Oleh : Alfa Anisa
Perempuan itu muncul bersamaan dengan matahari telah sampai di puncak ubun-ubun pada suatu siang yang kering di bulan Agustus. Langkahnya tertatih-tatih menuju sebuah bangku di teras rumah, sebab di pundak bagian kiri memanggul seikat kayu bakar.
Dia meletakkan kayu itu tergeletak begitu saja di tanah, mengibaskan kedua tangan serta kedua pundaknya bergerak ke atas-bawah, sambil duduk di sebuah bangku dan menghela napas panjang.
Aku mengintip dari balik pintu, menyipitkan mata agar perempuan itu dapat kullihat dengan saksama. Aku menerka mungkin dia sedikit kurang waras. Rambut hitam legam sebahu dan bergelombang dikuncir dengan sekenanya, sehingga masih ada beberapa helai rambut yang tergerai begitu saja. Raut mukanya tampak linglung. Sepertinya memang aura orang yang sakit jiwa itu terpancar jelas dari perilaku bahkan raut mukanya.
“Jarmi! Mau makan?”
Suara yang kukenal tiba-tiba datang dari seberang jalan dan menghampiri perempuan itu. Ah, emak kenapa juga mendekat ke perempuan yang kurang waras itu dan mengajaknya masuk ke dalam rumah, padahal semua pintu depan dan belakang bahkan jendela-jendela sudah kututup rapat.
Sepasang mata perempuan yang dipanggil Jarmi tadi tampak berbinar-binar, bibirnya menyunggingkan senyum lantas beranjak berdiri untuk menyambut emak. Ya, seperti itu yang dapat kulihat dari balik pintu. Lalu emak mengajaknya masuk, mau tak mau aku harus segera pergi ke kamar untuk bersembunyi dari perempuan itu.
***
Menurut orang-orang, Jarmi tinggal di sebuah rumah ujung kampung dekat sebuah makam desa. Dia hidup seorang diri tanpa sanak saudara, orang tua bahkan seorang suami, padahal menurut perkiraanku usianya hampir mencapai kepala empat.
Setiap hari dia berkeliling ke setiap pekarangan rumah untuk mencari seikat kayu bakar lalu dibawanya pulang dengan meletakkannya di pundak. Langkahnya semakin lama terlihat agak bungkuk, mungkin beban berat yang ada di pundak itulah penyebabnya.
Kayu bakar dan sapu adalah kesehariannya. Sehabis mencari kayu bakar dia akan beristirahat sejenak di beranda rumah orang-orang yang dekat dengan lokasi mencari kayu. Beberapa minggu ini, dia selalu singgah di teras rumahku dan ketika emak sedang tak ada di rumah, aku selalu menutup pintu rapat-rapat lalu mengintipnya dari balik pintu untuk memastikan dia akan segera pergi. Tapi, entah kenapa bukannya segera angkat kaki dia malah mengambil sapu lidi yang terletak di depan rumah, lalu menyapu seluruh halaman yang dipenuhi daun-daun kering.
***
Ya, semenjak minggu-minggu kedatangan Jarmi, halaman rumah selalu terlihat bersih. Setiap menjelang siang, pekarangan rumah selalu penuh dengan setumpuk daun kering yang berserakan di mana-mana, dihembus angin dari kebun sebelah rumah, ataupun jatuh dari pepohonan yang masih rindang di pekarangan.
“Dia memanggul beban dosa di masa lalu di pundaknya yang ringkih itu, kasihan Jarmi!”
Aku tak memahami apa yang dikatakan emak ketika kutanyakan kenapa dia selalu mencari kayu bakar dan menyapu halaman rumah orang. Apa memang dia tak punya pekerjaan lain selain melakukan itu. Ah, entahlah.
Terkadang emak memang suka berbicara ngawur yang aku sendiri saja tak memahami maksudnya. Seperti sore ini selepas Jarmi pulang, dan memanggul kayu-kayu yang telah kering sempurna itu di pundaknya, lalu berjalan tertatih-tatih meninggalkan rumahku sembari sebelumnya menyungginggkan senyuman yang agak ganjil.
“Kamu jangan pernah mengucilkan dia, Na,” ucap emak melepas Jarmi pergi, sambil terus memandang punggung Jarmi yang mulai menghilang di tikungan jalan. Kulihat mata emak sedikit berkaca-kaca.
“Jarmi kan memang kurang waras, mak!” tegasku sedikit mengeraskan suara.
“Dia tidaklah gila, hanya saja dia harus memikul beban dosa di masa lalu di pundaknya dan membakarnya agar lebur seperti halnya kayu yang dibakar dan menjadi abu.”
Lamat-lamat kudengar suara emak yang lirih itu bercerita tentang Jarmi. Sebetulnya apa yang dikatakan emak memang benar, kebanyakan dari orang-orang normal kerap menjauhi orang yang jiwanya dilanda sakit ataupun kurang waras padahal sebetulnya mereka memiliki dunia tersendiri yang terkadang lebih mulia meski kurang bisa dinalar logika oleh orang-orang normal.
***
Terik membakar jalan-jalan beraspal, uap mengepul di beberapa bagian. Debu melayang-layang di udara, membumbung ke angkasa bergelut dengan hembusan angin yang melintas. Di teras rumah, aku duduk di sebuah bangku panjang. Di pangkuanku ada sebuah buku yang hanya kubolak-balikkan halamannya, lalu mengalihkan pandangan ke seberang jalan. Hanya itu yang kulakukan sedari tadi.
Emak yang melihat gelagatku sedikit aneh, mungkin raut mukaku terpancar kegelisahan, lantas segera menuntaskan menjemur opak gadung di pelataran lalu mendekatiku.
“Kenapa, nduk?” Emak menghampiriku lalu duduk di sebelah kanan. Kedua tangannya yang kotor dikibaskannya ke udara.
“Jarmi nggak datang lagi ya, Mak?” tanyaku sambil terus-terusan melihat ke seberang jalan, sedangkan buku di pangkuan kuletakkan di atas meja dan kubiarkan terbuka begitu saja.
“Entahlah,” jawab Emak pendek lalu ikut-ikutan memandang seberang jalan.
***
Semenjak sepekan lalu emak menceritakan tentang Jarmi, tentang kehidupan Jarmi yang kurang beruntung, tentang Jarmi dan peleburan dosa di masa lalu melalui kayu bakar itu, tentang Jarmi yang amat menyukai menyapu dengan sapu lidi karena diibaratkan membersihkan kesalahan-kesalahan di masa lalu.
“Dulu saat dia seumuranmu—dua puluh tahun—dia perempuan yang cantik, perempuan normal seperti kamu, bahkan dia juga sempat menikah dengan seorang lelaki, namun sayang keluarganya tak merestui karena rumah calon suami Jarmi dalam mitos pernikahan tradisi jawa—ngalor-ngulon—namun, Jarmi tetap bersikukuh. Dan akhirnya ....”
Emak tak melanjutkan ceritanya dan aku sedikit mengerti tentang hal itu. Beberapa hal yang pernah kuingat, tradisi itu merupakan peninggalan dari kerajaan Majapahit dan hanya ada di pulau Jawa. Konon katanya tradisi itu berkaitan dengan nilai sakral penentuan waktu dan hari pernikahan. Sehingga orang-orang zaman dulu yang masih kental dengan adat kejawen melarang anaknya untuk menikah dengan seseorang yang rumahnya memiliki arah ngalor ngulon (utara ke barat). Sebab penentuan waktu dan hari pernikahan itu juga berkaitan dengan rezeki, usia, dan lain-lain. Jika kepercayaan itu dilanggar, masyarakat mempercayai akan adanya karma kepada pihak yang melanggar itu.
“Jarmi percaya bahwa mitos tentang pernikahan ngalor-ngulon itu tak akan terjadi selama dia tak meyakini. Dan dia yakin bahwa kepercayaan itu hanyalah untuk yang meyakini saja.” Lanjut emak dengan suara terisak lirih.
Meski tak ada restu dari keluarga, pernikahan tetap berlangsung walaupun dengan pernikahan siri. Setelah pernikahan itu, keluarga Jarmi tak mengakui lagi keberadaannya sebagai keluarga besar karena dianggap telah menyalahi kebudayaan Jawa yang selama ini diyakini.
Namun Jarmi tetap bersikukuh bahwa itu adalah tradisi yang keliru bahkan itu sebuah dosa yang turun-menurun, bukankah keyakinan itu seharusnya hanya kepada Tuhan Semesta Alam? Dan bukankah takdir akan rizki, jodoh dan kematian itu juga yang menentukan Tuhan?
Tak berselang lama kemudian, suaminya meninggal tanpa sebab. Orang-orang di sekitarnya menyakini bahwa itu sebuah karma akibat melangsungkan pernikahan yang dilarang.
“Mak, Jarmi kapan ke sini lagi?” kataku lirih.
Matahari mulai bergerak ke barat dan terik pelan-pelan berganti dengan cahaya emas yang berkilauan mengintip dari balik rimbun pepohonan. Dan entah semenjak itu Jarmi tak datang lagi.[]
No comments:
Post a Comment