Tergoda Cinta di Festival Puisi Bangkalan 2 - FLP Blitar

Tergoda Cinta di Festival Puisi Bangkalan 2

Bagikan

Oleh : Faridha Fajriyah

Jumat pagi itu membuat aku pasrah dibawa ke mana pun Alfa Anisa pergi. Hari saat dia hendak menghadiri undangan Festival Puisi Bangkalan 2, dan mengajakku turut serta. Jauh-jauh hari aku menyetujui ajakannya tanpa perlu berpikir panjang. Aku memang butuh piknik untuk acara seperti ini. Rupa-rupanya dia tamu terhormat di sana, karna dia termasuk dalam 100 penyair antologi puisi dengan tajuk Lebih Baik Putih Tulang Daripada Putih Mata. (Mupeng 😁)

***

Hari itu, motor butut bersejarah milik bapakku mengantar kami ke stasiun Kota Blitar. Tepat waktu. Tidak juga perlu menunggu kedatangan kereta terlalu lama. Tidak ada lima menit setelah kami sampai, kereta sudah siap membawa kami ke kota Surabaya.

Dalam perjalanan, Alfa lebih sering diam. Terkadang membaca puisi Aan Mansyur yang baru saja dipinangnya. Terkadang mendengarkan radio, dan tidak terlalu memberikan tanggapan yang serius terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya saat. Sementara aku, lebih banyak tidur di dalam kereta. Begitu bangun langsung makan bekal yang sudah disiapkan Alfa. Hahahahaaaa....

Sejauh apa pun kita pernah pergi jauh, ketidaktahuan masih sering menghampiri. Kami sempat dibuat bingung dengan jalur menuju kabupaten Bangkalan. Naik bis ataukah naik kapal Feri. Hari itu kami memilih naik bis karena ada dua orang gadis yang siap menemani kami dalam bis sampai di Kabupaten Tangkel, Madura. Mereka baik sekali. Walau ada satu kejadian yang membuat kami melongo sambil geleng-geleng kepala. Karena saat kami menunggu bis menuju Madura, banyak mas-mas yang menghentikan bis kota sambil berteriak-teriak macam berantem saja. Dan kami tidak tahu mereka bicara apa. Aku cuma bisa memegangi tas Alfa, takut aku tertinggal di Surabaya. 😁

***

Sesampai kami di Kabupaten Tangkel, kebingungan kembali menghampiri. Sudah sore begitu, tidak ada angkutan umum plat kuning menuju Bangkalan. Seperti nasihat panitia pelaksana, kalau bisa kami harus naik angkutan kota berplat kuning. Akhirnya kami jalan kaki menuju ke barat mencari jalan kebenaran, kitab suci, dan masjid. Yang terpenting kita bisa sholat sore itu, dan makan bekal lagi. Hehehe…

Cukup jauh kami berjalan. Sayangnya aku tidak tahu berjalan sampai berapa kilometer, karena lupa membawa spidometer. Hingga kami menemukan masjid dan menunaikan sholat, kami berjalan lagi menuju ke barat melawan sinar mentari sore. Bukan main di sana panas sekali walaupun sore hari. Tapi semangat kami tidak surut. Kami menemukan angkutan umum dan akhirnya kami diantar ke SMA 2 Bangkalan dengan tarif sepuluh ribu untuk dua orang. Dzalim sekali kita sore itu, belum naik angkutan umum saja sudah minta tarif semena-mena. Sesal menyelinap di benakku setelah aku tahu jalan menuju ke lokasi ternyata jauh sekali. Seharusnya aku tidak minta tarif murah pada sopir angkutan umum itu. (Baper maning 😢)

***

Sesampainya kami di SMA 2 Bangkalan yang lokasinya sangat dekat dengan Pendopo Bupati tempat festival diselenggarakan, kami bertemu dengan salah satu undangan dari Jogjakarta. Berkostum sangar dan raut wajahnya bersahaja. Beliau menarik sekali, dan baik hati. Akhirnya kami bertiga duduk menunggu seseorang berkuda menjemput dan membawa kami ke istana. (Kenapa jadi dongeng ya?? Hehehe). Kami akan menginap di sebuah penginapan yang telah disediakan panitia. Kejutan pertama yang aku dapatkan sesampai di penginapan adalah disambut hangat oleh semua panitia. Yeyeye… Lalala...

Dan sekedar info saja, malam itu sesampai kami di penginapan dan mencari kamar yang sudah ditetapkan. Dalam keadaan capek badai, mataku disejukkan oleh dua sosok cowok tampan. Aku pribadi langsung gagal fokus dalam suara riuh orang-orang karena dua sosok tersebut. Sempat aku pikir dia anggota boy band, rupanya dia penyair dan tercatat dalam 100 penyair Bangkalan. Bravooooo Oppa!!! 😄

***

Mancing Sastra

Usai ishoma, kami langsung menuju ke pendopo tempat festival puisi dilaksanakan. Sebenarnya malam itu amat melelahkan, tetapi lelahku berangsur hilang tatkala menemukan pendopo selayak pameran. Para penyair Bangkalan memamerkan semua karyanya dan itu sangat luar biasa. Hanya bisa berucap, kapan Blitar membuat acara seperti ini? (Semoga segera dan lebih cepat)

Aku sungguh takjub menyaksikan karya yang lahir dari jiwa-jiwa pemikir itu. Semua karya sangat memanjakan mata, dan setiap karya memberikan suatu pesan untukku. Bahwa mimpi harus dilindungi dan diwujudkan. Bagaimana pun caranya.

Poster setiap dari penyair Bangkalan menyuguhkan karyanya masing-masing, dan ditata sesuai dengan karakter penyair. Ada dua ikon yang membuat aku melongo. Entah mereka mendapat inspirasi dari mana, bisa-bisanya mereka menulis puisi pada botol-botol bekas dan menggantungnya pada tiga buah tiang bambu yang disusun sedemikian rupa sebagai penyangga. Jika yang kita tahu puisi ditulis dalam secarik kertas atau daun—seperti film India yang dibintangi oleh Shahrukh Khan, inspirasi tanpa batas mereka buktikan dengan menulis pada botol-botol polos tak terpakai. Mereka juga menuliskan puisi pada batu-batu yang diam, yang kerap kita biarkan tak berguna dan terlewati setiap harinya. Mereka tak membatasi media untuk berkarya, hingga keindahan yang tercipta pun tak pernah membuat jemu.

***

Kemudian, acara dilanjutkan dengan Mancing Sastra, tentang puisi khususnya. Kami disambut hangat oleh mereka, dengan rentetan pembacaan puisi oleh beberapa penyair Bangkalan. Setelahnya, kami berbincang dengan dua orang penyair yang memberikan materi. Mereka adalah Bang Tia Setiadi dan Bang Budhi Santoso. Satu lelaki lagi diantara keduanya adalah seorang moderator, dan aku lupa namanya. Lelah mulai mengganggu konsentrasiku, apalagi materi yang diberikan saat itu cukup rumit untuk kumengerti.

Ada beberapa hal yang dapat kutangkap dalam lelah yang aku abaikan dengan paksa malam itu. Bahwa, sastra itu lebih dari sekedar makna atau arti secara teori. Tetapi tentang jiwa dan nyawa. Sementara, puisi adalah apa yang ingin disampaikan, dan bagaimana cara menyampaikannya. Semua itu bisa dilalui ketika puisi senantiasa diasah agar tajam.

Pesan yang paling mengena pada Jum'at malam itu, adalah sebuah penghargaan untuk kami para pemula pencipta puisi. Bahwa, seluruh karya yang tidak ada (tertulis) dalam antologi ini (Antologi: Lebih Baik Putih Tulang Dari Pada Putih Mata) adalah karya sastra. Kepada penyair yang belum (memiliki antologi)= belajarlah terus. Itu adalah ucapan dari Pak Budhi Santoso yang menyulut api semangat dalam diriku.

Dua jam berlangsung dengan mata yang dipaksa untuk terjaga dan perut yang dipaksa untuk sabar menahan lapar, sampailah kami di penghujung acara. Kami pulang dengan diantar oleh panitia yang bertugas mengantar dan menjemput kami.

***

Ehmfhhhhff.... Jumat yang tidak akan terlupakan. Memberikan banyak pengalaman tentang bagaimana cara bepergian sendirian. Alfa saat itu juga mengajari aku caranya mbolang dengan jalan kaki mencari masjid di kabupaten Tangkel, Madura. Jujur saja, aku belum pernah seberani itu sebelumnya.

Malam di Bangkalan menciptakan cerita. Aku belum pulang ke tanah halaman, bahkan baru saja sampai di kota tersebut. Rasanya rindu itu sudah kuyakini akan tercipta. Dengan tanah Madura dan keramahtamahan penduduknya. Dengan temaram lampu kota malam hari beserta kendaraan bermotor yang hilir dengan tertib rapi.

Malam hari sesampai kami di penginapan, lelah tak tertahankan. Namun kisah Jumat 14 April 2017 terngiang hangat sampai terbawa tidur. Kurasa Alfa masih terjaga lebih lama ketika aku terpejam.[]

14 April 2017

No comments:

Pages