Tas Rajut Hijau part 1 - FLP Blitar

Tas Rajut Hijau part 1

Bagikan


"Hijau?" tanyaku tak mengerti. Dari sekian banyak warna yang ia punya, kenapa warna hijau itu yang ia pilihkan untukku. "Aku tak suka warna hijau. Bukan tak suka! Benci malah!" kubuang tas rajutan berwarna hijau pemberiannya. Tas rajutan bulukan yang ia buat dengan tangannya.

"Apa maksudmu?" tanyanya kecewa.

Sebaliknya kutatap sekelilingku yang penuh warna hijau dedaunan. Lagi-lagi aku merutuk, orang di depanku ini pasti sengaja mengajakku kesini.

Dia membungkuk dan mengambil tas rajutan itu, " Ini bukan buatanku? Ini buatannya. Ibumu" katanya lalu berbalik meninggalkanku sendirian disini.

"Apa maksudmu?" kuraih pundak tua itu dengan kasar. Lalu berdiri tepat di hadapannya.

"Aku bukan ibumu. Aku tak pernah melahirkanmu" jawabnya dengan tatapan hampa. "Kau bukan anakku" katanya dingin.
Dan mata kami bertemu. Kulihat air bening membasahi sudut matanya.

Dia mengalungkan tas rajutan warna hijau itu ketubuhku. Memelukku dengan hangat. Lalu menatap mataku dalam-dalam. Berbulir-bulir air masih menghiasi matanya.

Sebenarnya ada sesuatu yang menyeruak di ulu hati ini, dulu hal seperti ini pasti sudah membuatku menangis tersedu-sedu. Tapi tidak untuk hari ini. Mungkin rentetan peristiwa tiga bulan terakhir telah membuatku menjadi kuat. Atau air mataku malah sudah kering tanpa sisa.

Tetapi, aku berdiri seperti patung. Bergeming saat perempuan yang selama ini kuanggab ibu itu pergi meninggalkanku.
Kata-katanya terus terngiang-ngiang.

"Kau bukan anakku"Setiap kali kata-kata itu terdengar, aku selalu teringat dengan sosok itu. Rentetan kisah saat aku bersamanya. Masa lalu yang indah untuk dikenang. "Ibu" desahku pelan.

Pagi itu, cuaca dingin sekali. Aku baru saja terbangun dengan kantuk yang masih menempel dengan kuatnya. Kulihat ibu, lebih tepatnya dia yang selama ini kupanggil ibu - menghampiriku sambil tersenyum. Senyum yang selalu membuat hatiku berbunga-bunga dan menghilangkan segala dukaku. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh semua anak pada ibunya. Saat itu umurku masih 6 tahun.

"Sudah bangun sayang. Ayo mandi lalu sarapan" katanya sumringah.

Sementara aku hanya menggeliat-geliat saja di ranjang dengan malas. "Bentar,Bu" jawabku menawar.

Mendadak sebuah bola plastik mengenai kepalaku, "Dasar pemalas!" Suara kecil cempreng itu membuatku kesal. Suara Mas Anang, dua tahun lebih tua dariku.

Aku mengusap kepalaku yang sebenarnya nggak sakit. Dan mulai menangis. Kulihat ibu menjewer Mas Anang. Dalam hati aku bersorak senang, "Rasain, lu"

Sementara ibu lalu memelukku dan aku bergelayut dengan manja. "Ayo, mandi!" tawar ibu lembut

Terbayang senyum ibu ketika kami-aku dan kakak pulang dari sekolah. Katanya selalu ini, "Ganti baju, makan. Istirahat baru boleh main"

Ketika aku terluka, karena ada peristiwa di sekolah yang membuat luka, sampai rumah aku langsung memeluk ibu. Belaian ibu membuat hati ini tenang.

"Ibu! Ibuuuu! "Aku terduduk di tanah sambil menggenggam pasir. Mulutku tak berhenti memanggil ibu. Lirih. Tanpa air mata.

Barangkali menangis lebih baik dari begini. Atau seumpama bisa meraung-raung sepuasnya. Tapi sekali lagi, air matak memang seperti telah mengering.

************

Aku tumbuh sebagai gadis manis dengan tinggi semampai, rambut hitam lurus-berombak diujungnya. Kulit kuning langsat khas Asia. Mata yang lentik, suara emas yang pernah membawa pada juara menyanyi tingkat Jawa Timur.

Meski begitu di sekolah aku tak pernah pacaran. Ayah dan Ibu-tepatnya mereka yang kuanggab sebagai orang tuaku, mendidik aku dan kakak untuk fokus belajar. Jadi sudah tak mengherankan kalau selalu menjadi juara umum dan sering mendapat piala.

Kami memang difasilitasi untuk mengembangkan segala kemampuan yang kami minati termasuk bermain musik dan bernyanyi. Segalanya terasa sempurna saat itu. Kami benar-benar populer. Hingga pada suatu malam, ayah pulang dengan wajah kusut. Bajunya keluar separuh, rambutnya acak-acakan. Ini pertama kalinya kulihat ayah seperti itu. Kami terbiasa tampil dengan perfeck fashion.

Ibu menggandeng ayah ke sofa terdekat. Meminta Bi Inem membawakan segelas air putih. Ibu hanya diam. Dia tak bertanya ataupun mengajak bicara. Dia hanya memeluk ayah. Lama. Sangat lama. Ayah juga diam saja. Menyandarkan kepala di bahu ibu.

"Ayo, Anandita. Bangun! Kita harus berkemas. " ibu mengusap kepalaku dengan lembut.

Aku mengerjabkan mata, belum sadar sepenuhnya. "Kita mau kemana, Bu?"

"Kita akan pindah rumah. "Ibu menyorongkan koper besar dan banyak kardus besar padaku. "Satu jam" jelasnya.

Meskipun masih bingung, aku turuti apa yang dikatakan ibu, mengepak semuanya.

Ketika turun ke ruang tamu, kulihat semua orang sudah berkumpul disana. Termasuk tukang kebun kami Pak Rahmat, Pak sopir kami, Pak Kunta, dan Bi Inem pembantu kami. Mereka juga mengemasi barang-barang mereka.

Aku menatap ayah. Ayah ganti menatapku dengan tatapan nanar, dia masih berpenampilan seperti semalam." Maaf, Nak. Perusahaan kita bangkrut. Ayah tak bisa mempertahankannya."

Aku hanya memeluk ayah. Sama seperti yang dilakukan ibu. Bagiku, seorang pengusaha bangkrut itu adalah hal biasa. Aku sering melihat teman-teman ayah seperti itu. Dan sekarang adalah giliran kami.

Aku juga biasa melihat ratusan bahkan ribuan karyawan yang dipecat gara-gara bosnya bangkrut. Tapi aku tetap saja- tak tahan melihat hal itu. Bagaimana nasib mereka semua setelah ini?

"Oh, ayah melupakan sesuatu" ayah melepas pelukanku dan berjalan ke kamar kerjanya.

Tepat pada saat itu HP android ayah berdering. Terlihat sebuah nomor baru memanggil .Nomor itu sangat cantik sampai rasanya aku sudah hafal dan mengingatnya. Aku buru-buru mengangkatnya. O, ya di keluarga kami biasa seperti ini, seakan tak ada rahasia yang perlu ditutupi. Tapi yang kudengar adalah makian galak suara di seberang.

" Ouh, akhirnya kau mengangkat telponku juga. Kenapa sih, kamu tetap bodoh seperti itu? Berikan saja Anandita dan perusahaanmu akan baik-baik saja seperti sediakala."

"Maaf!" Aku shok. Apa hubungan aku dengan bangkrutnya perusahaan ayah? "Ini siapa ya?"

"Dita? Telpon dari siapa?" Ayah merebutnya dariku.

Melirik nomor yang ada di ponselnya dan langsung mematikannya, " Mulai sekarang, jangan pernah mengangkat telepon ayah lagi!" Katanya dengan nada tinggi.

Aku menatap ayah tak mengerti. Baru sekali ini ayah melarangku mengangkat telponnya dan membentakku.

Aku pun beringsut ke kamar dan mengambil ponselku. Aku harus menelpon ulang nomor cantik itu.

(bersambung)

Selanjutnya di http://www.flpblitar.com/2020/01/tas-rajut-hijau-part-2.html

No comments:

Pages