Kenapa saya menulis cerpen? - FLP Blitar

Kenapa saya menulis cerpen?

Bagikan


ilustrasi


Bagi saya, sastra, termasuk diantaranya cerpen adalah jenis tulisan yang memiliki dimensi berbeda ketimbang jenis tulisan lain seperti Artikel Ilmiah, dan apalagi berita. Kalau berita harus berdasarkan fakta, Artikel Ilmiah biasanya lebih menyoroti topik tertentu dan harus dijelaskan secara mendetail. Misalkan, artikel ilmiah tentang kesenjangan ekonomi, penulis harus secara detail menjelaskan apa itu kesenjangan ekonomi, apa masalahnya, dan bagaimana solusinya. Tentu saja harus sesuai fakta dan data yang akurat.

Kita membaca berita untuk mendapatkan informasi (reading to get information), kita membaca artikel ilmiah populer untuk mendapatkan data dan opini (reading to get perspective). Misal, kita membaca artikel tentang kecantikan, tujuan kita tentu ingin tahu apa yang dimaksud dengan kecantikan, fakta-fakta tentang kecantikan, dan bagaimana memperolehnya. Termasuk opini tentang kecantikan dari yang ahli dibidangnya, katakanlah dokter kulit atau ahli farmasi.

Untuk itu, jika ingin menjelaskan sesuatu secara gamblang, mending menulislah artikel ilmiah populer. Termasuk menulis tentang hukum-hukum, menulis tentang pendidikan, menulis tentang segala hal yang menurut kita salah dan benar.

Lalu bagaimana dengan cerpen? Untuk apa kita membaca cerpen? Cerpen adalah jenis berbeda dari berita atau artikel ilmiah populer. Dibandingkan esai, cerpen hampir memiliki kesamaan, dalam aspek memotret realitas. Bedanya, esai bisa ditulis dalam bentuk yang cair layaknya bahasa berita seperti esai-nya Dahlan Iskan, bisa juga ilmiah seperti tulisan Radhar Panca Dahana, bisa juga puitis seperti esai-nya Goenawan Mohamad. Tetapi cerpen memiliki bentuk tersendiri, harus ada dialog, alur, tokoh.

Persamaannya, esai dan cerpen tidak harus menjawab sesuatu secara ilmiah maupun datable layaknya Artikel Ilmiah. Kalau Artikel Ilmiah harus Ilmiah, kalau cerpen bisa menggunakan isyarat-isyarat ilmiah, bisa juga tidak, tergantung selera.

Karena masuk dalam genre sastra, cerpen bagi saya adalah karya tulis yang sangat terbuka pada segala bentuk realitas. Justru akan sangat membingungkan ketika dalam cerpen, atau karya sastra tersebut, realitas ditutup tutupi, atau misalkan di sensor. Karya sastra, dalam hal ini cerpen, adalah upaya menghadirkan realitas dalam pikiran pembaca.

Kita tidak bisa menyebut cerpen-cerpen yang sekilas mendeskripsikan pornografi sebagai cerpen porno. Konsep pornografi harusnya tidak ada dalam cerpen. Adanya di artikel ilmiah, di artikel-artikel keagamaan. Misal dalam cerpen kita menulis, Lastri melucuti bajunya di depan konglomerat dan memberikan tubuhnya untuk dinikmati karena ia tak mampu membayar hutang.

Apakah itu bisa disebut isyarat pornografi dan lantas kita menyebut itu haram? Iya haram, dalam perspektif penilaian agama. Tapi bukankah kemampuan cerpen itu memotret realitas? Ketimbang menyebut itu porno dan haram, bukankah itu lebih pada upaya sang penulis untuk menunjukkan betapa seorang Lastri berada pada titik keputus asaannya karena terlilit problem ekonomi. Dari kesadaran itu pula, akan membangun empati pembaca, bahwa mungkin saja ada banyak realitas yang demikian. Mereka yang karena faktor ekonomi, melanggar batas-batas etika.

Disitulah kekuatan cerpen. Bukan sekedar memberi informasi, data, hingga opini, tapi mengajak pembaca untuk merasakan (reading to feel) dan berempati. Mungkin cerpen menyisakan pesan, tapi tidak selalu. Pesan itu bisa tersirat atau tersurat. Atau bahkan seorang cerpenis kadang tak ingin berpesan apa-apa. Jika ingin menyampaikan pesan secara eksplisit, lebih baik menulis artikel, bukan cerpen.

Bahkan menurut Plato, Sastra itu mimesis (gambaran dari kenyataan), sastra pula, menurut Aristoteles, sangat membutuhkan agama, ilmu pengetahuan dan filsafat. Sastrawan terkemuka kita, Sapardi Djoko Damono, bahkan mengatakan bahwa sastra itu adalah gambaran kehidupan, dan kehidupan sendiri adalah kenyataan yang terjadi.

Jadi dalam memandang karya sastra, dalam hal ini cerpen, kita pun juga harus terbuka. Tidak boleh hitam-putih. Tidak boleh sempit pandangan. Cerpen, dan apalagi novel, dimensinya sangat luas karena merupakan mimesis (gambaran realitas).

Ambil contoh Novel-novel Buya Hamka. Buya Hamka termasuk tokoh sastra (Islami). Misalkan novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah”. Novel itu masuk kategori novel Islami bukan karena tokohnya Muslim, tapi karena nilai dalam ceritanya, dimana Islam menolak kastanisasi. Hamid dan Zaenab tidak bisa menikah karena mereka dipisahkan oleh Kasta, Hamid sebagai kaum miskin (Mustadafin) sementara Zaenab anak orang kaya. Perlawanan terhadap kasta-kasta inilah yang merupakan pesan Universal Islam yang terkandung dalam surat Al Hujarat : 13. Bahwa derajat seseorang bukan dari kasta secara ekonomi, melainkan dari Ketaqwaan.

Tapi ingat juga, ada satu adegan dalam novel itu dimana Hamid memberikan nafas buatan kepada Zaenab yang bukan muhrimnya. Apa itu harus disensor dan bisa disebut melanggar moral? Tentu tidak sesederhana itu. Karena sebagai sebuah realitas, maka harus dipotret secara utuh agar pembaca pun bisa menangkapnya secara utuh. Seperti halnya realitas, ia tak bisa dibendung.

Sehingga, jika hendak menulis cerpen, maka paradigma yang harus kita bangun tidak seperti menulis berita atau artikel yang sekedar memberi informasi, data dan opini. Tapi bagaimana mengajak pembaca untuk ikut merasakan. Agar pembaca benar-benar merasakan, maka deskripsi atas realitas dan keadaan itu memang sebisa mungkin dihadirkan. (*)

Blitar, 18 Februari 2016
A Fahrizal Aziz

2 comments:

Tasly ICP said...

Menarik.

Herbal Jantung Tanpa Efek Samping

titiek setyani_titiek st said...

CANTIK, WRITING SHORT STORY MUST BE COLORFULL

Pages