Oleh : Faridha Fajriyah
Aku salah duga, lagi. Kegiatan yang sudah bertahun-tahun diselami, dengan langkah maju yang kecepatannya sekencang siput berlari. Masih tentang kebingungan apa yang harus ditulis. Boro-boro membuat karya fiksi, ide saja masih sering bingung. Waktu dapat ide, rasanya kok itu-itu saja yang ditulis.
Pikiran itu sering menghantui dan membuat suatu pelaku tulis batal menulis. Begitu tahu ide orang lain yang bahkan sederhana tapi dikemas dengan apik, mengganjalah suatu tanya dalam pikiran,"Kok bisa yaa dia buat cerita semenarik itu?". Dan lain sebagainya.
***
Dalam hal menulis, ide adalah gagasan -baik sederhana maupun luarbiasa- yang tidak terpikirkan, atau bahkan yang sering lalu-lalang di sekitar namun luput dari pikiran.
Aku sering berpikir keras, bagaimana membangun ide yang bagus? Bagaimana membuat karya yang tidak monoton? Bagaimana menulis puisi roman yang tidak klise? Semakin memikirkan jawaban dari "Bagaimana" itu, justru aku sering gagal menulis. Sejuta "Bagaimana?" dalam pikiran malah membuat bingung.
***
1. Menulis, Tapi Baca Dulu
Well, kita sudah sangat tahu bahwa first step to write adalah membaca. Iya, membaca buku apa saja yang bisa membangun gairah kita untuk menulis. Pendeknya, membaca itu selalu menambah kosakata. Bahkan, satu kosakata yang bagus dan favoritos bisa menyulut ide untuk menulis. Dari mana datangnya kosakata favoritos itu kalau tidak dari membaca? Semakin banyak membaca, semakin banyak kata yang bisa menyulut ide menulis.
Kita bisa memulai menulis dengan membaca buku dengan genre yang disuka atau penulis kesukaan.
Bisa juga dengan membaca apa yang terlihat dalam kehidupan, dan mengungkapkan hal-hal yang terjadi di sekitar. Sebenarnya, ini yang paling mudah dalam menulis, yaitu mengungkapkan apa yang terjadi di sekitar. Sebenarnya ini faktor yang sangat sederhana.
Bahkan sering kali saat melihat sebuah kejadian, otak kita secara otomatis membangun bahtera imajinasi yang spontan dan saklek namun bersifat sementara -bahkan sekejab-, alias bisa hilang kapan saja. Aku jadi ingat sebuah tulisan motivasi, bahwa "Jangan percaya pada ingatan". Its mean that sinyal-sinyal aneh yang biasa disebut imajinasi dan seluruh hal penting dalam pikiran baiknya kita ditulis, karena sehebat apapun manusia, dia tempatnya lupa. Mind it!
2. Ruang Menulis
Ini benar-benar soal lokasi, mana lokasi tercintamu untuk menulis, btw? Kamar, perpustakaan, atau cafe? Kiranya, bukan hanya di situ-situ saja kita bisa menulis. Melalui sebuah puisi karya Alfa Anisa perihal kebahagiaan di halaman belakang rumah, ternyata itu nyata.
Suatu ketika karena suntuk terus menerus membaca di dalam kamar, aku keluar rumah dan menuju halaman belakang. Menjemur diri di terik mentari pukul sembilan pagi dengan sebuah buku dalam genggaman. Tidak peduli dengan kandang ayam, sampai kandang kambing. Memang, back to nature yang paling murah adalah halaman belakang rumah. Akan sempurna jika terlihat beberapa bunga hasil tanam emak di rumah yang lebih sering kita nikmati, daripada ikut merawatnya.
Ajaibnya, suara kokok anak ayam serupa hipnoterapi terhadap kesuntukan yang menjamur dalam kepala. Desis daun-daun pohon yang saling bergesekan karena angin mencipta damai. Konsentrasi membaca buku yang ku genggam mendadak berjaya saat aku berada di luar ruangan. Alhasil, sedikit ide mampir dalam pikiran dan akhirnya aku memiliki secuil gairah menulis. Yeeey ...
Mari kita kembali, ungkapan ini sesungguhnya bukan soal halaman belakang rumah. Halaman belakang rumah adalah satu contoh nyata sebuah ruang yang sederhana namun memiliki sensasi yang berbeda sebagai ruang kita membaca dan menulis. Ini juga sudah mencerminkan poin pertama, bahwa kita seringkali melewatkan hal sederhana untuk mencipta karya. Hal sederhana pada poin kedua ini adalah ruang menulis itu sendiri. Apa hubungan antara poin pertama (hal sederhana) dan poin kedua (ruang menulis)?
Artinya, kita tidak perlu melulu di tempat yang sama dalam menulis. Di dalam kamar, di ruang tamu, di cafetaria kota, itu sudah biasa. Coba saja pergi ke sawah, sungai, halaman sekolah, dan lain sebagainya. Kesimpulannya, ketika kita tidak bisa menulis, hampiri saja tempat yang berbeda dan sederhana, serta rasakan keajaiban ilham yang mendatangkan ide baik.
Tapi, menurutku tempat yang paling candu tetep aja Philokoffie. Mungkin karena aku merasa nyaman dikelilingi buku-buku, orang-orang yang ramah, suara kereta api yang lewat setiap jamnya, irama musik hits yang ulala, serta aneka kopi yang ... ehm, mahal harganya. Dan Aceh Gayo memang juara. Philokoffie adalah Rumah yang super komplit akan kebutuhan menulis kita. Sayangnya, di sana justru aku tidak bisa mengungkapkan isi hati seperti aku mendapatkan ilham menulis dari halaman belakang rumah.
3. Aku Merasa Aneh Saat Berkumpul Secara Intens Dengan Penulis, Tapi Mereka Adalah Motivasi.
Why? Pikiran kotor ini terlintas saat seorang teman bertandang dan menginap di rumahku (dia penulis, dan tentu saja perempuan). Kebiasaan ini lazim dilakukan, tapi saat itu jadi terlihat aneh. Coba pikirkan, ketika hendak tidur tidak ada pembicaraan dari kedua penulis itu (aku dan temanku). Kami justru memegang buku sendiri-sendiri dan membacanya. Diam saja, tidak ada percakapan. Hanya satu atau dua tanya sederhana saja.
Keesokan hari setelah bangun tidur dan mengumpulkan sebungkus nyawa dalam tubuh, hal pertama yang dipegang tetap saja buku dan sambil tidak ada percakapan sama sekali.
Aku baru menyadari bahwa kejadian itu aneh, aneh yang unik. Seakan aku dan temanku itu menyelami dimensi berbeda dalam pikiran masing-masing. Memang begitulah adanya dan kami tidak masalah, karena tidak adanya topik pembicaraan antara kami memang bukan suatu masalah. Namun temanku ini adalah seorang yang selalu memahami derita penulis yang lainnya, karena dalam suatu waktu diam-diam dia selalu menyengatkan energi semangat menulis yang aneh dan nyata.
Kejadian ini tentu saja menjadi lain saat aku juga intens dengan penulis yang berbeda. Sebab setiap penulis memiliki identitas yang tak sama, sehingga berkomunikasi dengan temanku yang lain pun juga tak serupa kejadiannya. Ada seorang teman yang selalu mengajakku menyelami 'lautan istilah' yang sama sekali belum pernah kudengar. Atau kisah dan sejarah suatu suku dan agama yang sama sekali belum kutahu.
Ini benar-benar membuat aku diam, antara diam karena mempelajari serta memahami istilah baru, dan diam saking tidak tahunya. Namun hal ini juga asyik karena beraneka istilah baru itu semacam doping agar kita berlomba menjadi penulis yang selalu ingin tahu ilmu lainnya. Ini juga penting, sebab seorang penulis hendaknya turut mempelajari barang secuil atau sepuluh cuil ilmu umum maupun agama sebagai intelegensi menulis bagi pelaku tulis itu sendiri.
Yang lebih manis lagi adalah waktu-waktu bertemu dengan teman yang biasanya membuat kita termotivasi untuk menulis dan menebar kebaikan. Ini tak kalah unik, sebab teman berkumpul bisa pula menjadi motivasi menulis kita. Bahkan, teman berkumpul dan ngobrol juga bisa menjadi motivasi di kehidupan yang riil. Entah kenapa, bertemu seorang teman yang sungguh-sungguh kita segani membuat kita ingin melakukan hal yang baik-baik saja, bahkan untuk lebih baik dari hari sebelumnya. Ngerti nggak maksud saya? Hehe Yaa gitu deeh pokoknya. (Lempar buku ke meja).
Lain cerita, kudapati menulis adalah kegiatan yang aneh bagi mereka yang tidak memahami kebiasaan kami sebagai pelaku tulis. Bahwa, orang awam seringkali melihat pelaku tulis adalah orang yang cerdas dan berwawasan. Nyatanya itu tidak juga, aku contohnya. Hehe...
Tinggal pelaku tulis itu menyandang karakter yang mana? Yang lebih condong kepada ilmu umum atau ilmu agama, yang sukanya faktual atau imajinatif. Suka menulis puisi, dongeng, esai, atau novel pop seperti yang hits masa sekarang. Kami tetap saja berbeda sudut pandang, yang selalu saling belajar.
Rupanya ada yang lebih unik lagi, adalah orang-orang berbeda kesibukan yang disatukan secara intens oleh kegiatan menulis setiap hari. Siapa sangka menulis ternyata pemersatu pemuda dan sesepuh dalam satu ruang diskusi yang hangat dan harmonis. Bagaimana tidak, kami punya Kakung, Oma, Bapak Ibu, Paman, Bibi, Kakak Pertama, Kakak Kedua, kakak-kakak lainnya -asal jangan kakak tua-, serta Si Besar dan Si Kecil yang menggemaskan.
Dan rupanya, aku memang salah duga. Sesungguhnya banyak hal yang perlu ditulis agar abadi dan menjadi sejarah langkah ini. Mesti dengan ide yang minim, tidak ada ruginya jika hal sederhana pun ditulis. Seperti saat ini, catatan ini dibuat daripada aku enggak nulis.
Semangat Menulis dan Salam Baper 😎[]
No comments:
Post a Comment