Merantau ke Jakarta - FLP Blitar

Merantau ke Jakarta

Bagikan



Selasa, 2 Juni 2020

Saat baru berkutat dengan tugas-tugas kuliah semester pertama, seorang teman mengirimkan sebuah pesan via SMS. Dia meminta saran hendak merantau ke Jakarta.

Dia perempuan, teman Aliyah. Pesan itu ia kirimkan dari luar Jawa, tempat tinggalnya saat itu. Selepas lulus aliyah, dia memang langsung ke luar Jawa.

Saat itu usia kami belum genap 20 tahun. Saya membayangkan betapa ngerinya Jakarta, lewat berita-berita yang selama ini saya ikuti di televisi.

Singkat cerita, akhirnya dia merantau juga, menikah, dan membina keluarga di Ibukota. Mungkin hingga kini, sebab sudah lama tak ada komunikasi.

Saya juga teringat seorang teman yang merantau di Jakarta. Dia laki-laki, kami kenal lewat friendster. Agak lupa bagaimana awalnya, dia memiliki nomor hp saya dan kami terus menjalin komunikasi, hingga kini.

Kala itu mungkin dia mengenal saya lewat blog. Sebab ada banyak teman dari kota nun jauh sana, seperti Aceh dan Medan, yang juga mendapatkan friendster dari blog. Kami sering teleponan dinihari, memanfaat program free talk salah satu operator selular.

Merantau ke Jakarta adalah suatu harapan, dan sekaligus keterpaksaan, terutama bagi mereka yang tidak mau menjadi TKW/TKI.

Memang ada juga yang pergi ke Jakarta selepas lulus S1, bekerja di sebuah perusahaan bonafit dengan gaji di atas UMR.

Kerabat saya yang bekerja di Jakarta, menawarkan untuk ikut dengannya. Meski dengan pekerjaan yang belum pasti, namun ia memberi jaminan bahwa banyak yang bisa dikerjakan di Ibukota.

-00-

Seorang kakak kelas yang sering saya temui di warnet dulu, ternyata juga merantau ke Jakarta. Menjadi model katalog, mungkin juga model iklan atau artis figuran. Saya tak mengikuti.

Hanya sesekali melihat dia mengunggah foto bersama seorang artis yang wajahnya cukup familiar. Mungkin mereka satu manajemen atau bagaimana, entahlah.

-00-

Nyaris saja saya mendaftar untuk menjadi salah satu wartawan di koran nasional, yang berpusat di Jakarta. Berbekal koneksi dan info tempat tinggal andai saya jadi ke sana.

Namun Ibu saya tidak setuju. Saya tetap di Malang, dan akhirnya kembali ke Blitar.

Saat itu, Jakarta tiba-tiba menjadi tujuan yang menggairahkan. Apalagi setelah saya dapat tugas dari redaksi untuk wawancara beberapa tokoh nasional.

Untuk berkembang, atau melejitkan karir, perlu ke Jakarta. Pikir saya kala itu. Jakarta adalah pusat segalanya.

-00-

Tumpukan kendaraan memadati Jakarta kala sore menjelang. Di gerbong 1 kereta api Gajayana, saya mengamati deretan rumah di pinggir rel, juga tembok-tembok dan pagar yang disulap jadi jemuran.

Celana dalam, BH, kaos kotang tampak bergelantungan di antara kemeja dan celana jeans, kadang di antara pakaian bayi.

Melihat lokasi cuci piring yang hanya beberapa centi meter dari tempat buang hajat.

Pemandangan itu tergambar jelas dari balik gerbong kereta yang saya tumpangi, dan mungkin juga ditumpangi oleh beberapa wisatawan asing. Apa itu tak menjadi etalase yang memperlihatkan kondisi ibukota?

Kadang saya berpikir bahwa hidup di desa, di antara kebun dan persawahan, jauh lebih beradab meski pendapatan bulanan tak setinggi UMR di kota-kota besar.

Harga udara segar sangat mahal, bukan?

-00-

Kini keadaan mungkin sudah berubah. Era digital membabat batas ruang dan waktu. Adakah yang masih ingin merantau ke Jakarta ketika banyak hal bisa diakses dari daerah?

Obrolan itu biasanya terasa renyah dan jadi perhatian penuh, terutama selepas lebaran, yang bertepatan dengan kelulusan anak SMA dan sederajat.

Kebutuhan akan pekerjaan jadi suatu yang urgen. Merantau, atau lanjut kuliah?

Kedai MuaRa
Ahmad Fahrizal Aziz


No comments:

Pages