Paradoks Kota - FLP Blitar

Oleh : Ahmad Raditya Alam

Di pagi buta kali ini aku telah bangun dari mimpi yang buat frustasi. Mimpi tentang remaj negeri ini, yang kawanku sendiri. Aku tidak lagi melihat mereka mengingat tentang Pancasila, sang dasar Negara. Mereka terlupa cara mengejanya, menghafal, apalagi tentang tata mengamalkannya.

Sedangkan di seberang kota yang menyimpan paradoks pengharapan tempatku bekerja. Siang ini, aku melintasi trotoar-trotoar jalan dan persimpangan, tanpa pernah kuduga banyak anak-anak sekaligus remaja bermain di jalanan, menjulurkan tangannya untuk meminta-minta. Seharusnya meraka bera di sekolah, menuntut ilmu sebagai bekal mutiara masa depan bangsa. Tapi sekolah kelewat mahal bagi mereka yang tak punya. Sedangkan para anak konglomerat telah lupa akan tugas mulia, mereka menghamburkan harta untuk berfoya-foya hingga lupa telah menggali jurang kehancuran sendiri.

Di tengah kota yang penuh udara metropolitan dan rambu-rambu kemacetan, telah terjadi dekadensi moral besar-besaran pada remaja yang mungkin telah lupa norma dan cara bertakwa pada Tuhan yang Mahakuasa. Bertindak sesuka hati berlandas hedonism dan gerakan syahwat merdeka. Aku sedikit terluka karena mereka, sebab mereka tak lagi mau memanusiakan manusia. Apalagi bersosialisasi dengan sesame. Padahal aku mengetahui dari guru Sosiologi, bahwa manusia adalah zoon politicon, makhluk social yang menbutuhkan orang lain untuk hidup.

Namun, diluar perkiraan. Mereka yang jauh terlupa dari cita-cita bangsa. Mengikuti tren di media social untuk membuat foto dengan tulisan yang bersaksi "Saya Pancasila, Saya Indonesia". Apakah mereka cuma berpikir tentang gaya dan viral di dunia maya? Tanpa pandang apa itu hakikatnya. Mungkin media socsal telah berwajah ganda, menciptakan multidimensitas identitas yang kelewat batas. Memang telah terbukti kata Keys bahwa kita telah memasuki era Post True, di mana kebenaran hanya menjadi angan di awang-awang.

Untunglah, di senja dengan ruap meganya hari ini. Aku dapat pulang ke desaku yang asri dan penuh toleransi. Di mana keteduhan beribadah diayomi, harkat dan martabat manusia dilindungi, persatuan dan kesatuan dirajut dalam untaian nan abadi, hingga kerakyatan dan keadilan dijunjung tinggi. Dan semoga tetap terjaga jati diri ini sampai akhir hayat nanti. Padam malam yang padam, sedang rembulan retak di persimpangan malam. Akhirnya aku tidur kembali. Mengharap mendapat mimpi yang lebih indah hingga esok hari.

Kaweron, 2017

Pages