Ketika Takut Terlihat Jelek dan Miskin - FLP Blitar

Ketika Takut Terlihat Jelek dan Miskin

Bagikan

Ahad, 22 September 2019

Lelaki berjaket hitam itu bukan sekadar tukang parkir, ada jasa lain yang ia tawarkan. Malam itu saya khusus mencarinya.

"Hanya untuk wawancara," Tegas saya.

Padahal wawancara ataupun lebih, malam itu saya tetap sodorkan beberapa lembar uang limapuluh ribuan, sebagaimana mestinya.

Lelaki itu meminta saya menunggu di sebuah penginapan kecil, hotel kelas melati, tertera nomor kamarnya sekalian. Koordinasinya bagus sekali. Batin saya.

Tak lama, seorang perempuan datang, memberikan kode tertentu. Saya mengangguk dan masuklah kami ke sebuah kamar yang pengap dan agak lembab, yang sebagian dindingnya berjamur. Sebab tak ada jendelanya, hanya lubang ventilasi kecil untuk sirkulasi udara.

"Wawancara untuk apa?" Tanyanya.

Di ruangan itu atmosfirnya beda, tiba-tiba menjadi gerah. Padahal di luar udara cukup dingin, jelang tengah malam. Dada saya terasa agak sesak juga.

Perempuan itu mengeluarkan sesuatu dari tas kecilnya dan menyodorkannya ke saya.

"Tidak," Saya menolak.

"Yakin? Ah syukurlah," Balasnya.

Kami berbincang ringan, basa basi saja. Belum masuk pada topik utama, dan entah apakah saya mampu memulainya?

Meski ruangannya tertutup, namun langkah kaki orang dari luar ruangan masih terdengar lirih. Tiap kali mendengar langkah kaki itu, deguban jantung semakin cepat. Entah kenapa, suasanya sangat tidak nyaman.

"Ini saatnya orang-orang tidur, aku harus berangkat kerja," Perempuan itu membuka perbincangan.

Ia mengaku berusia 24 tahun. Masih melajang juga. Masih kuliah. Sempat tak percaya, jika ia kuliah. Bukannya ia tidur disaat yang lain berangkat kerja?

"Kalau besok kuliah ya malamnya free," Jelasnya.

Jadi, ia mengambil kelas akhir pekan atau kelas malam. Semacam itulah.

Rutin tiap minggu ia perawatan badan, asupan suplemen juga harus cukup, dan itu tidak murah.

"Sama lah dengan pendapatan, kan pengeluaran juga besar?"

Lalu ia bercerita betapa capeknya hidup seperti itu, namun tak ada pemasukan yang cukup jika ia harus berhenti. Beberapa barang mewah sudah ia kredit, sementara tubuhnya juga harus dibawa ke salon & spa, dan itu tak bisa ditawar.

"Kalau enggak ke sana, apa yang terjadi?" Tanya saya.

"Ya nggak laku mas, siapa mau sama orang yang tubuhnya tak terurus."

Gaya hidup membuatnya tak bisa lepas dari jerat malam, termasuk keinginan memiliki tubuh indah dan barang-barang mewah.

"Kalau sudah di atas umur 25 peminatnya kurang," Lanjutnya.

Ya. Saya sempat mendengar itu, bahwa klien kadang-kadang mematok usia antara 17-22 tahun, dan berani menawar dengan harga tinggi.

Melihat perputaran dana mereka, kadang saya merasa betapa recehnya gaji bulanan saya dari menulis. Kalaupun bukan karena urusan liputan, belum tentu juga saya bertemu perempuan ini. Meski kadang merasa eman-eman dengan beberapa lembar limapuluh ribuan tadi, meski bukan dari dana pribadi.

Perempuan itu lebih sopan dari pikiran saya sebelumnya. Dia sama sekali tak menyentuh area saya duduk sebagai teman ngobrolnya malam itu. Ia juga tidak beringas.

"Kadang kita tu najis juga, apalagi sama gadun-gadung bau remason, tapi ya mereka udah bayar, mau gimana lagi?"

Saya menahan tawa. Berniat ingin mencairkan suasana, namun tak semudah saat harus berbincang dengan "orang biasa".

Obrolan kami akhiri setelah puluhan menit kami lalui, berdua saja, dan tak terjadi apa-apa selain hanya perbincangan sederhana. []

Kedai Muara
Ahmad Fahrizal Aziz

No comments:

Pages