Maafkan Aku, Ibu... - FLP Blitar

Maafkan Aku, Ibu...

Bagikan
     Cahaya lilin yang temaram menerangi gulitanya malam ini. Belakangan ini PLN makin gemar saja memadamkan listrik secara bergilir. Kutatap foto yang berada di tanganku. Kuamati wajah ayu yang tergambar di sana. Wajah itu masih sangat jelas dalam pandanganku, meski hanya disinari cahaya lilin. Aku tersenyum sendiri, namun kemudian kurasakan mataku membasah.
    “Ibu....maafin Dimas....” ucapku lirih dalam airmata yang mulai jatuh satu-satu. Dalam gelap, kini memoriku melayang pada kejadian sepuluh tahun lalu.

    Saat  itu usiaku limabelas tahun. Masih duduk di bangku kelas satu SMA. Sebenarnya, sejak dulu aku bukan tipe anak yang nakal. Tapi, sejak masuk SMA dan mengenal Toddy dan gengnya, kelakuanku berubah seratus delapanpuluh derajat.
    Aku ingat, kala itu aku sedang menunggu bis, lalu tiba-tiba Toddy menghampiriku. Ketika itu aku merasa ngeri sendiri melihat Toddy yang berjalan ke arahku dengan sempoyongan.
    “Lo mau?! Ini...enak banget! Hahahaa!” dia berdiri di hadapanku sambil mengacung-acungkan botol minuman keras tepat di mukaku. Aku yang ketakutan segera lari menjauhi Toddy, namun tiba-tiba keempat temannya menghadangku. Salah satu dari mereka, yang kutahu bernama Doni mencengkeram kerah bajuku.
    “Hei, anak sok alim! Lo mau nggak gabung sama kita-kita?! Gue jamin, semua masalah lo akan hilang!” serunya. Aku berusaha berontak dari cengkeraman Doni, namun gagal.
    “Mau ke mana lo, ha?! Lo nggak akan bisa lolos dari gue!”  seketika Toddy sudah ada di hadapanku. Aku masih diam. Tiba-tiba, Pak Tardi, penjaga sekolah datang melerai kami. Huuft, alhamdulillah.... Aku pun terbebas dari Toddy dan gengnya.
    Tapi malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Waktu yang terus bergulir memaksaku untuk berurusan dengan mereka lagi. Hal ini terjadi saat aku kelas dua. Saat itu, kondisi jiwaku sedang labil. Keluargaku berantakan. Ayah yang begitu kucintai tega meninggalkan ibu, aku, dan Mbak Ayu, kakakku demi perempuan lain. Perlakuan itu membuatku mendendam pada lelaki yang dahulu sangat kubanggakan itu. Penderitaan kami belum berakhir sampai di situ. Ibuku didiagnosa dokter menderita kanker otak stadium tiga. Akhirnya Mbak Ayu yang harus membanting tulang menafkahi ibu dan aku dengan mengirimkan tulisan-tulisannya ke beberapa media dan menjadi penerjemah tulisan-tulisan di salah satu majalah asing. Meski tak seberapa, kami tetap bersyukur masih bisa survive walaupun ayah telah meninggalkan kami.
    Namun kesalahan malah terjadi padaku. Diriku. Anak lelaki satu-satunya yang sangat dibanggakan kedua orangtua dan kakakku. Aku bukannya membantu ibu dan Mbak Ayu dengan mempersembahkan prestasi-prestasi gemilang, tapi aku malah menjelma menjadi Dimas yang lain. Pribadi yang sangat berbeda. Bahkan diriku sendiri pun tak bisa mengenalinya.
    Aku mulai gemar melalaikan tugas sekolah, tidur di kelas, banyak alpa, dan berteman dengan orang-orang yang “salah”. Salah satunya dengan Toddy dan gengnya yang dulu sempat kumusuhi itu. Begini kata Toddy saat aku menawarkan diri menjadi bagian dari gengnya yang diberi nama Evils Gang itu.
    “Wohoho...ternyata sobat alim kita berubah pikiran! Kalau dulu kita yang ngejar-ngejar dia buat dijadiin anggota, sekarang malah dia yang nawarin dirinya! Hahaha! Lo kenapa, Dim? Salah makan obat apa lo, sehingga lo bisa ngorbanin ke”alim”an lo itu dan masuk geng gue?! Hahaha!” dia meledekku sambil tertawa-tawa, diikuti para kaki tangannya yang juga menertawaiku. Aku hanya bisa menceritakan masalah yang membelit keluargaku sambil tertunduk. Tawa Toddy meledak lagi saat aku usai bercerita.
    “Oh, jadi lo ada problem? Tenang aja, Sob. Gue punya solusi buat lo biar masalah lo bisa beres!” ucapnya penuh misteri.
    “Apaan solusinya?” tanyaku penuh harap. Toddy lagi-lagi terbahak-bahak.
    “Eit, nggak semudah itu, man! Ada syaratnya!” tukasnya. Aku menghela napas.
    “Apa?”
    “Tapi lo harus janji bakal penuhin syarat ini! Kalau lo nggak bisa menuhin, gue juga nggak bisa kasih solusinya!”
    “Ehm...oke...gue bakalan penuhi syarat lo!” jawabku yakin. Toddy pun langsung memberitahukan syaratnya, diantaranya harus selalu mematuhi perintah Toddy sebagai bos geng, termasuk perintah untuk bolos dan kumpul bareng di markas Evils Geng di gudang sekolah. Setelah itu, Toddy memberikanku seplastik kecil berisi beberapa butir pil merah muda.
    “Apaan nih, Tod?” tanyaku heran.
    “Itu solusi buat masalah lo! Cobain aja! Sekali coba, lo pasti tenang!” dia membujukku. Aku pun merasai pil merah muda itu. Dan sejak saat itulah hidupku makin berantakan.
    Setiap kali pil merah muda yang bernama ekstasi itu habis, aku langsung mencari Toddy. Beberapa kali, Toddy memberi pil itu gratis untukku. Tapi lama-kelamaan ia mengharuskan aku membayar seratus ribu untuk satu bungkus kecil ekstasi. Sementara, dalam seminggu setidaknya aku membutuhkan dua plastik ekstasi. Maka aku harus membayar dua ratus ribu tiap minggu. Dan jika uang yang kupunya telah menipis, maka aku akan beralih profesi menjadi pencopet dadakan di bis atau angkutan umum.
    Selain mulai menggunakan obat-obat terlarang, aku juga mulai senang minum-minuman keras. Tiap pulang sekolah, aku selalu ikut Toddy dan gengnya untuk pesta miras di gudang sekolah yang letaknya cukup jauh dari gedung sekolah.

    Selama beberapa bulan, aku sukses menutupi tingkah lakuku dari ibu dan Mbak Ayu. Tapi rupanya, hari itu takdir berkata lain.......
    Siang itu aku tak ada di rumah. Seperti biasa, aku pergi main dengan Toddy dan gengnya. Setelah pulang, aku buru-buru menuju kamar. Namun aku kaget saat melihat  pintu kamarku terbuka. Siapa yang bisa membukanya ya? Bukankah tadi aku sudah menguncinya? Dengan agak sempoyongan, aku masuk kamar. Dan alangkah kagetnya aku, saat mataku menangkap wajah pucat ibu yang bersimbah airmata sedang duduk di ranjangku, memandang nanar ke sekeliling kamarku yang berantakan.
    “Ngapain Ibu di sini?!” seruku kesal. “Gimana bisa ibu masuk kamar Dimas?!” bentakku. Ibu berdiri, mendekatiku. Lalu dipandanginya aku yang sedang memelototinya. Diamatinya wajahku yang tirus, badanku yang makin ringkih dan kurus. Ibu tersedu.
    “Apa yang kamu lakukan selama ini, Dimas?! Kenapa kamu menjadi seperti ini?! Apa yang kamu sembunyikan dari Ibu, Nak?!” tanyanya geram bercampur isak tangis. Aku membisu. Tertunduk. Lalu sedetik kemudian, aku kembali memelototi ibu.
    “Itu bukan urusan Ibu! Dimas udah gede, Bu! Dimas bisa atur hidup Dimas sendiri! Ibu nggak usah ikut campur!” bentakku. Ibu terbelalak. Dia menatapku lekat-lekat, seolah meyakinkan dirinya bahwa yang ia lihat sekarang benar-benar aku.
    “Masya Allah, Dimas...kenapa kamu berbuat seperti ini...kenapa kamu tega berbicara begitu pada Ibu.....dan....ini apa...Nak?” tanya ibu tersendat-sendat sambil menunjukkan plastik berisi obat terlarang itu padaku. Aku merebutnya.
    “Ibu dapat dari mana obat ini?! Udahlah Bu! Ibu nggak usah mencampuri urusan Dimas! Biar Dimas atur hidup Dimas sendiri!” seruku.
    “Ya Allah, Dimas...istighfar, Nak, sadar! Tinggalkan barang-barang haram itu, Nak...” ucap ibu sambil tetap terisak. Aku makin kesal.
    “Udahlah, Ibu diem aja! Nggak usah sok-sok nasihatin Dimas!! Ibu keluar! Keluar dari kamar Dimas! Jangan ganggu Dimas, Bu!” bentakku sambil mendorong tubuh ibu keluar dari kamarku. Karena keadaan ibu yang sudah sangat lemah, ibu pun jatuh. Kepalanya terbentur lantai. Tapi ibu bisa berdiri lagi meski agak sempoyongan.
    “Dimas....kamu...keterlaluan....” ucap ibu tersendat. Aku tak peduli. Bersamaan dengan itu, Mbak Ayu datang.
    “Assalamualaikum! Ibu?!”  dia masuk dan mencari ibu. Sampai di depan kamarku, ia terkejut melihatku dan ibu sedang bersitegang.
    “Ya Allah, Ibu, ada apa?! Ibu kenapa, Bu?” tanya Mbak Ayu cemas. Tiba-tiba ia mengarahkan pandangan padaku.
    “Oh, kamu masih inget rumah juga ternyata!” katanya sinis. Aku memelototinya.
    “Mbak nggak usah banyak ngomong!” tukasku. Mbak Ayu memandangku marah.
    “Oh, jadi kamu udah berani ngelawan ibu dan aku?! Aku sangat menyesal punya adik seperti kamu! Mengecewakan!” bentaknya. Ibu langsung menengahi.
    “Ayu, sudah, jangan ngomong begitu sama adikmu!” Mbak Ayu ganti menatap ibu.
    “Bu, dia itu sudah keterlaluan! Tadi Ayu dapet surat pemberitahuan dari sekolahnya, bahwa anak ini dikeluarkan dari sekolah karena mengonsumsi narkoba dan minuman keras, dan dia juga sudah jadi pencuri Bu! Aku menyesal punya adik seperti dia!” seru Mbak Ayu. Ibu membelalak.
    “Apa?!” seru ibu. Aku pun kaget, tapi aku sudah tak peduli lagi.
    “Biar aja! Biarin Dimas dikeluarin dari sekolah! Dimas udah muak sekolah! Dimas udah muak sama kalian!” bentakku sambil menuding ibu dan Mbak Ayu. Obat-obat terlarang dan minuman keras itu berhasil mengubahku jadi Dimas yang kejam. Mbak Ayu makin marah mendengarnya, sementara ibu makin larut dalam tangisnya.
    “Oh, baiklah kalau begitu! Berarti Mbak nggak perlu susah-susah nasihatin kamu lagi! Pergi kamu dari sini! PERGI! Dasar anak nggak tahu terima kasih!” Mbak Ayu mengusirku. Ibu berusaha mencegah diiringi derai airmatanya yang tak berkesudahan, tapi Mbak Ayu tetap bersikukuh pada keputusannya. Tanpa basa-basi lagi, segera kulangkahkan kakiku meninggalkan rumah, diiringi airmata ibu yang terus mengalir tanpa henti.

    Dua bulan berlalu. Selama itu pula, aku tak pernah kembali ke rumah dan sama sekali tak mau tahu tentang ibu dan Mbak Ayu. Setiap hari kegiatanku hanya main-main, mabuk-mabukan dan bergelut dengan obat-obat terlarang itu bersama Toddy dan gengnya yang juga sudah dikeluarkan dari sekolah. Selama itu aku sangat menikmati saat-saat seorang Dimas yang liar, tak tahu aturan, dan jadi sangat badung. Tapi ternyata Allah masih ada untukku. Untukku yang telah berlumur dosa dan kesalahan ini.
    Suatu hari, saat aku dan Evils Gang sedang mabuk-mabukan, tiba-tiba datanglah sekelompok polisi yang menangkap kami. Rupanya polisi itu mendapat laporan dari masyarakat sekitar yang resah karena kelakuan kami. Toddy dan gengnya berhasil ditangkap, sedangkan aku bisa meloloskan diri. Aku terus berusaha melarikan diri dari kejaran pria berseragam coklat itu, tapi rupanya di  tengah jalan aku mendadak sakaw. Badanku menggigil dan tergeletak tiba-tiba. Tapi aku masih berusaha berjalan, meski tak tentu arah. Tiba-tiba, dari arah berlawanan muncul pick up yang melaju dengan kecepatan sedang. Karena aku tak punya daya lagi untuk bangun, tak ayal aku tertabrak pick up itu, dan aku kehilangan kesadaran.............
    Ketika aku membuka mata, aku berada di sebuah kamar sederhana. Aku memandang sekeliling dengan heran. Sayup-sayup kudengar sebuah lagu mengalun tak jauh dariku.


♪Beribu dosa tlah terjadi mewarnai langkahku
Hitam diri hitamlah hari yang lalu
Bila tanpa cahayaMu gelap seluruh hidupku
Tak berdaya tak berarti sia-sia....
Buka mataku buka hatiku
Allah terangilah hidupku dengan sinarMu...♪


    Tanpa terasa, airmata membasahi pipiku. Aku merasa menjadi manusia yang sangat hina. Banyak dosa. Berlumur kesalahan...
    “Oh, kamu sudah sadar, Nak!” tiba-tiba kudengar suara seseorang. Kulihat ke sebelah kiriku, seorang kakek tersenyum padaku. Aku terbelalak kaget.
    “Saya....di....mana.....” ucapku lirih. Kakek itu duduk di kursi di samping ranjang.
    “Kamu di rumah saya. Tadi kamu tertabrak mobil saya. Badan kamu panas sekali. Wajahmu pucat, Nak. Sepertinya kamu terpengaruh obat-obatan terlarang...” jawab kakek itu. Aku tertunduk, kemudian tanpa diminta aku menceritakan semua yang menimpaku pada kakek itu.
    “Astaghfirullahaladzim…. Kenapa kamu berbuat seperti itu, Nak? Kesalahan ayahmu di masa lalu tak harus kamu balas dengan itu. Kelakuanmu itu malah membuat ibu dan kakakmu makin menderita. Oh ya, siapa namamu?”
    “Dimas, Kek… Kek, apakah tak ada kesempatan bagi saya untuk bertaubat?” tanyaku pelan.
    Kakek yang belum kutahu namanya itu tersenyum bijak. “Tentu saja ada, Dimas. Setiap orang punya kesempatan untuk bertaubat.” kata-kata kakek itu membuat senyum terlukis di wajahku.
    “Benarkah itu, Kek?” tanyaku meyakinkannya. Sang kakek mengangguk. Aku tersenyum, nyaris meneteskan airmata haru. “Alhamdulillah…..Allah masih memaafkan saya, Kek…”
    “Ya. Lebih baik sekarang kamu makan dulu. Nanti kalau kamu mau, saya akan mengajarimu shalat dan membaca Alquran…” ujar kakek. Wajahku berbinar.
    “Ya, Kek, saya mau! Terima kasih! Oh iya, nama Kakek siapa?”
    “Panggil saja Kakek Abu…” jawab sang kakek, lalu beranjak meninggalkanku.
    Sejak saat itu, aku tinggal di rumah Kakek Abu. Ternyata lelaki tua yang selalu berpeci putih ini adalah ustadz terkemuka di daerah itu. Setiap aku teringat akan obat-obat laknat itu dan ingin memakainya lagi, Kakek Abu selalu mengalihkan pikiranku dengan shalat dan membaca Alquran. Hingga sebulan kemudian, aku sudah fasih membaca Alquran dan menjadi jauh lebih baik.
    “Sekarang lebih baik kamu pulang ke rumah orangtuamu. Ibumu pasti rindu padamu, Dimas.” Kakek Abu berkata padaku saat kami sedang makan siang bersama.
    “Apa Kakek yakin kalau ibu dan kakak saya masih merindukan saya?” aku bertanya lirih. Terekam lagi di otakku, betapa jahatnya aku pada dua wanita yang sangat menyayangiku itu.
    “Semua orangtua itu menyayangi anaknya, Dimas. Segeralah pulang, dan minta maaf pada ibu dan kakakmu….”
    Setelah menimbang-nimbang dan memikirkan saran Kakek Abu, aku memutuskan pulang keesokan harinya. Sampai di depan rumahku yang bisa dibilang sederhana itu, aku terperanjat. Bendera kuning terlihat menggantung di batang pohon tak jauh dari rumahku. Siapa yang meninggal? Aku pun bergegas memasuki rumah yang sudah dijejali banyak orang.
    “Assalamualaikum….” ucapku pelan. Kontan semua orang menoleh padaku, termasuk wanita yang sedang bersimpuh di sisi jenazah. Tak kuduga, wanita itu adalah Mbak Ayu. Dia langsung menghampiriku.
    “Kamu?! Mau ngapain lagi kamu ke sini?! Bikin masalah lagi?! Belum puas kamu, sudah membuat ibu seperti ini?!” bentaknya bercampur isak tangis.
    “Mbak, maafin Dimas. Dimas udah menyadari semua kesalahan Dimas, Mbak. Mana ibu, Mbak? Ibu baik-baik saja kan?” tanyaku penasaran. Mbak Ayu tertawa getir.
    “Ibu? Baru sekarang kamu nanyain ibu?! Ke mana aja kamu selama ini, Dim?! Kenapa baru sekarang kamu menanyakan ibu?! Ha?!” tanyanya penuh amarah. Aku menghela napas. Berusaha menahan airmata yang sudah berebut ingin keluar.
    “Maafin…Dimas…Mbak….Selama ini…Dimas belajar agama…di rumah seorang ustadz…Dimas udah nggak makai lagi, Mbak….” jawabku tersendat. Mbak Ayu terdiam. Airmata makin membanjiri wajah cantiknya.
    “Itu ibu…….” Mbak Ayu menunjuk jenazah yang diselimuti kain batik. Aku ternganga, tak percaya pada apa yang kulihat.
    Apa??” ucapku tak percaya. Pelan-pelan kuikuti langkah Mbak Ayu memasuki rumah, lalu bersimpuh di hadapan……..jenazah ibu…….. Mbak Ayu membuka sebagian kain batik, dan terlihatlah wajah ibu yang tersenyum dalam tidur panjangnya. Tangisku pecah melihat wanita yang telah melahirkan dan membesarkanku itu kini terbujur kaku.
    “Ibu…maafin Dimas, Bu…Maafin Dimas…..” kataku tersendat sambil menciumi wajah ibuku. Mbak Ayu pun menangis.
    Usai pemakaman ibu, Mbak Ayu bercerita bahwa setelah kepergianku kanker otak ibu bertambah parah. Beliau terus memikirkanku. Sebenarnya beliau ingin aku kembali lagi, dan Mbak Ayu pun sudah mencariku, tapi aku tetap tak ditemukan. Sampai akhirnya ibu meninggal setelah mendengar kabar bahwa ternyata dulu ayah terlilit hutang di bank, dan akibatnya, rumah kami disita. Untungnya, bank masih memberikan waktu bagi Mbak Ayu untuk tinggal di rumah itu, dan setelah kepengurusan jenazah ibu selesai, Mbak Ayu harus segera pindah dari rumah itu. Aku hanya bisa tertunduk diliputi penyesalan yang dalam saat mendengar ceritanya. Ya, seandainya saja dulu aku tak berbuat tindakan bodoh seperti itu, pasti semuanya takkan menjadi begini. Tapi Alhamdulillah, Allah masih memberikanku kesempatan untuk memperbaiki diri……

    Aku kaget saat terang datang tiba-tiba. “Horeeee….udah nyala! Ayo Ustadz Dimas, kita lanjutin lagi belajar ngajinya!” celoteh salah satu murid cilikku. Aku terdiam.
    “Lho, Ustadz, kenapa nangis?” tanya bocah berkerudung putih itu heran. Kuraba wajahku. Basah. Kupandang sekeliling. Sepuluh orang muridku nampak sedang menunggu jawabanku. Aku tersenyum.
    “Nggak apa-apa. Ustadz hanya teringat ibunda Ustadz…” jawabku. Kutatap lagi foto dalam dekapanku yang kini tampak lebih jelas. Aku tersenyum pada foto itu.
    “Sudah, sudah…ayo Ustadz, kita belajar ngaji lagi…” aku menoleh pada sang pemilik suara di sebelahku. Kuanggukkan kepala padanya.
    “Baik Ustadzah Ayu….” tukasku. Sementara dari balik pintu, Kakek Abu memandangi kami dengan bahagia.
    “Ya Allah, terima kasih telah menuntun Dimas untuk mendapatkan hidayah-Mu…”

   
   

No comments:

Pages