Cerpen_Nasib Tukang Sapu - FLP Blitar

Cerpen_Nasib Tukang Sapu

Bagikan



Nasib Tukang Sapu
oleh: Syaif Ahmad
Seperti hari sebelumnya, suara kemresek sapu lidi yang bergesekan dengan tanah berhasil membangunkanku. Tidak hanya itu, langkah terseok dan kaki terseret membuatku sebal karena harus membuka mata di pagi yang buta.
Lastri perempuan tua yang gagap bicara itu harus memikul beban berat  menghidupi keluarganya dengan menjadi tukang sapu di kampung, karena suaminya sudah tidak mampu bekerja. Si Marni  anak  satu-satunya yang diharapkan dapat mengurangi beban orangtua, malah pulang ke kampung dengan membawa tiga anak setelah diceraikan suaminya. Mbok Lastri tidak bisa berbuat apa-apa. Pendidikannya yang rendah dan gangguan mental yang pernah dialaminya membuatnya takut berhadapan dengan orang-orang.
Nduk Simbok hari ini belum masak, bangunkan anak-anak suruh minum air rebus pengganti sarapan sebelum berangkat sekolah. Dan jangan lupa ambilkan secangkir air putih untuk bapakmu juga. Doakan Simbok dapat uang pagi ini sehingga bisa beli beras.”
Marni yang masih memeluk si bungsu, mengangguk lemah.
Mbok Lastri segera bergegas. Ia mengambil sapu tuanya yang sudah memendek. Batang lidi pun tak genap l
agi jumlahnya. Sebagian patah tergesek tanah atau tersangkut batu dan akar pohon.  Sebenarnya tidak ada yang menyuruhnya menjadi tukang sapu. Semenjak suaminya tak dapat ke kebun lagi. Ia tak tahu menggantungkan hidup pada siapa, ditambah Si Marni yang pulang dengan tiga anaknya. Membuatnya lebih bersemangat bekerja. Kini hampir dhuhur ia baru pulang dari menyapu. Ia menambah tempat yang disapu, dengan harapan bisa menambah penghasilan. Kadangkala ada yang bermurah hati dengan memberinya uang lebih. Namun kebanyakan hanya menonton tanpa memberi apa-apa.
“Sudah pulang Mbok.” Tanya Marni.
Mbok Lastri mengangguk lesu. Mulutnya mengomel lirih melihat Si Marni mematut di depan pecahan kaca yang di dipasang di dinding bambu.
“Dapat uang berapa? Marni butuh uang buat bayar buku Seto dan beli susu buat si kecil”
“Kamu ini tidak mau kerja, tiap hari minta uang terus.” Jawab Simbok ketus.
“Simbokkan tahu sendiri Marni ini tidak laku kerja Mbok, tak ada orang yang menerima Marni. Mereka takut melihat Marni yang idiot.” Kata marni sambil tertawa.
“Simbok ndak dapat uang hari ini. Orang-orang kaya itu semakin pelit saja.” Jawab Simbok sedih.
“Ya sudah Simbok berhenti jadi tukang sapu saja.” Jawab Marni
“Lalu Simbok kerja apa?”
“Ya nganggur. Seperti Marni, ha...ha...”
“Dasar bocah gemblung.”
“Memang Marni gemblung, ha...ha...”
Lastri tak bisa menahan diri, ia keluar ke belakang rumah dengan langkah terseret sambil menangis. Ia meratapi nasibnya yang melarat.
***
“Simbok!” Sapa Seto dan Adim.
“Sudah pulang Nak.” Buru-buru Lastri mengusap air matanya.
“Mbok... minta uang dong, buat bayar buku. Kalau tidak besok kena marah Bu Guru.” Kata Seto sambil memegangi perutnya yang lapar.
“Adim juga Mbok. Pensil Adim dipatahin Aldo. Adim minta uang buat beli pensil. Oh ya mbok makannya sudah siap kan. Tadi pagi Adim belum sarapan.”
“Sana minta Ibumu” Kata Mbok Lastri sambil berlalu pergi.
Sore ini Lastri menuju rumah Juragan beras. Ia hendak hutang beras. Persediaan beras di rumah sudah habis. Namun ia tak mendapat pinjaman karena hutangnya juga belum dibayar. Lalu ia mendatangi rumah lainnya Kiai Usman, namun lagi-lagi nihil. Kiai Usman yang sudah naik haji lima kali itu, beralasan tidak punya uang. Mbok Lastri akhirnya pulang dengan isak tangis. Pak Saleh suaminya tertegun melihatnya.
“Sudah jangan menangis. Bapak masih punya satu pacul. Kamu jual ke pak Dirman. Beliau menerima barang bekas. Uangnya bisa kamu belikan beras.”
Lastri semakin deras tangisnya. Ia memeluk suaminya. Ia mengerti jika itu adalah barang terakhir yang belum dijual. Ia tak tahu lagi jika nanti tak ada barang yang bisa dijual. Sementara Seto dan Adim masih merengek minta makan.
Lastri segera bergegas ke rumah Pak Dirman. Rumah yang diharapkan bisa membantu ternyata tutup. Lastri segera berlari ke rumah sebelahnya. Beruntung ada seorang anak berbaju putih, sepertinya ia baru pulang dari masjid.
“Nak Pak Dirman kemana ya?” tanya Lastri terbata.
“Oh Pak Dirman sedang menjenguk anaknya yang lahiran Bu.”
Lastri mengangguk lemah. Ia tak tahu lagi menjual paculnya kemana. Ia terus berjalan terseok sambil menjajakan pacul. Namun tak seorangpun yang berminat. Daerah yang dulu subur kini berubah menjadi kawasan perumahan. Penduduk lebih banyak yang bekerja menjadi pedagang atau pegawai kantoran, daripada bertani. Mereka tak butuh pacul lagi.
“Pacul, pacul” teriak Mbok lastri parau. Hingga magrib menjelang tak satupun yang berniat membeli pacul bekas milik suaminya. Lastri menangis meratapi nasibnya yang melarat. Sejak pagi ia tak makan. Lemas dan lelah mendera tubuhnya yang ringkih.  Ia duduk di bawah pohon mahoni sambil menyelonjorkan kakinya yang bengkak. Dalam kesedihannya ia teringat Seto, Adim dan Si Kecil Sarah yang belum makan. Ia segera beranjak dari duduknya dan kembali menjajakan Pacul.
“Pacul, pacul” suaranya semakin lirih tak terdengar. Matanya yang lelah berbinar setelah melihat warung di depannya. Ia segera mendekati warung itu sambil menenteng pacul suaminya yang terasa semakin berat di pundaknya.
“Pak maukah Bapak membeli pacul ini?” tanya Lastri. Pak tua penjual makanan itu tak langsung menjawab. Ia mengamati sekujur tubuh orang dihadapannya.
“Maaf Mbok saya tidak butuh pacul. Saya tidak punya kebun.” Jawab pemilik warung.
“Bapak bisa gunakan untuk membersihkan rumput di sekitar rumah.” Usul Lastri.
“Halaman rumah bapak berpaving Mbok.”
Lastri tertegun. Ia tak tahu lagi apa yang akan diperbuatnya. Sementara keluarga di rumah sudah lama menunggunya.
“Oh ya sudah Pak saya tukar pacul ini dengan nasi saja.” Kata Marni diiringi isak tangis. Sementara Si Penjual nasi terlihat berpikir keras.
“Baiklah. Simbok minta berapa bungkus?” Kata penjual nasi.
“Kalau boleh lima bungkus Pak.” Jawab Mbok Lastri lemah. Ia begitu pasrah.
Pemilik warung mengangguk lemah.
Malam itu Marni tiba di rumah sudah sangat larut. Suami, anak dan cucunya sudah tidur. Ia membangunkan mereka semua dan memintanya untuk makan. Ia sendiri tidak makan. Biasanya ia makan jika ada sisa. Sementara keluarganya sedang makan, ia membersihkan tubuhnya di sungai belakang rumah. Ia dan keluarganya tak mampu membuat kamar mandi. Sehingga ia dan keluarganya menggantungkan kebutuhan air dari sungai yang sudah tidak bersih lagi.
Esoknya pagi-pagi sekali Lastri kembali menyapu halaman rumah tetangganya. Ia melaksankan tugasnya dengan iklas. Ia tak begitu berharap hari ini, karena memang sudah tak ada yang diharapkan. Pacul satu-satunya barang yang tersisa sudah ditukarkannya dengan nasi. Hari ini ia pasrah. Sesekali ia mendongak ke langit. Dan tak ada lagi gurat kelasah di wajahnya.

 Blitar, 6 September 2019




Biodata:

Syaif Ahmad bernama asli Ahmad Saifudin lahir di Tulungagung, namun sejak kecil berdomisili di Blitar. Kesehariannya sebagai Dosen di UNU Blitar dan LKP SMART sebuah Pendidikan Luar Sekolah yang bergerak di bidang pendidikan. Beberapa karyanya terbit di majalah dan koran regional.
Nomer yang bisa dihubungi: 085649305903



1 comment:

tjoekherisubiysndono said...

cerpen hambar gak ketemu endingnya

Pages