Alex Mendur & Frans Mendur : Kisah Heroik di Balik Layar Kamera - FLP Blitar

Alex Mendur & Frans Mendur : Kisah Heroik di Balik Layar Kamera

Bagikan
Oleh : Siti Nur Khairiah




Berbicara tentang sebuah peristiwa, tentu tidak bisa lepas dengan jejak-jejak yang ditinggalkan. Sepenting apapun peristiwa itu, jika tidak ada jejaknya, maka akan hilang dan tidak berbekas dalam hitungan waktu.

Masih ingatkah tentang peristiwa Proklamasi kemerdekaan di negeri kita tercinta ini? Momen di mana Sang Proklamator membacakan naskah Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56. Naskah yang diketik oleh Sayuti Melik dan ditandatangani oleh Soekarno-Hatta.

Dari mana kita tahu peristiwa itu terjadi? Ya, benar. Dari jejak foto-foto yang diabadikan pada waktu itu. Berkat jejak kemerdekaan itu pula kita bisa melihat perjuangan pahlawan bangsa. Semua itu diabadikan oleh Alex Mendur dan Frans Mendur.

Alex dan Frans adalah dua bersaudara yang dilahirkan di Minahasa, Sulawesi Utara. Alex Mendur lahir pada tanggal 7 November 1907 sementara adiknya Frans Mendur lahir pada tanggal 16 April 1913.

Kala itu nama mereka berdua sudah terkenal dan diperhitungkan oleh media-media asing. Oleh sebab itu keberadaan mereka pada saat Proklamasi terjadi segera diketahui oleh pihak Jepang

Alex Mendur dan Frans Mendur adalah fotografer kantor berita Jepang pada waktu itu. Mereka secara tak sengaja mendengar kabar di Harian Asia Raya tentang peristiwa Proklamasi. Keduanya lantas bergegas menuju Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.

Rupanya, hanya mereka berdualah fotografer yang ada. Mereka berdua berhasil mengabadikan beberapa foto dan video detik-detik peristiwa Proklamasi.

Namun, tidak semudah zaman sekarang yang dengan bebas mengambil gambar sesuai kenginan hati. Alex dan Frans disergap Tentara Jepang setelah Proklamasi selesai. Kamera mereka berdua dirampas dan filmnya diambil, lantas dibakar. Sebuah usaha dari Jepang untuk menghilangkan sejarah kemerdekaan Indonesia.

Beruntung, bahwa sebelumnya Frans sempat mengubur film di kamera miliknya ke dalam tanah karena ia tahu pasti bahwa tentara Jepang tidak akan mungkin membiarkan dokumentasi itu ada.

Setelah dirasa aman dan barisan pelopor Jepang sudah tidak nampak, mereka berdua lantas menggali tanah untuk mengambil negatif film tersebut. Sayangnya, Frans hanya memotret tiga momen saja. Namun itu tidak menyurutkan semangat mereka untuk berjuang. Mereka lantas segera mencetak negatif film.

Namun, untuk mencetaknya butuh keberanian dan mental baja. Mereka harus menyelinap diam-diam di malam hari. Bahkan mereka harus rela untuk memanjat pohon, melompati pagar dan mengendap-endap agar tidak tertangkap oleh tentara Jepang saat menuju lab foto. Sebuah usaha yang benar-benar menjadikan mereka berdua pantas disematkan gelar pahlawan.

Tiga buah negatif film itu berhasil dicetak dan segera disebarkan ke seluruh Indonesia melalui surat kabar yang digawangi oleh B.M. Diah. Foto-foto tersebut baru dipublikasikan secara nasional pada tanggal 20 Februari 1946, enam bulan setelah peristiwa Proklamasi terjadi.

Melalui foto ini, perjuangan mulai dilancarkan lagi oleh pejuang yang tidak ingin Belanda dan sekutunya masuk ke Indonesia untuk melakukan penjajahan lagi.

Meski berjuang dengan kamera, aksi yang mereka lakukan sangat heroik. Mereka mempertarukan nyawa mereka untuk publikasi dan dokumentasi. Tanpa usaha mereka, kita tidak akan benar-benar tahu peristiwa itu terjadi.

Sayangnya, selama hidup mereka berdua tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Jasadnya pun ditolak saat masuk ke Taman Makam Pahlawan meski beberapa tahun lalu mereka mendapat penghargaan Bintang Jasa dari presiden.

Itulah kisah perjuangan di balik layar kamera. Mereka adalah pahlawan pers Indonesia. Melalui tangan merekalah foto paling bersejarah dihasilkan.
Semoga perjuangan mereka menginspirasi kita terutama fotografer untuk berjuang demi bangsa melaui jepretan kamera.[]

Dikutip dari berbagai macam sumber.

1 comment:

Rene Lomeli said...

Thoughtful blog thanks for posting

Pages