Oleh : Faridha Fajriyah
Rupa-rupa
warna yang terlintas dalam pikiran ini, dua pekan. Merah menjadi satu warna
yang mendominasi, dimana warna itu kerap kita kenal sebagai aura dari rasa
kesedihan, marah dan benci. Terselip warna biru yang mengungkapkan tentang kebahagiaan
diantaranya, karna disela marah yang terlewati juga terdapat bahagia tak
direncana yang tercipta.
Warna-warna itu sering aku baca berkali dalam sebuah
novel milik Tere Liye yang berjudul Hujan. Novel fantasi itu berhasil membuatku
menangis sesenggukan sepanjang malam, bangga tak terkira pada sebuah cerita,
dan tertawa terpingkal-pingkal di saat menyuguhkan kisah yang lucu dari seorang
tokoh bernama Maria.
Tapi
bukan kisah itu yang menjadi catatanku hari ini. Melainkan tentang warna
di kepala yang menggambarkan suasana hatiku. Tentang kesedihan, kemarahan dan
rasa benci yang menghalangiku menulis. Tentang rasa senang dan bahagia yang tak
mampu ku tulis. Kenapa ?? Aku tidak tahu.
Sudah
ku katakan pada seorang teman beberapa minggu yang lalu, bahwa aku akan pasif
berkumpul dengan teman-teman untuk beberapa waktu karena sebuah hal yang tidak
bisa kuceritakan pada siapapun. Untung saja dia mengerti dengan keadaanku.
Rupa-rupanya, tak hanya pasif dalam berkumpul saja, namun rupanya aku juga
mulai pasif menulis. Gawat! Ini sebuah bencana besar bagi seorang yang
bercita-cita menjadi penulis, tetapi tidak aktif menulis.
Dihari-hari
yang gersang sajak itu, aku berharap dapat menorehkan sebuah tulisan yang dapat
dibaca. Walau hanya sekedar mengungkapkan kebodohanku yang datang mendadak itu.
Namun, tidak bisa. Tiba-tiba aku tidak bisa mengungkapkan segala yang ada.
Padahal, saat kulihat teman-temanku berhasil membuat tulisan setiap harinya,
saat aku membacanya aku pun berharap akan terstimulasi juga. Tapi, tidak bisa.
Tidak ada yang bisa ku tulis, padahal aku sangat mau menulis. Kenapa? -aku
bertanya dalam diam yang semakin membumbui kebodohanku-
Mungkinkah
soal waktu, sehingga aku tidak dapa menulis?? Kurasa tidak. Karna aku punya
banyak waktu untuk tidur dan menulis seharian?? Mungkinkah kurang membaca?
Tetapi sebelum aku tidur pasti selalu ku baca walau hanya satu dua artikel
setiap harinya. Apakah memang karena keadaanku yang kurang mendukung? Atau yang
lainnya juga pernah mengalami hal yang sama sepertiku?
Dan
dalam dua pekan yang menguap itu, aku seakan gila. Tidak ada satupun yang bisa
menjadi tulisan walaupun sekedar curhatan alay, walaupun sekedar diary cengeng,
ataupun status media sosial yang sedikit keren. -memangnya aku pernah bikin
status keren?? Memangnya status keren itu yang bagaimana??-
Aku
pun menyadari, aku tidak bisa jika tidak menulis. Sulit bagiku menceritakan
banyak hal pada orang lain, dan tidak ada jalan lain untuk mengeluarkan segala
isi hati selain menulis. Dan ini lain halnya dengan curhat kepada Tuhan, bukan
soal itu. Ini tak sama dengan mengadukan kepada Tuhan atas segala rasa. Rasa
cinta yang terpendam terhadap seseorang misalnya -Eeaaaa #eeh-
Dua
pekan yang sepi, tanpa berkumpul dengan mereka yang selalu menjadi buah catatan
setiap hari. Tanpa mereka yang terlanjur terbiasa berkumpul dan menikmati kopi
dengan khidmad. Tidak ada puisi cinta kepada corak senja, tidak ada puisi vinta
terhadap corak rasa terhadap seseorang. Buku-buku yang kuambil, kubaca sekilas
kemudian kuletakkan kembali. Tidak ada rindu, tapi ada rasa bersalah yang dalam.
***
Suatu
malam dalam dua pekan yang gersang, yang telah mencengkeram hariku dengan
kemarahan, terselubung pula hati ini oleh bahagia yang tak mampu pula ku tulis.
Hai, bagaimana bisa??
Seharusnya bisa ku tulis semua, kenapa hanya berhenti
dikepala dan membuat aku hampir gila? Banyak cinta yang tercipta disana,
satupun tak bisa ku tulis. Satupun tak berhasil ku ungkapkan. Hingga suatu pagi
yang malang, menyadarkan aku untuk sebuah tugas menulis setiap pekan. Ada
namaku disana, dan akhirnya aku menulis catatan sederhana ini. Curahan yang
mungkin hanya aku yang mau menjalani kebodohan dua pekan tidak berbakti,
berkarya, dan berarti.
Dan
hari ini, hingga petang tak juga kutemui hal yang pas untuk ku tulis. Hingga galau
terhadap rasa yang tak mampu ku tulis menjadi topik final, karena tidak ada
perkara sedih dan senang yang benar-benar bisa ku bagikan. Seperti merangkak
aku kembali mengatur kata untuk menulis sebuah catatan tentang pekan yang menyedihkan.[]
No comments:
Post a Comment