Celah 17.30 - FLP Blitar



                                       

Gemericik air bergelembung didalam oxygen yang di bingkis sebotol cairan tersadur angka penuh nominal. Hening. Malaikat pemikul harapan terus berjalan dari utara ke selatan, bersimpangan dengan sepasang kaki yang bergerak gelisah diatas rerumputan petak paving. Deru mengendus harum kereta berisak menggiring dari samping, menikung kehidupan diambang kematian. Ambulance dan Kereta Jenazah, mereka kembar. Namun dari dua sel pengisi yang berbeda.
         

Disisi lain sepasang kaki tadi adalah milikku. Menyebrangi jembatan layang beraspal dengan pilar menyokong kaum atas sampai rendahan. Dari kokohnya pilar besar dan tembok bertuliskan 'Rumah Sakit Daareh' telah meruntuhkan sebagian nafas orang-orang. Boleh menilik seluk timeter yang  memompa, dan menancap sampai jela epidermis terdalam. Langit terurai tanpa kerlip bernama bintang, ia malu menerang saat aku mulai mengarang.

Remang dan terang di pinggiran trotoar bak kulit tipis bibir terpecah jeruk nipis, setipis senyum mendapati saji jemari. Ah! Nasi goreng di samping jalur evakuasi mengundang gejolak aneh di perut. Beginilah malam terremang, arang membakar tanpa tabung elpiji, tangan  belum dicuci menyambar lembar bayam sampai mengambil uang kembalian. Aku tidak mensuci, apalagi kau sebut mencaci. Di depan paguyuban menghilir ratusan orang, bisa jadi penyebab segelintirnya ialah tangan berarang.

''Nduk, belilah nasi goreng di depan rumah sakit, budhe sama pakdhe belum makan!''

Terekam mata sendu kedua orang yang dulu memangkuku diatas ayunan. Mengabur gundah hilang diantara jembatan dan luasnya halaman bersama satpam berwajah garang, ku tembus hanya dengan mengusik memori. Sinar lampu taman menyorot area Pedagang Kaki lima yang agung. Pos satpam depan tak bertuan, tidak malu dengan majikan pembayar lembar uang miliknya. Bangku plastik merah melingkar bisu mengelilingi pot setinggi pohon Pisang hitungan bulan, angin membelah suara klakson dengan tawa disebrang warung yang disapa 'Cafe'. 

Mata juling menafsir takut ke sekeliling trotoar, sungguh aku berdiri tepat di belakangnya. Tersodor lembar biru mengugu palu, tidak ada uang kembalian. Pedagang berambut kriting dan berkumis menghias malu, meminta pembeli mencari kembalian. Hati melantang lancang,sewaktu  malam mencari kembalian di samping mobil jenazah yang melintas. Demi seutas karet yang mengikat bungkus nasi goreng.

 ''Permisi mbak., mau menukar uang,''

Perempuan berkerudung merah dengan kacamata menggantung di hidungnya menghadiahiku lembar yang lebih tebal dengan senyum lelaki berambut ikal disampingnya. Pos parkir berkisah mengasah lelah. Tungang langgang melawan arus malam membiar rok menghambat, terpenting tidak terlambat. Ku berikan lembar nominal lebih kecil, uang pas. Senyum pedagang datang melawan kumis yang menghias, berucap terimakasih sebanyak anjuran Nabi.

Langkah tergesaku di cegat oleh sang waktu, dencitan ban dari belakang. Ku tengok kuasa yang diberi Tuhan. Sepasang kaki yang menancap diraga gemetar ketakutan, bayangkan iris mu menilik titik semu kehidupan yang ada namun tiada, gelanyar iba mencolek langit mendung yang terpekat hitam. Sosok di belakangku, lelaki seumur tentara akademi berjalan rangkak menepuk kasarnya compang trotoar dengan kedua  telapak yang tergores kerikil tajam hasil pembangunan pajak rakyat. Menyayat jemari kaki sampai ubun kepala, lelaki tak memiliki kaki, ah! Ia memiliki kaki sepanjang betis anak remaja, meloncat dari sadel yang terpangku kawannya.

Suara ku tertelan di ujung lidah, hidup serasa menjadi bedebah. Sejauh pukul 17. 30 getir hidup tertelan kurun waktu satu jam. Berhubung libur dikubur sampai pukul 21.00, lebih banyak pil pahit Rumah Sakit yang memilih bersarang di jantung dan di cerna di lambung. Andai terbuka lebih lama, akan tersegap dingin malam diantara kepul tabung oxygen, harum infus dan racik farmasi mengundang tubuh tubuh lapar sebagai pengurang dosa, teringat begitu sianya kaki yang pernah dibuat menendang udara hanya karena kekecewaan. Patahnya hati karena tertepuk sebelah tangan, mereka yang tangannya dioles panas neraka berbau surga lantas mendiam dalam doa, terbuang cuma cuma air mata, lalu melupa arti hidup yang sesungguhnya. Celah 17.30 mengajari hidup benar dan benar benar hidup.


Penulis :
Jamilaturrosyidah, kerap dipanggil Mila dan Jamila, lahir di Jombang pada 26 September 2003. Gadis yang sangat menyukai warna coklat, namun kurang suka makan coklat. Sekarang ia tinggal di Blitar, Jawa Timur. Tempat yang membuatnya jatuh cinta untuk kali pertama. Harapannya sekarang adalah tetap bertahan menjadi dirinya sendiri, dan mengejar apa yang sudah menjadi impiannya.
 

No comments:

Pages