Yang Tak di Kenal - FLP Blitar

Yang Tak di Kenal

Bagikan


Oleh Imro’Atus Sa’adah

Profesor Doctor Emerald Lifiaudin Bintoro sedang jadi trending topik di tv, koran, majalah dan jejaring sosial. Progam-progam yang ia buat berhasil menghilangkan sampah dimanapun ia berada. Ia berhasil menyulap sampah yang tidak berharga menjadi benda luar biasa nan unik serta mahal harganya. Dan dalam usia yang masih sangat muda 28 tahun. Ia sudah bisa menjadi milyarder dari pengolahan sampah.

Akan tetapi tak ada yang menyadari sosok dibalik kesuksesan Profesor Doctor Emerald Lifiaudin Bintoro. Ya .... sosok tua nan ringkih itu kini melihat Bintoro dari TV hitam putih tuanya sambil tersenyum. Walau sudah sekian banyak tahun mereka tak bertemu, tak ada yang merubah Bintoro di matanya. “Pak! Lihat Pak! Anak kita masuk TV lagi,” serunya pada suaminya.

“Iya to Mbok? Wah-wah! Tambah ganteng saja to le kamu itu,” seorang kakek tua tergopoh-gopoh duduk di depan TV.

“Rasanya baru kemarin ya Pak, dia kita timang. Lakok sekarang wes sebesar itu to?” Si Mbok menangis terharu.

Dan tiba–tiba saja mereka membicarakan masa kecil Profesor Doctor Emerald Lifiaudin Bintoro. Seperti kemarin-kemarin ketika mereka membicarakannya dan seperti kemarin-kemarinnya lagi temanya masih sama. Tak pernah bosan mereka membicarakan Profesor Doctor Emerald Lifiaudin Bintoro, anak kesayangan yang selalu terbayang bayang dimata. Sambil bermimpi-mimpi, berharap-harap sebentar lagi mereka akan bertemu.

“Mbok, aku lapar. Masak apa, Mbok?"

“Ini ada ubi rebus. Berasnya tinggal sekilo buat besok saja ya, Pak. Sekarang ubi rebus saja,”

“La iya to Mbok. Alhamdulilah bisa makan,”  Sahut suaminya.

Penuh syukur sambil bercakap, terkekeh-kekeh mereka menikmati ubi rebus itu. Apalagi yang membuat mereka bahagia selain  membicarakan satu-satunya anak kesayangan mereka. Profesor Doctor Emerald Lifiaudin Bintoro.

*********************
Profesor Doctor Emerald Lifiaudin Bintoro keluar dari mobil Bugatti Chiron hitam metalic. Penuh kebanggaan dia membenahi letak dasi dan jasnya. Lalu mengetuk sebuah pintu rumah joglo yang luas bak istana. 

“Mbok! Pak! Bintoro pulang!” panggilnya.

Pintu dibuka. Keluar seorang perempuan muda berpakaian Jawa sambil tersenyum  renyah. 

“Lho, Dek Bintoro?” dia tampak kaget. 

“Ini benar, Dek Bintoro?” ulang perempuan itu tak percaya.

“Lek Nurna, ya,” tanya Profesor Doctor Emerald Lifiaudin Bintoro. 

“Saya mencari Mbok dan Bapak.” 

Lalu tanpa permisi dia memasuki rumah, kaget dengan isi rumah yang sudah tak dikenalinya. Tak ada lagi kursi kayu panjang dari kayu jati tempat dia bermanja-manja dengan Bapaknya dulu. Tak ada lagi wayang-wayang golek yang biasanya terjajar rapi di dinding. Sebaliknya, dua pasang sofa panjang keemasan memenuhi ruang utama rumah joglo itu. Foto-foto besar berjajar rapi di dinding. Meski tak satupun yang merupakan foto simbok dan bapaknya.

Bintoro sudah mau melangkahkan kakinya ke rumah bagian dalam, ketika Lek Nurna mencegahnya, “ Dek, simbok dan bapakmu sudah lama pindah dari sini” terangnya.

“Maksudnya?” Dahi Bintoro mengernyit.

“Rumah ini sudah lama di jual sama kami, begitu juga dengan kebun-kebun Bapakmu. Semuanya sudah dijual,” lanjut Lek Nurna.

“Dijual?” Ulang Bintoro tak percaya.

Lek Nurna menghela nafas dalam-dalam sebelum mulai berkata lagi, “Ya, dijual untuk membiayai kuliahmu keluar negeri."

“Lalu sekarang mereka tinggal dimana?” tanya Bintoro.

“Di sebuah rumah diujung desa,” jelas Lek Nurna sambil tersenyum.

“Terimakasih, Lek. Bintoro pamit dulu,” Bintoro meninggalkan rumah itu dengan perasaan campur aduk.

*********************
Tak butuh waktu lama untuk sampai di rumah yang dimaksud Lek Nurna. Mungkin hanya 10 menit saja. Tapi untuk sampai disana, Bintoro harus melewati kebun-kebun teh yang dulu adalah milik bapaknya. Mau tak mau kenangannya sewaktu kecil bermunculan satu demi satu, saat-saat dia dan bapaknya sedang berjalan-jalan di kebun sembari menghirup sejuknya udara pagi dan aroma daun teh yang tak kan pernah bisa ia lupakan.

Mobil Bugatti Chiron hitam metalik Bintoro berhenti di depan sebuah gang sempit, diantara perkebunan. Ya, mobil itu tidak bisa masuk ke gang sehingga Bintoro terpaksa harus turun berjalan kaki. Tepat ketika hujan turun dengan derasnya.

Makin kaget ia melihat rumah orang tuanya yang tinggal 5x4 m itu. Sejenak dia terdiam. Lalu berteriak-teriak kegirangan, “Mbokkk! Pakkk! Ini Bintoro ! Bintoro pulang!”

Simbok yang mendengar suara Bintoro tergopoh-gopoh ke depan rumah.” Pak itu Bintoro benar-benar pulang to.”

“Ini Bintoro Mbok!"

Dan mereka larut dalam tangis di antara hujan.

“Mbok yakin kalau apa yang dibilang orang itu nggak benar Le. Mereka bilang kamu sudah lupa sama Simbok. Lawong Mbok kenal sama kamu kok yaa. Kamu itu anak yang baik. Ya to Le."

"Ya Mbok.”

Cepret! Cepret! Cepret!

“Ah, apa ini Le?” Mbok terheran-heran. Ternyata Bintoro tak datang sendirian. Rombongan orang di belakangnya banyak sekali. Mereka membawa alat-alat yang menurutnya aneh. Kilatan cahaya seperti petir membuat mata Mbok yang mulai agak rabun terpejam-pejam.

Kurang lebih sejam, mereka dikelilingi rombongan aneh itu.

Mbok dan Bapak hanya mengangguk-angguk ketika ditanya ini itu tentang Profesor Doctor Emerald Lifiaudin Bintoro.

Bintoro pun tak lama-lama berada di rumah simboknya, lima belas menit setelah iring-iringan yang tadi mengiringinya hilang dari pandangan, ia pamit undur diri.

“Lho, Nak kamu nggak menginap semalam saja kah?” tanya Bapak.

Bintoro menggeleng. “Bintoro masih ada rapat penting besok pagi, Pak.”

Simbok meski kecewa, karena belum hilang rasa rindunya hanya bisa menghela nafas dalam, 

“Ya, sudah Le. Baik-baik disana ya. Jangan lupa makan,” katanya sembari berurai air mata. 

Tangannya menyodorkan sekresek kecil ubi rebus dengan perasaan menyesal karena dia hanya merebus sedikit tadi. Sehingga hanya itu yang bisa ia bawakan pada Bintoro.

“Ya, Mbok,” Bintoro mencium tangan keriput Bapak dan Simbok. Mereka berpelukan erat. 

“Besok, Bintoro akan kirim orang kesini, Mbok. Untuk membangun rumah ini. Bapak sama Simbok tenang saja," Kata Bintoro sembari meringis melihat rumah orang tuanya yang sudah hampir roboh itu.

“Nggak usah repot-repot, Le. Melihat kamu sehat saja, Simbok sudah senang,” kata Simbok masih berkaca-kaca.

Bapak dan Simbok mengawasi kepergian Bintoro sampai menghilang dari pandangan.

Di mobil, Bintoro membuka kresek ubi rebus pemberian Simbok sambil menggeleng-gelengkan kepala. Lalu membuangnya ke tempat sampah.

Sementara Simbok menoleh pada Bapak, “Pak, tadi semua ubi rebusnya tak bawakan Bintoro. Bapak belum makan ya? Sabar ya, Pak. Simbok merebus ubi dulu."

“Iya, Mbok. Nggak papa,” Bapak menjawab dengan mata berbinar.

*********************
Profesor Doctor Emerald Lifiaudin Bintoro tidak berbohong, esok harinya serombongan orang sampai di rumah orang tuanya. Sambil membawa perlengkapan, perkakas dan peralatan bangunan. Mereka mulai membangun rumah itu.

Sambil menunggu rumah mereka jadi, Bintoro mencarikan rumah kontrakan tak jauh dari sana. Juga mengirim Mbak Nah, untuk membantu keperluan Simbok dan Bapak.

*********************
Sore itu, Simbok dan Bapak sedang duduk berdekatan sembari menatap layar kaca.

“Mbok, kita masuk TV Mbok,” tunjuk Bapak senang.

“Pemirsa, walau sudah kaya Profesor Doctor Emerald Lifiaudin Bintoro tidak lupa pada orang tuanya,” suara pembawa acara dalam berita sore itu.

Sekali lagi simbok melihat anaknya dari TV yang bukan hitam putih lagi tapi sudah layar datar. Dan sekali lagi mereka membicarakan Profesor Doctor Emerald Lifiaudin Bintoro yang sejak peristiwa mengharukan di sore hujan itu belum pernah menemui mereka lagi. []

1 comment:

Pages