Siraman Gong Mbah Pradah* - FLP Blitar

Siraman Gong Mbah Pradah*

Bagikan

Oleh : Merry Moe


Hawa dingin,  tak menyurutkan niatku untuk  beranjak dari tempat tidurku lebih awal pagi ini, kumandang shubuh belum terdengar jua. Bergegas aku ke kamar mandi belakang. Aku buka pintu lapuk bagian belakang rumahku perlahan agar aku tak menganggu ibu dan bapakku yang tengah terlelap; Ibu dan Bapak pasti bersiap agak siang hari ini.


Aku raih timba kecil itu, kuayunkan lenganku perlahan, gesekan kerekan dan tali timbaku bersuara berderit, kuambil air segayung di dekatku dan kupercikkan ke arahnya, lumayan  suara itu tak muncul lagi. Satu, dua, tiga…..sepuluh, penuh sudah bak mandiku.
Bergegas aku selesaikan mandiku, kukenakan jaket tebalku, beringsut aku ke gandok sebelah kanan rumahku. Kutuntun sepeda Honda 70 buntutku perlahan, Shubuh aku harus sudah sampai di sana, dan sholat di sana. Kuraba kantong besar jaketku sebelah kanan, hmmm ada. Kuraba kantong sebelah kiri, ya..sudah tersedia. Ku-starter motor bututku dan hilanglah aku di keremangan pagi.

#

Setiap tanggal 1 Syawal dan 12 Maulid (Rabiul Awal), aku selalu mengikuti  Upacara Adat Siraman Gong Kiai Pradah. Ini merupakan tradisi turun-temurun yang dilaksanakan masyarakat Lodoyo, Blitar Selatan. Kegiatan yang dilaksanakan di halaman kantor eks Pembantu Bupati Lodoyo Timur, Kecamatan Sutojayan yang berjarak 10 km dari arah tenggara Kota Blitar. Rela aku tinggalkan ibu kota; kantorku; pekerjaanku; istri dan anak-anakku sejenak, untuk  berdesak-desakan dengan seluruh pengunjung, berangkat lebih awal agar dapat tempat terdepan.

Mencari tuah, atau ngalap berkah, begitu masyarakat sini menamainya. Awet  muda berlimpahkan rejeki, sehat selalu dalam berkah Illahi Robbi. Namun bukan hanya itu saja yang aku cari, rasanya tidaklah nyaman meninggalkan kegiatan adat ini bagiku. Merasakan menjadi rakyat kecil, berjuang menjaga tradisi, itulah alasanku yang lain. Bisa saja aku duduk berjejer rapi diatas tribun, karena undangan selalu aku dapatkan tapi apalah arti jika aku tidak rasakan sensasi berguyur air suci menyegarkan, berebut bunga yang ditebar. Saat-saat yang selalu aku rindukan. Dengan topi lebarku, kaca mata hitamku, jaket tebalku yang siap menyembunyikan identitasku. Aku bisa berzikir bersama mengumandangkan ayat-ayat suci, bersatu dengan semua umat tanpa tahu-menahu siapa dan apa kedudukannya. Inilah peleburan masa dari seluruh penjuru kota dan desa.

#

Kiai Pradah adalah sebuah pusaka berbentuk Gong (kempul laras 6) milik Pangeran Prabu, putra raja Mataram dari salah seorang selir. Bangsawan ini terusir dari lingkungan keraton karena dituding berambisi menduduki tahta kerajaan yang pada saat itu telah menjadi hak putra mahkota, Paku Buwono I.

Dalam pembuangan, Pangeran Prabu mengajak isterinya, Wandansari, disertai seorang abdi, Ki Amat Tariman yang membawa pusaka berupa gong bernama Kiai Bicak. Ketiganya berjalan jauh hingga sampai di kawasan hutan belantara Lodoyo. Di tengah rimba itu mereka bertemu dengan Nyai Potrosuto, seorang janda di desa Ngekul.

Setelah melepaskan lelah beberapa waktu, Pangeran Prabu mengajak interinya melanjutkan pengembaraan. Ki Amat Tariman tidak diajak, melainkan mendapat tugas menjaga Kiai Bicak yang dititipkan kepada Nyai Potrosuto. Wasiat yang diberikan Pangeran Prabu, agar supaya pusaka itu dimandikan setiap tanggal 1 Syawal dan 12 Rabiul Awal, bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Perjalanan hidup Pangeran Prabu tampaknya memang dihabiskan dalam pengembaraan. Takdir lain yang harus diterima, isterinya selalu gagal memiliki anak. Sementara itu Ki Amat Tariman dan Nyai Potrosuto menghabiskan hidup mereka dalam pengabdian menjaga pusaka Kiai Bicak. Suatu ketika, Ki Amat Tariman memukul pusaka itu. Namun, ajaib, yang muncul kemudian seekor harimau besar yang sangat penurut. Binatang itu tidak menganggu, malah menjaga kedua orang itu.

Mitos tersebut bertahan terus-menerus sepanjang masa hingga sekarang. Sebutan Kiai Bicak berubah menjadi Kiai Pradah atau Mbah Pradah. Ki Amat Tariman punya keturunan dan beranak-pinak. Meski akhirnya abdi setia itu meninggal, namun tugas merawat pusaka warisan itu diteruskan anak-anaknya. Setiap kali dilakukan pencucian pusaka itu, masyarakat berbondong-bondong mendatanginya. Mereka meyakini, air jamasan, bekas cucian pusaka, bunga setaman, boreh dan nasi untuk kenduri mengandung tuah magis untuk panglaris dan awet muda. Itu sebabnya tradisi ini selalu ditunggu-tunggu masyarakat.

Pengabdian dan kesetiaan tanpa batas dan akhir, bak perjalanan sang mentari terbit dari timur dan terbenam di ufuk barat. Bersinar tanpa pamrih untuk berbagi manfaat dan kebaikan buat semua umat. Pengabdian dan kesetiaan yang teramat sulit aku temukan di jaman sekarang. Nilai-nilai inilah yang selalu aku dapatkan dan pembaharuan semanggatku untuk selalu mampu bertekad mengabdi untuk masyarakat dengan dasar kebaikan semua umat dalam bidangku. Bila  Ki Amat Tariman bisa, mengapa aku tidak?

#

“Lho…Nak  Abimanyu kapan rawuh?” tepukan halus di pundakku mengejutkanku.
    “Pak Dhe…” aku ulurkan tanganku dan mejabat erat tangan sepuhnya, memeluknya erat. “Kala wingi dalu Pak Dhe, badhe ngalap berkah.” jawabku perlahan.
    “Wellah…ayo…kono neng tribun kana,” aku termangu sejenak. Mana bisa aku menolak ajakan sekaligus pemaksaan ini, atau aku akan tercoret dari silsilah keluarga. Ahhh…Gatot (gagal total) penyamaranku tahun ini.[]

Blitar, 26 Pebruari 2017

*ditulis untuk Writing Challenge FLP Blitar, dalam rangka menyambut milad FLP ke-20. .

No comments:

Pages