama besar FLP tidak menjamin semuanya mulus-mulus ya. Banyak perjuangan dan naik turunnya sebagai komunitas yang semi organisasi.

Setelah pengenalan komunitas, acara berganti dengan panggung pensi atau saya lebih suka menyebutnya malam puisi. Tidak ada puisi yang hambar, semuanya terasa hangat, teduh dan bergelora. Sampai saya lupa kalau saya akan maju ke depan dan tangan sedang panas dinginnya. Apalagi tampilan Bu Miza, Mas Jon Blitar dan Pak Heru Patria yang memang sudah senior di sastra dan literasi. Jika biasanya saya minder, anehnya setelah itu saya malah semakin terpacu ingin juga bisa seperti mereka. Namun saya sadar diri, sudah gede begini saya sadar bahwa saya tidak cocok banyak-banyak cakap. Mungkin saya akan belajar bagaimana cara mereka menentukan, memutar, meletakkan diksi agar ciamik dibaca dan didengar. Nanti.

Oke, jadilah malam itu saya yang otaknya sedang blank membawakan puisi lama saja. Puisi rasa egosentris dan kanak-kanak. Bukan romansa atau yang gimana-gimana. Sementara Risma kawan saya perempuan satu-satunya itu, cara membaca puisinya dengan rancak sekali, intonasinya pas, puisinya cantik, orangnya juga, dan saya jadi penyeimbangnya, biasa-biasa aja. Oh ya,.. dongeng yang dibawakan Oma Merry Moe juga luar biasa menyentuh. Sederhana tapi plot twist dan amanatnya sempurna. Tentang seorang miskin yang dituduh berbuat curang tapi nyatanya orang yang menuduh itulah yang curang. 

Setelah acara itu berlalu, perasaan beban sebagai cuma perempuan berdua itu datang lagi. Tidak jarang, diawal-awal jam sore kemarin dan diawal hari Minggu nya saya dan risma berdoa “yuk kelar yuk, yuk udahan yuk balik cepet bisa nggak ya?”

Namun,.. ketika pembagian kelas, rasanya ada doa lain menggaung “Pulang agak sorean nggak apa-apa deh.” Kami sadar, ketika fokus pada pelajaran yang ingin kami gali, rasanya semua jadi nyaman. Kalau kata Risma, dia yang masih bocah bertanya-tanya, “Kenapa ya mesti yang pas akhir-akhir acaranya enak dan nyaman?” Saya pikir dia belum menghayati saja.

Perasaan ini sama seperti pulpen yang kalau tintanya mau habis malah makin hitam pekat dan enak buat menulis sebelum akhirnya tak bersisa hitam-hitam di selang. Belum tau saja dia jajan lebaran itu paling enak kalau sudah jadi remah-remah terakhir dan begitupun sebuah relasi, makin lama dan mendekati perpisahan, kenyamanan itu terbentuk dan rasanya semakin intim dan ngangenin.

Entah apa nama teori ini tapi sepanjang usia yang belum seberapa juga, saya belajar bahwa nyaman itu butuh waktu. Butuh waktu untuk masa bodoh, tidak peduli dengan kata orang dan pada akhirnya, ini tentang perasaan diri kita sendiri.

Adaptasi bukan perkara mudah. Sama seperti seleksi alam, siapa kuat bisa bertahan, siapa mau akan tetap hidup, dan begitulah berorganisasi juga. Salah satu yang membuatku berniat bertahan juga adalah karena memang sudah ada niat sejak lama. Saya rasa ini adalah balas dendam ter-epik yang pernah saya lakukan.

Semasa remaja tanggung, saya banyak membaca karya-karya penulis FLP. Bunda Sinta dengan kumpulan cerpennya “Bulan di atas Grotte Markt”, kumpulan cerita Fithri “Menuju Jalan ke Hati Bunda”, novel Afifah Afra “Buku Ini Tidak Dijual” dan masih banyak lagi yang saya lupa karena sebagian saya jual ke teman.

Saat itu saya jual karena saat MTs ada tuntutan sekolah untuk menyumbang satu buku untuk perpustakaan kelas. Nah, teman-teman saya yang tidak punya akses literasi minta saya untuk mencarikan dan pada akhirnya entah bagaimana dengan polos menjual aset berharga itu. Hah, menyesalnya baru belasan tahun kemudian. Karya-karya penulis FLP dulu sangat berkesan karena bahasanya mudah dipahami, konfliknya dekat, amanatnya mengena, mendidik tapi tidak menggurui.

Saya jadi kepingin nulis seperti itu juga, namun di masa lalu saya tidak tahu jalannya. Masih buta internet dan minim koneksi, jadilah saya nulis-nulis “sekarepe dewe” suka-suka saya. Tidak ada niat khusus selain menyenangkan hati dan masa bodoh dengan tulisan tangan yang model “cekeremes” (berantakan) kalau kata ibuk saya.

Ibuk yang mulai menanamkan semangat literasi sejak kecil, tentu support sekali dengan acara ini. Dan begitulah doa dari ibu cukup dan berbekal ini, in syaa Allah ada perlindungan khusus dari segala macam hal-hal yang tidak diinginkan.

Selain itu, motivasi lain kedatangan saya juga adalah keinginan agar bisa sering “sowan” (berkunjung/bertamu) dengan para penulis senior dan junior. Sama-sama saling belajar dan membangun semangat dari lingkungan dan saling bersinergi.

Oh ya, tak cuma sowan ke orang lain, tapi saya juga ingin bisa sering sowan sama “diri sendiri.” Salah seorang teman saya yang cinta dengan literasi yang mengingatkan ini. “Sowan sama diri sendiri” menanyakan apa kabar hati, apa maunya hati, dan yang terpenting karena hati itu sifatnya terbolak-balik, maka saya juga sadar menata niat dalam hati tak akan pernah selesai dilakukan sekali.

Dulu saya pikir, menulis hanya cukup yang membuat senang hati, tapi satu waktu lagi semuanya berubah. Saya ingin asal terkenal, kemudian lain waktu lagi saya pernah sepakat dan yakin bahwa inti menulis adalah mengutaran pikiran, tapi lagi,..berubah lagi, mencari uang berkarir, lalu berubah lagi yang uang itu perkara nanti, yang penting adalah bersumbangsih dan berkarya harus punya nilai, dan seterusnya dan seterusnya.

Membaharui niat tidak pernah cukup bagi saya dan pada akhirnya saya sadar bahwa akan selalu berguna menciptakan momentum, membangun lingkungan semangat berliterasi, biar bisa sering sowan sama senior-senior yang punya semangat tinggi dan pengalaman untuk meneguhkan niat dan mengingat apa niat kita yang sebenarnya.

Acara kemarin memang tidak terlalu dramatis yang seperti biasa diklat sebuah komunitas yang semuanya mengharu atau acara banyak foto-foto, namun cerita dari pak Budiono salah satu senior, dan pemerkasa FLP Blitar menutup acara setelah membacakan sebuah artikel yang berjudul “Wisata Kura-Kura”.

Melalui sepenggal kisah epilog dari buku Bo Wero karya Wandi S. Brata itu, saya belajar bahwa menjadi perlahan maknanya juga menjadi lebih cermat dan menghayati setiap jejak kehidupan. Mungkin tak lekas sampai, tapi kita menikmati proses itu. Wisata bersama kura-kura mengajarkan kita bahwa tak mengapa bergerak sedikit lamban, tak lekas sukses tak mengapa, cara Tuhan mengajarkan bagaimana proses itu adalah wisata yang harus dinikmati saja, dihayati dan kelak jadi berarti.

Saya sudah segede ini dan baru berani ikut komunitas menulis ya nggak apa-apa. Belajar dari temen-temen yang masih sekolah dam kuliah, juga oke-oke saja. Justru mereka yang masi tajam kepekaanya dengan lingkungan dan berfikir kritis yang segar. Beda dengan saya yang sudah masuk masa-masa life quarter crisis yag pikirannya sudah macam-macam tak karuan. Saya wajib hukumnya belajar dari mereka.

Alhamdulillah,.. bertemu dengan acara ini, bertemu FLP dan para anggotanya. Semoga ke depan bersama komunitas ini, saya bisa menguatkan hati dan yang terpenting akhirnya saya punya tempat untuk sowan.[]

No comments:

Pages