Pangeran dan Ular Sanca - FLP Blitar

Pangeran dan Ular Sanca

Share This


PANGERAN DAN ULAR SANCA

Siang itu sang surya bersinar garang, udara panas musim kemarau membuat para Petani yang bekerja di ladang pulang lebih awal. Selain itu mereka ingin menyaksikan Pak Lurah Kampung Batu Kali yang akan mengumumkan sebuah sayembara. Terlihat beberapa Petani pulang dari ladang sambil membawa cangkul berjalan melewati pematang ladang.
Para Petani yang lain sudah berada di halaman rumah Pak Lurah. Pak Lurah yang berada di depan pintu segera mengumumkan sayembara yang sudah menjadi desas – desus rakyat Batu Kali.
“Baiklah sekarang saya umumkan bahwa saya mengadakan sayembara sesuai permintaan anak saya. Sebagaimana yang kalian ketahui anak saya sudah waktunya menikah, sudah banyak yang melamar namun, anak saya belum cocok. Oleh karena itu dengan sayembara ini semoga anak saya mendapatkan jodohnya.” Kata Pak Lurah lantang.
Para warga menyimak pidato Pak Lurah dengan khidmat. Mereka berandai – andai seandainya bisa menjadi suami Kinasih putri pak lurah yang cantik jelita itu, pasti hidup mereka akan bahagia.
“Barang siapa yang bisa mengalahkan atau menangkap Ular Sanca di Hutan Larangan, maka ia berhak menjadi suami anakku.” Kata pak lurah mengakhiri pidatonya.
Para warga saling berpandangan. Mereka takut dan tak percaya. Ternyata untuk mendapatkan Kinasih memang berat.
“Mendengar Ular Sanca saja sudah ngeri apalagi menangkapnya” celetuk Karmin, warga Kampung Batu Apung. Ternyata tidak hanya warga Batu Kali yang ingin mengikuti sayembara Pak Purah, namun banyak dari kampung-kampung lain, misalnya Kampung Batu Abang dan Batu Gombong. Bahkan Prajurit Istana Batu Langit juga banyak yang hadir. Maklum kecantikan Kinasih memang belum ada yang menandingi. Selain itu budinya yang baik dan kedermawanannya kepada rakyat telah menjadi buah bibir yang patut diteladani.
Ular Sanca memang sudah meresahkan warga Batu Kali. Ular tersebut sudah sering merusak tanaman Petani. Konon Ular yang tinggal di Hutan Larangan itu tidak segan-segan memakan daging manusia yang berani masuk kawasan hutan larangan seperti lereng Gunung Batu Item dan Batu Mandesan.
Diantara puluhan orang yang mengikuti sayembara, Berdiri mematung seorang pemuda tampan yang tak lain adalah putra mahkota Raja Batu Langit, yang tak lain adalah pangeran Ardi Sura. Dia menyamar menjadi seorang petani biasa. Mendengar pidato Pak Lurah, Pangeran bersahaja itu ingin mengikuti sayembara tersebut.
Keesokan harinya banyak pemuda yang mencoba keberuntungannya untuk mendatangi hutan larangan. Mereka membawa berbagai senjata. Namun, saat mereka mulai memasuki hutan, rasa takut dan bau kematian menyelimuti jiwa mereka sehingga banyak pemuda yang memutuskan pulang dan mengundurkan diri dari sayembara. Ketika mendengar desisan ular para pemuda takut, bulu kuduk merinding dan mengeri, lebih mengenaskan lagi ada pemuda yang sampai celananya basah karena ngompol. Sehingga hanya sekitar enam pemuda yang bertahan. Sementara desisan itu semakin kuat dan dekat. Akhirnya seekor Ular besar dengan taringnya yang tajam keluar dari persembunyiannya. Para pemuda segera mengeluarkan senjatanya ada yang membawa golok, bambu runcing, keris, dan tali jerat. Namun Ular itu malah terlihat semakin buas, marah dan siap memangsa.
Ular itu mendekati para pemuda itu. Akhirnya terjadi pertarungan sengit antara mereka. Namun Ular itu sama sekali tak terluka sebaliknya ia berhasil melukai para pemuda. Bahkan Ardi Sura sang pangeran pun terluka dan tidak berhasil menaklukan Ular itu. Tidak hanya besar, Ular itu juga seram dan buas.. Pemuda-pemuda itu segera lari menyelamatkan diri.
Setiba di Istana Ardi Sura segera menghadap Ibundanya.
“Ardi Sura anakku mengapa pakaianmu seperti ini, Ibu hampir tidak mengenalimu. Pakaianmu basah. Kamu seperti baru saja dikejar para perampok atau Anjing liar”
Sepuluh perampok bahkan anjing liar, tidak akan membuat Ardi Sura gentar Ibu. Tapi itu adalah Ular Sanca yang kekuatannya luar biasa, konon Ular itu merupakan penjelmaan dari Dewa yang sedang marah terhadap rakyat yang tidak pernah bersyukur atas panen yang melimpah, mereka malah menggunakan hasil panen untuk pesta pora, sehingga Ular itu membinasakan hasil panen petani.” Kata Ardi Sura panjang lebar
“Selain Ardi harus bisa menangkap Ular Sanca yang meresahkan warga itu, Ini Ardi lakukan adalah untuk mempersunting Kinasih Putri Paman Arya Wilangun Lurah Kampung Batu Kali yang cantik jelita itu Ibu
Ibu merestuimu Nak, tapi mengapa kamu menyamar menjadi seorang petani? Jika kamu ingin memepersunting Kinasih, kamu tinggal bilang pada Romomu, nanti dia akan mendatangi Lurah Batu Kali, pasti dia akan senang sekali.”
“Ibu untuk urusan ini, Ibu jangan bilang pada Romo. Sebagai seorang laki-laki pantang bagi hamba untuk melakukan hal seperti itu. Biarlah hamba berjuang untuk mendapatkan cinta hamba.”
“Baiklah jika itu sudah menjadi keputusanmu. Restu Ibu menyertaimu. Tapi kamu harus hati-hati Nak, Ibu dengar sudah jatuh banyak korban akibat kebuasan Ular itu.” Kata sang Ibunda
Esok harinya, Ardi Sura berangkat menuju Hutan Larangan. Ular itu sudah bersiap, seperti ia sudah tahu akan kehadiran Ardi Sura, Ular itu sudah menunggu di mulut hutan. Ardi Sura menatapnya tajam. Ular itu segera mendekati ardi Sura dan hendak menerkamnya. Ardi Sura menghindar dan mengeluarkan tombaknya, namun ular itu segera menghindar tak sedikitpun kulitnya yang tergores. Ardi Sura segera mengeluarkan pedangnya. Pertarungan sengit pun terjadi. Keduanya terluka. Namun, Ular itu sungguh tangguh meskipun pedang telah melukai bagian tubuhnya. Dia terlihat marah dan mengejar Ardi Sura, namun lagi-lagi Ardi Sura belum bisa mengalahkan Ular tangguh itu.
Sesampainya di Istana. Ardi Sura berpikir serius. Ia mondar-mandir di depan kamarnya, wajahnya terlihat kusut masai, apalagi bajunya yang robek telah menunjukkan ia sedang dalam masalah. Tiba-tiba seorang Ibu tua yang tak lain adalah Ibunya menghampirinya.
“Ardi, di lereng Gunung Kelud terdapat seorang pertapa sakti, namanya Kakek Artaya, kesanalah minta tolong padanya. Ibu yakin dia dapat menolongmu
Keesokan harinya, saat matahari belum keluar dari peraduannya. Ardi Sura segera berangkat menuju lereng Gunung Kelud, disebelah tenggara gunung terdapat Batu yang menjorok yang tak lain adalah mulut goa, dipintu goa terlihat seorang Kakek tua yang sedang berdiri, pakaiannya serba putih berikut ikat dikepalanya, rambutnya panjang sebahu juga telah memutih.
Setibanya di mulut goa, Ardi Sura segera memberi hormat kepada Sang Kakek.
“Kakek sudah menunggumu Ardi Sura. Kakek telah memberikan ilham pada Ibumu untuk menyuruhmu kemari.” Kata Kakek Artaya.
Ardi Sura masih belum mengerti. Ia terlihat bingung dengan perkataan Sang Kakek.
“Hal itu sudah digariskan cucuku, segera bawalah bungkusan ini, lemparkan ke Ular itu saat ia sedang lengah. Ingat kamu hanya boleh membuka bungkusan ini saat kamu dalam kondisi terjepit. Kakek yakin kamu berhasil.” Pesan Kakek Artaya.
“Terima kasih Kek, restu Kakek akan membawa saya pada kemenangan.”
Setelah memberi hormat Ardi Sura segera melanjutkan perjalanan. Sesampai di Hutan  Larangan, Ia mencari-cari Ular itu, namun Ular itu tidak menampakkan dirinya. Di depan, disamping dibelakang dia tidak menemukan ular itu.
Apakah Ular itu berusaha menghindar dariku, pikir Ardi Sura. Tiba-tiba terdengar suara desisan Ular. Ardi Sura waspada dan ia segera mencari sumber suara itu namun usahnya tidak berhasil. Sementara suara desisan itu semakin dekat dan jelas.
Astaga…. Tiba-tiba saat Ardi Sura mendongakkan kepalanya ke atas, di sebuah pohon Akasia yang besar seekor Ular besar dengan mulut menganga yang tak lain adalah Ular Sanca, telah siap menerkam kepala Ardi Sura. Ardi Sura segera menghindar dan berlari. Ular itu terus mengejar Ardi Sura. Akhirnya terjadi kejar-kejaran antara Ardi Sura dan Ular Sanca, mereka sudah memasuki jauh dalam hutan yang lebat.
Ular itu terus mengejar hingga Ardi Sura terpental saat ular itu mengibaskan ekornya dan mengenai tubuh Ardi Sura. Ardi sura berguling-guling di tanah. Ia segera bangkit dan pasang kuda-kuda. Pertarungan sengit kembali terjadi. Namun Ardi Sura kembali menggelepar di tanah, mulutnya berdarah, betisnya robek tergores ranting. Ular itu menatap Ardi Sura buas, ia mendekat dan mendekat sepertinya ia akan menelan Ari Sura mentah-mentah. Mulutnya mulai menganga, sementara Ardi Sura terlihat tak berdaya, kakinya tak bisa digerakkan untuk beringsut dan menghindar. Ia sangat lemah sekali. Tangannya mencoba meraih bungkusan yang diberikan oleh Kakek Artaya, tapi tangannya juga tak bergerak. Kini nasiblah yang menetukan ia akan hidup atau mati. Ia teringat bagaimana waktu perang ia selalu menang melawan musuh-musuhnya. Dan sekarang ia akan tamat dihabisi ular. Sementara Ular itu semakin dekat dengan mulutnya yang menganga lebar. Tiba-tiba antara sadar atau tidak Ardi Sura melihat Putri Kinasih berjalan dibalik pepohonan sambil melambaikan senyum dan memberikan doa. Ardi Sura segera bangkit dari ketidakberdayaanya. Demi Kinasih, ia yakin bisa mengalahkan Ular itu. Namun Ular itu telah berada didepannya dan segera menerkam Ardi Sura bersamaan dengan itu Ardi Sura telah berhasil membuka bungkusan itu dan melempar ke rongga mulut Ular itu. Tiba-tiba Ular itu lemas dan perlahan melepaskan tubuh Ardi Sura yang berada di cengkraman taring mulut Ular itu.
Ular itu tergelatak lemah dan binasa. Ardi Sura bersyukur akan kemenangannya. Peluh keringat membasahai pakaiannya, akhirnya dia dapat mengalahkan Ular itu. Jasad Ular dipikul dipundaknya dan dibawa pulang ke kampung Batu Kali. Pak lurah merasa bangga terhadap tekat Ardi Sura. Lebih-lebih saat dia tahu jati diri Ardi Sura yakni dia adalah seoarang anak raja yang sangat bersahaja dan sederhana.
Pak lurah mengadakan upacara pernikahan selama tujuh hari bertutrut-turut. Akhirnya Ardi Sura dapat menikah dengan Kinasih. Mereka hidup bahagia. Ardi Sura dan Kinasih hidup dalam kesederhanaan dan menjadi contoh rakyat Batu Kali dan istana Batu Langit.

(By: Ahmad Saifudin / Lereng Kelud, 11-08-2015)

No comments:

Pages