Rumah yang Dirobohkan - FLP Blitar

Rumah yang Dirobohkan

Bagikan

Sejak lama aku tak pernah tidur di rumah nenek. Ya sejak rumahnya dirobohkan dan diganti dinding batako keras berwarna abu-abu itu. Nenek bilang ia sudah lama memimpikannya. Di sekeliling situ memang tinggal rumah nenek yang terbuat dari bambu. Yang lain sudah menjelma menjadi gedung warna-warni dengan lantai mengkilap. Jadi memang tak salah kalau nenek ingin rumah seperti itu. Dia melihat rumah-rumah mereka setiap hari. Barangkali sempat masuk ke dalam juga dan merasa bahwa rumah seperti itu terasa adem saat musim panas tiba dan tetap hangat di musim dingin. Nenek memang sering menceritakan tentang rumah impiannya itu setiap bercengkerama dengan kami. Anak-anak dan cucunya.

“Tak apa rumah nenek kecil, asal rapet dari batako” katanya selalu mengakhiri penjelasan ceritanya.
Rumah nenek memang cukup luas. Berbentuk joglo tapi dindingnya terbuat dari bambu yang setiap tahun di cat warna putih. Rumah itu tinggi. Ada empat undakan menuju ke terasnya. Awalnya ada 5 soko kayu jati di teras nenek. 4 buah di teras. Dan sebuah soko di ruang utama. Akan tetapi ketika kakek sakit-sakitan, tahu-tahu saat aku kesana semua soko itu sudah berganti bambu. Katanya ada yang membeli kayu-kayu itu. Entah berapa harganya. Konon, kayu-kayu soko itu pemberian dari kakek buyut. Pasti sudah berumur puluhan tahun tentunya.

Tak lama kemudian, ganti meja ruang rumah utama yang kayunya baru. Ukuran dan bentuknya sama tapi bukan itu meja yang biasanya. Aku tak tahu apa yang aku rasakan. Tapi aku tak suka meja dan soko-soko itu hilang. Selalu terbayang aku bergelayutan, berputar-putar di soko itu, kadang sampai membuat nenek marah karena takut aku terjatuh. Sementara kakek hanya tertawa memperlihatkan sederetan giginya yang ompong.

Sebenarnya ibuku anak kedua. Tetapi karena kakaknya sudah meninggal jadi dia menjadi anak pertama. Aku satu-satunya cucu nenek yang terlahir disana. Biasa menghabiskan hari-hari di rumah nenek. Berlama-lama bermain dikali di timur pas rumah nenek, apalagi kalau bukan mencari cetol  alias anak-anak ikan yang baru menetas.

Aku satu-satunya cucu nenek yang hafal susunan setiap inci dari rumah nenek. Aku biasa bermain di seluruh kamar. Ya, seluruh kamar, juga membuka semua almari yang ada disana. Kalau aku meminta sesuatu itu jangan dibuang, nenek tak akan membuangnya walaupun itu hanya selembar kertas. Bisa dibilang begitulah mungkin cucu kesayangan itu. Aku hanya tinggal disana sampai umur 6 tahun karena setelah itu Bapak mengajak kami pindah ke rumah sendiri. Walau etiap liburan aku masih tetap ke rumah nenek. Entah kenapa ke rumah nenek lebih menyenangkan daripada pergi kemanapun.

Hingga malam itu aku mendengar bahwa nenek menjual separuh tanahnya. Dari hasil penjualan itu nenek akan membuat rumah kecil dari batako. “Pumpung ada yang mau beli” jelas nenek.

Beberapa hari kemudian rumah nenek pun di robohkan. Aku tak pergi kesana. Untuk sementara dia tinggal di dapur sampai rumah batakonya selesai dibangun. Ah, entah kenapa mulutku selalu mengatup setiap kali mendengar cerita rumah itu sudah roboh. Tetapi, mana ada yang peduli dengan suara gadis kecil sepertiku. Bahwa­- aku kesal rumah itu dirobohkan. Apalagi saat itu kakek sudah tiada.  Segalanya membuat semua kenanganku tentang kakek hanya bisa aku bayangkan. Ketika satu-satunya almari kayu jati dijual juga, hatiku semakin tidak terima. 

Sementara rumah bentuk joglo dari bambu itu masih sering menghiasi mimpi ini. Setiap lekuk rumah  tergambar jelas di ingatan. Kadang terdengar gelak-tawa aku bersikejar dengan kakek dan nenek di rumah itu. Rumah yang sekarang sudah dirobohkan dan tak bisa dilihat lagi wujudnya. Rumah yang menyisakan rindu tak berkesudahan. 

No comments:

Pages