Ketika Saya Alergi Buku - FLP Blitar

Ketika Saya Alergi Buku

Bagikan

Saya tidak suka membaca. Bagi saya, membaca adalah kegiatan membosankan. Mata saya selalu menyempit ketika menginjak  halaman tiga dan seterusnya. Dan akhirnya, buku menjadi andalan obat tidur yang paling ampuh sejauh ini. Jika ditanya berapa novel yang sudah saya baca? Hmmm..krik... Tentu tidak banyak. Dulu, jika saya penasaran isi sebuah novel. Saya mencari novelnya, memberikannya ke kakak, meminta kakak untuk membacanya sampai selesai, kemudian meminta untuk diceritakan ke saya. Malang. Begitu tidak spesialnya dirimu di mataku. Iya. Masih beberapa tahun terakhir ini, saya mampu membaca beberapa novel hingga habis. Luar biasa. Sebuah prestasi besar bagi saya pribadi.

Ya beginilah saya, harus menjalani hari-hari sebagai “manusia alergi buku”.

Sangat disayangkan bukan? Saya sendiripun miris harus menerima kenyataan ini.

Padahal, kita tahu betul. Membaca adalah salah satu pondasi utama dalam belajar. Belajar tanpa membaca itu; palsu dan kosong. Tidak ada cara lain selain – salah satunya – membaca, apabila seseorang ingin memiliki wawasan luas. Bahkan membaca adalah salah satu kunci bagi orang-orang yang ingin sukses.  Namun, memaksakan membaca – tanpa ada tujuan khusus – pun  tidak membantu mereka yang sedang dilanda alergi buku untuk bisa mengambil informasi dengan baik.

Lalu, bagaimana saya bisa bertahan dengan kondisi ini selama bertahun-tahun?

Baik. Yang paling penting dalam hal ini, adalah mengenali diri sendiri sebaik mungkin. Kita harus tahu betul, apa yang ditolak dan apa yang dapat diterima baik oleh otak. Saya tahu membaca bukan hobi saya. Sementara saya juga paham betul bahwa kebutuhan membaca itu sangat amat penting. Jadi, yang saya butuhkan adalah “how to react positively”. Berbagai cara saya lakukan untuk mencari alternatif terbaik agar saya senang membaca.

Dan ternyata, saya hanya akan mau membaca jika terdesak akan suatu hal atau merasa benar-benar membutuhkan. Terdesak dan merasa butuh adalah dua kondisi yang berbeda, yang mampu membuat saya berkenan membaca.

Kegiatan membaca dengan keadaan terdesak tidak memberikan hasil yang maksimal, malah hanya akan diterima sebagai upaya pemerkosaan terhadap otak.  Alhasil, otak hanya mampu menerima sebagian proses input yang saya lalukan, – atau bisa jadi otak malah trauma dengan apa yang telah terjadi Pasti, ada banyak informasi yang terlewat dan tentu cepat terlupa.

Berbeda ketika membaca karena merasa butuh. Hasrat merasa butuh dan akhirnya berdampak pada rasa ingin tahu, itu muncul dari kesadaran diri sendiri. Yang terjadi adalah, saya sangat antusias menemukan informasi yang saya butuhkan, sehingga mau tidak mau saya harus membacanya. Ada proses “keinginan” yang terjadi. Hal ini tentu akan diterima otak sebagai suatu reaksi positif. Reaksi positif akan ditransmisikan sebagai penyegaran otak. Dan ini baik. Harus dilanjutkan.

Hasrat “membaca karena butuh” tidak serta merta muncul dengan sendirinya. Memerlukan proses pancingan akan suatu kondisi. Jadi selanjutnya, tugas saya adalah memancing situasi. Selama ini saya memancing situasi dengan beberapa hal; menyusun life-goals dengan baik disertai langkah-langkah mewujudkannya, terus mendekatkan diri dengan lingkungan akademik, bergabung dengan komunitas literasi, dan banyak hal lainnya. Proses inilah yang harus dilakukan dengan padat dan terkontrol. Sehingga, semakin banyak saya menciptakan kondisi tersebut, akan semakin banyak pula referensi buku yang akan saya baca (terlepas dari variabel penghalang yang lain).

Terbukti. Meski membaca masih hanya dilakukan saat keadaan “membutuhkan” saja, tapi hal ini banyak membantu mengantisipasi rasa bosan membaca. Memberikan penawar sebagai pribadi yang alergi membaca.

Namun, bagaimanapun saya masih menyayangkan. Saya sendiripun sangat berharap bisa menjadi bagian dari kutu buku. Kemana-mana buku. Ditanya ini itu tahu. Dan tentu akan semakin dekat dengan apa yang dituju. Indah sekali rasanya. Tapi saya menyadari. Semua butuh proses. Dan setiap kekurangan, ada kelebihan.[]


No comments:

Pages