Cerpen : Karman Pulang - FLP Blitar

Cerpen : Karman Pulang

Bagikan


Oleh Imro’Atus Sa’adah

Laki-laki yang sedang berjalan kaki itu, tinggi besar, memakai kaos katun warna biru dan celana hitam dari katun juga. Dari pakaiannya tampak seperti biasa saja. Tapi begitu melihat rambut panjangnya yang awut-awutan , kumis dan jenggot yang entah sudah berapa lama tak pernah bercukur itu, kamu akan mulai berpikir bahwa dia beda. Ya ... setidaknya begitulah pendapat warga di kampung Sibaweh. Nama laki-laki itu Karman. Hanya Karman saja. Tak ada tambahan apa-apa lagi.

Begitu memasuki gapura pintu masuk Desa Sibaweh, Karman menghela nafas panjang- seakan sudah lama sekali dia tak mencium aroma udara sesejuk di kampungnya. Ada kerinduan yang memenuhi dadanya, pada hijaunya sawah-sawah yang berjajar, pada rerimbunan pepohonan yang tumbuh di sepanjang jalan. Bagi Karman kelelahan berjalan 3 km telah terobati sudah. Dia melepas sandal jepitnya demi merasakan tanah di telapak kakinya.

Karman tersenyum. Menatap berkeliling orang-orang yang lalu-lalang di dekatnya. Ketika seorang lelaki tua menatapnya dengan tatapan aneh, dia buru-buru menghampiri orang itu hendak memeluknya, “ Aku Karman Mbah! Ingat Karman! Aku pulang!” Suara Karman amat besar dan keras, sangat bersemangat.

Tapi lelaki tua itu malah ketakutan, “Karman! Bos Karman! Ka- kamu pulang!” Lelaki tua itu berlari. “ Bos Karman pulang!Sudah  Pulang” Ia berteriak seperti orang kesurupan kepada semua orang yang ditemuinya.

Karman melongo. Orang-orang kampung itu semua menghindarinya. Tiba-tiba pintu rumah sepanjang jalan di tutup rapat-rapat. Sedikit demi sedikit senyum Karman mulai menghilang.

Suara adzan dhuhur dari masjid di tengah desa membangunkan Karman dari lamunannya. Tanpa sadar kakinya menuju mushola terdekat.

Karman menatap ke dalam mushola yang sepi. Ragu.

"Assalamualaikum. Nak Karman mau sholat dhuhur?" 
Sebuah suara membuat Karman geragapan. Karman menoleh. Terpana melihat Pak Rahmad yang tersenyum padanya. Sebuah senyuman yang ia terima untuk pertama kalinya setelah ia sampai di desa ini.

"Wassalamualaikum.?” Karman mengangguk malu. Teringat masa lalu. Betapa kasar dia pada Pak Rahmad selaku nadzir di mushola itu. Dia pernah dengan sengaja mengajak pesta miras teman-temannya di teras mushola sehingga membuat Pak Rahmad menegurnya.Tanpa ba-bi-bu dia memberi bogem pada Pak Rahmad. Membuat dia menginap di dalam penjara. Bukannya bersyukur Pak Rahmad mencabut tuntutannya, dia justru merasa dendam pada Pak Rahmad. Seakan Pak Rahmad adalah musuh besarnya, Karman sengaja membuat kesulitan hidup Pak Rahmad. Termasuk mencuri ayam peliharaan Pak Rahmad.

"Nak, Bagaimana kalau sampean yang adzan?" kata Pak Rahmad tetap ramah.

Karman malah menangis, mencium tangan Pak Rahmad dan meminta maaf.

Pak Rahmad menepuk-nepuk pundaknya. "Sama-sama Nak Karman. Aku juga minta maaf. Yang tua ini lebih banyak salahnya"

Hari ini warga Desa Baweh dikejutkan oleh lantunan adzan merdu dari Karman. Mereka menebak-nebak suara siapa. Sama sekali tak ada yang menduga itu suara Karman. Ya Karman yang dulu tak pernah mengenal adzan, atau membaca dan menulis skedar alif-ba. 

Sementara itu Karman menjadi makmum satu-satunya Pak Rahmad dalam keheningan. Khusyuk.

"Sebaiknya kau cukur rambut dan kumismu itu Man" saran Pak Rahmad. 
Mereka baru saja bersantap bersama sembari berbagi cerita. Rupanya selama di penjara Karman belajar mengaji pada Ustad Lutfi yang sengaja diundang untuk membimbing para napi. Disana juga dia belajar ilmu agama.

"Ustad Lutfi juga memberi nasehat yang sama" jawab Karman.

Karman meminta Pak Rahmat memotong rambutnya sementara dia sendiri mencukur kumisnya. 

Karman mengawasi bayangannya di kaca. Rasanya seperti melihat orang lain. Dibandingkan ketika dirinya baru masuk penjara dan ketika masih di penjara bayangan di cermin itu tampak lebih ramah. Karman juga merasa hatinya sekarang lebih lapang. Alih-alih merasa sedih karena di penjara, Karman justru bersyukur pernah di penjara dan bertemu dengan Ustad Lutfi.

 “Tak pernah ada kata terlambat untuk berubah. Bukankah lebih baik menjadi mantan napi daripada menjadi mantan orang baik” kata-kata Ustad Lutfi saat itu terngiang-ngiang kembali.

Karman sedang membersihkan rumahnya ketika terdengar suara rebut-ribut dari luar rumah. 

“Apa benar ini rumah kita dulu Kak?” suara seorang anak laki-laki yang lansung mengingatkan Karman pada putra bungsunya Ayub.

“Iya ini rumah kita” kali ini suara remaja perempuan. Karman teringat putri sulungnya Plasma.

Karman termenung. Mungkinkah? Mugkinkah mereka adalah….Karman buru-buru berlari keluar rumah. Tampak seorang gadis remaja berjilbab sedang membonceng adik laki-lakinnya yang berkopyah dengan sepeda motor, “Kita segera pulang. Emak pasti marah kalau tahu kita kesini” kata remaja berjilbab itu.

“ Plasma! Ayub!” teriak Karman berkaca-kaca tapi mereka sudah terlalu jauh untuk mendengar seruannya. Lagi-lagi Ayub tercengung, beristigfar lalu memohon pada Allah agar bisa kembali berkumpul dengan keluarga. Ia yakin Allah akan mengabulkan doanya.

“Bapak siapa? Ari kok nggak pernah lihat?” tiba-tiba seorang anak kecil terheran-heran menyapa Karman.

Karman memberikan senyum ramahnya, “Oya, Bapak baru pulang. Nama Bapak Karman” Karman mengusap-usap kepala anak itu tapi tiba-tiba ibu muda buru-buru menarik Ari pergi. Ketakutan. 

Karman hanya menghela nafas dalam dan memejamkan mata, merasa pantas diperlakukan seperti itu karena masa lalunya.

“Boss! Boss! Kami datang!” Tiba-tiba serombongan sepeda motor bersuara keras menghampirinya. Memarkir sepeda motor sesuka hati memenuhi jalanan lalu satu persatu memeluk Karman penuh kerinduan. Mereka adalah para preman anak buah Karman dulu.

“Maaf terlambat menyambut. Kami menjemput Boss dari penjara tapi ternyata Boss sudah pulang. Maafkan kami” jelas salah satu dari mereka.

Karman tersenyum. Hanya berkata, “Aku senang kalian tak melupakanku”

“Tentu saja kami tak akan lupa. Boss tetap boss kami.”

“Baiklah! Pertama-tama parkir sepeda motor kalian di halaman dulu lalu bantu aku membersihkan rumah”

“Oke Boss!

Sementara anak buahnya bekerja, Karman menatap langit yang biru penuh harapan, teringat kata-kata Ustad Lutfi “Jika kau merasakan kedamaian itu maka bagikanlah kepada yang lain agar mereka juga turut merasakannya”

Sementara semua tetangga Karman mengintip, mengawasi rumah Karman dari jendela. Resah kenyamanan mereka akan terusik kembali.

No comments:

Pages