Bukan tentang sengkarut masalah yang sepertinya wajar saja terjadi dalam sebuah kepanitiaan, namun ada beberapa hal unik dan menggelitik pada perayaan hari puisi (27/07/17) di Istana Gebang kemarin. Entah memang begitu adanya, atau memang saya saja yang lebay, sebab ini untuk pertama kali menjadi bagian dari, yang mempersiapkan acara semacam ini.
Soal apakah ini pertunjukkan puisi yang pertama saya ikuti? Sepertinya tidak, sebab beberapa kali saya hadir menjadi penikmat dalam festival kebudayaan, hanya saja ingatan saya agak buram, kapan dan dimana saja kegiatan serupa pernah saya hadiri.
2008, ketika terlibat kepanitiaan perpisahan sekolah, saya seringkali hadir dalam latihan anak teater. Persiapan anak teater memang lebih kompleks dibandingkan yang lain, desain panggung, busana, properti, dan sejenisnya harus dipersiapkan. Saya kala itu menjadi MC, jadi dalam gladi kotor sore harinya, ikut dari awal sampai akhir.
Fikiran saya, perayaan hari puisi yang rencananya akan dihadiri penyair yang betulan penyair ini, tentu butuh juga yang seperti itu. Kalau saya yang tampil, karena bukan penyair, mungkin hanya perlu pengeras suara, sebab suara saya tidak lantang. Kalau penyair? Tentu aspek lain akan dipertimbangkan.
Saya tanya ke Flo, ketua pelaksana, apa tidak butuh alat-alat—yang entah apa saja namanya—untuk desain panggung? Dia sebagai anak teater sudah menyerahkan semuanya kepada Pak Haryanto dan Bu Puput. “Mereka sudah expert banget soal ini,” jelasnya.
Ya sudah. Soalnya saya, dan mungkin juga panitia dari Lingkar Pena lain belum tahu menahu bagaimana ketika penyair yang betulan penyair berpuisi. Lagipula waktunya mepet, plus tingkat partisipasi yang rendah karena disibukkan aktivitas lain yang menyita waktu juga. Saya malah pesimis. Ya, mungkin karena belum mengenal situasi, belum terlalu mengenal juga anak Balai Latar.
Dua dari agenda yang direncakan batal dieksekusi. Bagi saya itu wajar, mengingat intensitas pertemuan yang teramat singkat. Bahkan pertemuan yang ful hanya terjadi pada waktu acara. Lucu, bukan?
Panggung ternyata didesain sepenuhnya oleh Pak Haryanto, dibantu secara teknis anak-anak balai latar. Baru ketika beres-beres malam harinya, sembari mencangking beberapa alat berat dengan sepeda motor, saya agak was-was.
“Bisa bawa benda ini pakai motor?” tanya saya ketika hendak membonceng salah satu anak balai latar. Takutnya, karena benda tergolong panjang dan berat, nanti malah nyungsep. Malam harinya anak balai latar yang datang cukup banyak, lebih dari jumlah panitia.
“Bisa mas, saya sudah biasa,” jawabnya. Ternyata Balai latar memang komunitasnya seniman, penyair atau anak teater yang sekaligus merangkap semacam Event Organizer (EO) yang terbiasa menyiapkan acara, mengisinya, sekaligus membereskannya sendiri. Hebat ya. Pikir saya.
Makanya acara HPI kemarin, nampak dari luar tidak terlalu ada masalah. Hanya saya saja yang memang belum tahu, bahwa Sanggar Lagung dan Balai Latar memang sudah terbiasa mengadakan kegiatan semacam ini. Mulai dari menyiapkan yang paling konseptual, sampai yang paling teknis.
Termasuk ketika acara puncak, saya secara mendadak diminta menjadi pembawa acara. Waduh. Bukan berarti saya tidak mau, atau tidak bisa, tapi belum belajar sama sekali. Belajar apa? Ya belajar tentang acara tersebut, juga profil-profil para pengisi yang datanya belum saya pegang sama sekali. Tapi itu juga tidak terlalu menjadi soal kalau setidaknya sudah mengenal siapa saja yang akan mengisi.
Masalahnya, saya belum tahu siapa saja, mengenalnya pun juga belum. Apa iya nanti hanya menyebutkan nama? Tentu tidak etis. Baiknya disebut nama, dan sedikit dijelaskan profilnya. Misalkan penyair yang merangkap pengusaha, dosen, guru, wartawan dan sebagainya. Lha ini tidak ada sama sekali.
Memang tidak semestinya saya yang menjadi pembawa acara. Kalaupun ditunjuk ya siap saja, tapi tidak dadakan, karena ini bisa “membunuh reputasi” seseorang. La bagaimana nanti kalau ada orang yang sedikit kritis dan berkomentar, kok pembawa acara tidak membacakan profil singkat para penyair yang mengisi? Untungnya profesi saya bukan MC, jadi tidak perlu khawatir. Kecil kemungkinan untuk mendapat job menjadi MC, dan apalagi dibayar.
Tapi saya kagum saja pas akhir acara, lalu saya bertanya pada Wayan, “Dari Balai Latar sudah tidak ada yang tampil ya?” Wayan pun menggeleng, katanya semua sudah tampil. Tapi tak berselang lama, usai dua penampilan puisi, Wayan bilang masih ada penampilan terakhir dari Balai Latar. Lho?
Ternyata itu penampilan dadakan. Super dadakan yang disiapkan hanya beberapa menit sebelum acara penutupan. Dan penampilan itu dilakukan bergerombol. Tidak satu dua orang. Kok bisa ya? Fikir saya. Baru saya menyadari jika mereka memang kumpulan seniman sejati, yang sudah terbiasa dengan kegiatan semacam ini.
Penampilan “berisik” dari Balai Latar itupun menjadi puncak acara sebelum sesi foto bersama. Tidak menyangka saja acara bisa berjalan, dengan seolah-olah begitu lancar. Sembari menyeduh kopi yang setengah dingin, saya melepas lelah di kursi besi. Perayaan HPI telah selesai dengan Improvisasi menawan. []
Blitar, 11 Agustus 2017
Ahmad Fahrizal Aziz