Puisi-Puisi Fitriara (3) - FLP Blitar

Puisi-Puisi Fitriara (3)

Bagikan

Kepada Puan, yang Dengannya Peluk Sama Halnya Merengkuh Semesta

Bersamamu, tak butuh waktu lama untukku menjatuhkan hati
Tubuh yang tak tahu diri itu memang tangguh
Seakan melupa kemarin adalah hari paling sibuk

Kota dengan beribu pintu mana yang belum kau sambangi
Derap langkah yang pasti membersamai senyum khas itu ke mana pun kau mengepakkan sayap
Pantas saja banyak orang tak kuasa oleh pesonamu

Segala rasa yang melupa kau rasa kini sedang berdebat
Tentang kepada siapa sang pemilik tubuh menaruh harap

Kau yang banyak kutemui di laut dan kedai kopi
Yang berjuang setiap waktu untuk meyakinkan diri sendiri bahwa pinta tak selamanya berujung bersama

Kekuatan doa yang kau genggam itu
Rasanya semakin erat saja
Menyiksa tangan lembutmu hingga berdarah-darah
Namun kau masilhlah kau yang kemarin
Kau yang tetap mengalirkan energi paling shahih
Bahwa bersama bukan hasil dari kemewahan, tapi kesungguhan

Mala, kaulah perempuan luar biasa itu



Kepada Abah yang Membanggakan Anak Perempuannya

Abah, terima kasih untuk tak pernah menyerah meski ketidakmungkinan kerap menghantui malammu
Aku takkan sejauh ini, jika Abah tak menggenggamku dengan doa-doa yang tak berkesudahan

Perjalananku masih panjang kan, Bah?
Perjuangan ini baru saja dimulai
Aku tahu beberapa hal perlu berakhir untuk kembali terlahir
Tidak semua kesempatan kedua adalah pertanda baik
Mungkin ia hadir sebagai peringatan;
Bahwa tidak semua hal mampu diperbaiki
Itu sebabnya aku tidak pernah mengabaikan yang nomor wahid

Anak perempuan kesayanganmu kini telah tumbuh dan berjiwa besar
Namun masih saja kerdil di dekapmu
Andai jarak dapat kulipat
Andai waktu dapat kupercepat
Inginku setiap apa yang aku dapat ada senyum dan punggung yang selau kulingkari dengan kedua lengan

Abah, jika kelak kau temui aku dengan pangkat dan gelar yang kuterima
Itu semua berkat nasihatmu yang berhasil

Maafkan aku jika sesekali panggilanmu kuabai
Maafkan aku jika sesekali aku jarang pulang
Maafkan aku atas ketidakmampuanku mengatur waktu hingga kerap sarapan pagi pukul satu

Abah, aku tidak pernah menyesal atas pilihan ini
Aku tahu aku mampu menyelesaikannya
Semampu Abah yang telah mengajarkanku menyelesaikan hingga khatam

Abah, tahun ini tidak akan ada cerita percintaan sebelum aku menuntaskan pendidikan
Aku tidak akan membahas kekonyolan lelaki kebanyakan
Yang hanya berani mengetuk pintu hatiku tapi tidak dengan pintu rumahku

Abah Munib, Anis anakmu pun membanggakanmu kemarin, kini, dan jutaan nanti.



Kepada Puan yang Gemar Melupa

Lun, belum pernah aku menyuratimu
Karena aku tahu persahabatan kita tak mengenal kata-kata romansa yang sarat makna
Kita hanya perlu gelak tawa

Kugali ingatan sore yang seru
Saat kita dan kopi melebur menikmati ramai kota
Saat teguk kopi yang ke satu
Menghirup aroma biji kopi dalam wadah mewah
Menyaksikan barista menyeduh semestanya
Seakan biji kopi, air, dan susu tunduk pada empunya
Lalu kita memilih meja yang sama
Disaksikan kopi pertama di kedai pinggir kota

Kita tak ubahnya muda-mudi yang kekinian
Menikmati sore ditemani kopi dan mengunggahnya di akun Instagram

Kuamati kopi kita
Warna yang sama menyuguhkan rasa yang berbeda
Kuhirup kopi ku lebih dulu
Dan pada teguk yang pertama lidahku kelu
Kopi yang kupesan tidaklah seperti Starbucks pinggir jalan yang biasa kita nikmati
Lalu mata kita berbicara mewakili pahit getir yang tercekat di tenggorokan

Aku mengisyaratkan untuk menikmati teguk pertamamu
Kau bergidik mencecapnya
Gigimu menyatu dengan bibir melengkung ke bawah
Aku tergerak ingin tahu
Ternyata kopimu lebih asam dari punyaku
Lalu kita tertawa karena apa yang terbayang tak sesuai kenyataan

Lun, meski hidup tak menawarkan kebahagiaan
Tetaplah seperti sedia kala

Lun yang gemar melupa,
Kemarin kau temukan luka yang membantai habis renyah tawa
Kini kau melupa merasakannya

Demi semesta, aku kagum dengan caramu menelan pahit
Banggalah kepada dirimu, perempuanku
Tetaplah mencoba hal-hal baru agar racun jemu tak hanya itu-itu melulu



Kepada Nama yang Belum Sempat Terabadikan dalam Pikiran

Tuhan takkan biarkan hujan dan badai di kepala tanpa tujuan
Tuhan berikan musibah sebagai bukti cinta –cinta untuk yang mencintaiNya

Andai kau tahu sayang, seberapa deras hujan di sela doa-doa kami
Tapi jangan khawatir, sayang
Dalam puluhan jam senyum pasti kembali merekah
Seakan luka kepulangan telah sirna sempurna

Banyak hari kami habiskan dengan mengulurkan tangan
Namun semakin kami mengangkat kaki orang lain lebih tinggi, semakin kami sadar ada luka yang harus kami obati lebih dulu

Berbahagialah, sayang
Tahun ini takkan banyak pinta yang berkuasa tanpa lupa mempertahankan apa yang telah ada
Terima kasih untuk menjadi kuat selama yang kau bisa
Terima kasih untuk cinta yang sempat kau hadirkan
Untuk sesuatu yang bukan milik kami, kuasa bukan milik telapak tangan

Kami,
4321, 4 manusia 3 doa 2 pilihan 1 ketetapan



Kepada Lelaki yang Tak Boleh Disebut Namanya

Hari ini butuh waktu yang lama untukku menulis
Karena aku memilih sosok yang sulit

Hari ini hujan kembali hadir setelah beberapa waktu jatuh di bumi lain
Hadirnya serupa peneduh rindu tiada habis ku

Hari ini aku bangga padamu
Kau telah berada di tempat paling bahagia
Di tempat yang tak perlu kau ingat luka yang menjerat

Apa kabar harimu?
Sudah terwujud cita mu untuk mencecap segala yang asing?
Sudah dihunikah hati yang seperti galeri luka itu?

Apapun itu, hari ini aku bangga padamu
Tidak kulihat lagi sajak-sajak patah dalam tulisanmu
Yang ada hanya binar yang mekar dalam mata elangmu

Aku bangga padamu hari ini
Kau yang mengajarkanku untuk berdiri
Kau yang mengajarkanku untuk berani mengepakkan sayap setelah patah berkali-kali
Padamu segala kuat ada

Tak perlu kau balas surat ini
Temui aku setalah hujan reda
Kenakan kostum kebaikan
Karena ia tak pernah berdusta


(semalaman aku menunggu, ku putuskan untuk berlalu, kemudian merutuki diri mengingat bahwa kita ada dibawah langit dengan warna yang berbeda)


No comments:

Pages