KUS - FLP Blitar

KUS

        Bengkulu memancarkan keteduhan. Pepohonan yang rindang mengelilingi kediaman Fatamawati dan keluarganya. Sore itu di rumah panggung, terdengar sebuah pertengkaran.
        “Apo ini, memalukan Bak sajo?” Kata Bak, Ayahnya Fat. Tangannya masih memgang surat dari Soekarno yang ia temukan tergeletak di kamar Fatmawati.
        “Kalau Bak membahas itu lagi, ndak usahlah. Fat sudah yakin dengan pilihan Fat.”
        “Fat dengar dulu” Fatmawati berlari menuju kamar. Ia membaringkan tubuhnya tengkurap diatas kasur kamarnya. Ia menangis tersedu. Bak dan Maknya menghampirinya.
        “Dengar Fat, andai kato Bung Karno itu masih bujang tentu tidak jadi masalah.”
        “Cak mano perasaan Bu Inggit? Mau engkau dimadu? dan maukah Bu Inggit dimadu pula?”
        ‘Lalu Bak dan Mak mau Fat cak mano? Fat bahagia dengan Bung Karno. Ia lelaki pilihan Fat” Kata Fat. Ia bangun dari ranjangnya. Dan berlari keluar.
        “Fat, tunggu Fat. Pikirkan dulu masak-masak.” Bak dan Mak Fat hanya bisa menggeleng. Mereka menarik napas dalam-dalam. Fatmawati memang gadis yang keras kepala. Bisik keduanya.
        Sementara Soekarno atau Bung Karno belum mengambil keputusan yang jelas. Baginya Inggit adalah pengobar semangatnya. Ia masih ingat betul ketika Inggit mengirit ongkos dengan berjalan sejauh 30km  dari Ciatel menuju penjara Sukamiskin hanya untuk menjenguknya dipenjara. Tidak hanya itu Inggit juga mendampingi hari-harinya dipembuangan di Ende hingga Bengkulu. Bahkan Inggit dapat melakoni 3 peran sekaligus. Menjadi ibu, sahabat dan kekasihnya. Mungkin tanpa Inggit Soekarno sudah selesai di penjara dalam keadaaan putus asa dan pemikiran-pemikiran besarnya tidak pernah kita dengar.
        Pikirannya sedang menceracau. Tidak hanya masalah keluarga, Negara juga sedang mengalami masalah serius. Jenderal Imamura telah digantikan oleh Jenderal Harada yang kebijaknnya lebih kejam. Ia melarang rakyat Indonesia mengibarkan bendera merah putih. Lebih dari itu ia melancarkan propaganda 3A yang sangat merugikan rakyat Indonesia.
        “Kamu masih memikirkan gadis itu Kus?” Inggit keluar dari biliknya. Rambutnya tersanggul dengan rapi. Tangannya memegang lampu ublik sebagai penerang. Kusno masih duduk termenung di teras rumah.
        “Perempuan itu? besok aku akan mati Nggit?” Inggit masih ditempatnya, berdiri termenung. Lalu bibirnya mendesis, ia melangkah dan duduk disamping Soekarno.
        “Yang aku hadapi adalah raksasa baru yang tidak hanya sekedar membuang atau memenjarakan musuh-musuhnya.”
        “Mereka yang rugi Kus, kalau sampai membunuhmu. Rakyat lebih percaya kamu daripada Nippon.”
        “Jauh-jauh hari Belanda sudah menduga Nippon akan memanfaatkan aku.”
        “Atau kamu yang akan memanfaatkan mereka.” Argumen Inggit yang datar namun penuh wibawa membuat Soekarno tercengang. Inggit kembali mendesis dan menarik napas dalam-dalam.
        “Lebih baik kamu tidur Kus, udara malam akan membuat pikiranmu semakin kacau.”
***
    Soekarno bersama Bung Hatta berhasil bekerjasama dengan pemerintahan Dai Nippon. Bahkan taktik Soekarno membuahkan hasil. Berkali-kali Jenderal Harada memuji kecerdasan Soekarno dalam memikat hati rakyatnya untuk bersimpati pada Nippon. Dan pada Maret 1943 Soekarno berhasil mengganti organisasi propaganda 3A dengan POETERA, Poesat tenaga rakyat.
    Soekarno berhasil memanfaatkan organisasi Poetra menjadi jembatan menuju kemerdekaan yang ia cita-citakan. Namun, disaat yang sama ia cintanya terhadap Inggit sedang diuji. Pikirannya kacau. Ia sering duduk termenung. Fatmawati dilamar orang, sementara ia terlanjur cinta dengannya. Tetapi ia juga tak ingin melepas Inggit.
    Malam itu sebuah pertengkaran terjadi, setelah siangnya Inggit mnemukan surat cinta Soekarno dan Fatmawati.
        “Tapi aku tidak mau menceraikanmu Nggit?” Soekarno menjelaskan.
        “Itu mah pamali, ari dicandung mah cadu Engkus. Itu pantang kalau dimadu pantang Engkus” Inggit mengepalkan tangannya didinding. Tekatnya sudah bulat. Ia menangis tersedu. Soekarno merasa serba salah. Ia duduk terpekur dikursi tuanya.
        “Mencintaimu tidak hanya dengan cinta Kus”
        “Kau sudah tunjukkan itu, cintamu, pengorbananmu, semuanya”
        “Ya, meskipun tidak cukup bagimu Kus”
        “Aku tidak pernah berharap lebih darimu, sudah begitu banyak pengorbannamu, tanpamu aku tidak akan seperti ini.”
        “Inggit iklas Kus, hanya saja Inggit tidak bisa menerima istri kedua, itu prinsip. Kuharap kau bisa menerima keputusanku. Sudah cukup Inggit mengantar Engkus pada gerbang cita-cita Engkus”
         Nada suaranya membuat Riwu tercekam. Bukan kata-katanya. Kemarahannya, kemarahan yang ada dibenaknya! Marah pada laki-laki itu, tentu, yang namanya dia sebut dengan mendesis, karena melamar seorang gadis. Dan ia akan dimadu. Rasa geram tergurat jelas diwajahnya. Sinar matahari senja membuat itu kian kentara. Riwu anak asuh Bung Karno tak sengaja menguping di balik daun jendela.
        Dan Riwu tidak ingin memikirkan apa yang ada dibalik pintu kayu itu. itu urusan keluarga antara Bung Karno dan istrinya, Ibu inggit.  Inggit pun tahu Riwu, anak asuhnya berdiri hanya beberapa meter darinya, hanya terpisah oleh pintu kayu itu.
        Lewat tengah malam, Bung Karno masih duduk dalam diamnya. ia masih terngiang kalimat yang diucapkan Ibunya saat ia dan Inggit pergi ke Blitar.
        “Kapan kau memiliki anak Kus?” begitu selalu berulang-ulang ia ucapkan pada Kusno (nama kecil Soekarno), saat ia bertandang ke rumah Ibunya bersama Inggit. Inggit yang mendengarnya bagai ditusuk-tusuk jarum hatinya. Karena ia tak mungkin memberikan keturunan untuk soekarno. Usianya sudah setengah abad, 53 tahun.
***
    Udara pagi masih segar. Embun masih asyik menciumi pucuk dedaunan, dan mentari pun masih enggan keluar dari biliknya.
“Dari sini kamu mau pulang kemana?”
    “Dirumah Haji Anda di Lengkong Besar Kus. Kenalan baik waktu di Bandung”
    “Biar aku antar.” Bung Karno mendekat.
    “Tidak usah.” Inggit menampik tawarannya.
    “Ijinkan aku melakukan sesuatu buatmu, untuk terakhir kalinya.” Suaranya tertahan, bergetar dan menyesakkan dada. Ini adalah hari terakhirnya bersama Inggit. Inggit berlari kekamar duduk di pembaringannya dan menangis. Ia mengelus ranjangnya, ranjang tidurnya dengan Soekarno. Dan ia tak akan merasakan kehangatan dengannya lagi.  Lalu ia mengambil peci berwarna hitam diatas meja. peci kebanggaan Soekarno. Soekarno belum beranjak, ia masih berdiri mematung ditempatnya. Inggit melangkah mendekat. Dilihatnya empat anak asuhnya sesenggukan diruang keluarga. Ia berdiri dihadapan Soekarno.
    “Ijinkan aku menyematkan peci ini untuk terakhir kalinya Kus” Soekarno mengangguk. Matanya mendanau. Inggit meraih peci itu dan menyematkan dikepala Soekarno.
    “Sudah cukup Inggit mengantar Engkus menuju gerbang gerbang cita-cita Engkus, gerbang kemerdekaan. Selamat tinggal Engkus, selamat berjuang.”
    Inggit melangkah, pergi meninggalkan Soekarno. Sopir pribadi Soekarno mengantarkannya. Riwu anak asuhnya menangis sesenggukan. Ia berlari mengejar Inggit. Inggit melarangnya.
    “Kamu harus menjaga Bapak baik-baik.” Dari dalam mobil Inggit menyembulkan kepalanya keluar tanganya menepuk bahu Riwu.
Roda mobil berputar, kendaraan melaju. Soekarno masih menatap inggit dari balik jendela. Ia tak kuasa menahan air yang merembes dari bola matanya. Baginya inggit adalah penyebar semangatnya. Inggit meninggalkan halaman kediaman Soekarno. Meninggalkan cintanya. Baginya Soekarno adalah cinta sejatinya yang telah ia hantarkan sampai pada gerbang kemerdekaan setelah melewati berbagai gejolak marabahaya.
(Saif Ahmad, Blitar 20 Febfruari 2016)

No comments:

Pages