Perihal Desa Dua Sungai (Bagian 1) - FLP Blitar

Perihal Desa Dua Sungai (Bagian 1)

Bagikan

Sumber gambar: Viralpublik.com


Oleh: Dinantari S.

 

“Melalui kisah hijrah Rasulullah ke Madinah, beliau mengajarkan kita satu nilai nasionalisme. Meskipun Mekkah menjadi tempat berkumpulnya orang yang bersekutu membenci Rasul, bahkan tidak sedikit yang ingin membunuh dan mencelakainya. Kecintaan Rasul pada Mekkah sangat besar dan tidak berubah. Diwujudkannya cinta itu lewat doa dan antusiasme beliau ketika beliau mengetahui ada orang Mekkah yang datang ke Madinah. Beliau menyambntnya dan hal yang pertama kali ia tanyakan adalah Mekkah.”

 

-Ust. Rosidin kajian kitab mada fi sya’ban-

 

 22.30 WIB

Malam kian larut tapi Pupun masih sempat membaca catatan singkat yang ia peroleh dari pengajian sore hari tadi. Ia melepas kaca mata dan mengusap-usap wajahnya. Mungkin ia baru sadar jika hari ini memang melelahkan. Jalanan kota yang lebih ramai sore tadi, membuatnya harus berada di aspal dengan motor kurang lebih satu jam, padahal di hari biasa dari lokasi kampus ke tempat pengajian hanya butuh sekitar tiga puluh menit. Pun begitu tiga tahun di kota ini membuat Pupun mulai terbiasa dengan cerita drama kelelahan dan malah makin bertambah hobinya. Menyusuri aspal dengan motor untuk menimba ilmu kemana-mana secara gratis. 

 

Bersama datang kantuk, perasaan Pupun campur aduk. Ada keharuan akan sikap baginda nabi, merasa malu karena belum bisa mencontoh beliau, sekaligus benci atas suatu fakta yang tak bisa Pupun hindari. Besok Pupun harus pulang. Dilemanya, pulang bukan lagi kata yang melegakan. Ia belum bisa mencontoh rasul yang pada akhirnya kembali ke Mekkah dengan kerinduan. Jika gadis itu merasa rindu saja tidak, lalu apa ini bisa disebut “pulang”? Mencoba bersikap acuh, tapi bayang-bayang Pupun akan masa lalu dan kampungnya, terbawa hingga ia terlelap. “Ah, tidak apa-apa, aku pasti bisa melewatinya. Seperti biasa.” Kalimat terakhir sebelum gadis bermata sipit itu pulas.

 

***

Hari yang disepakatipun tiba. Pupun sibuk salah tingkah mencari satu titik pandang yang aman. Ke arah manapun mata menuju, ia merasa selalu ada oang-orang yang balik menatapnya. Memandang curiga, asing, tak kenal, seolah makhluk astral yang tiba-tiba datang menampakkan diri. Maklum, Pupun memang jarang ada di rumah. Sejak memutuskan belajar ke luar daerah, ia “seolah” tidak punya ruang untuk bergaul dengan kawan sebayanya di sini.

 

Sejak keputusan itu, banyak hal terjadi. Termasuk dengan situasi familiar seperti ini. Serupanya membuat Pupun belajar. Gadis itulah yang memang harus berubah. Mengakali perasaan aneh yang menyeruak setiap kali ia pulang. Sesekali ia mencoba melempar senyum ke beberapa orang yang kepergok menatapnya lalu ia cepat-cepat memalingkan wajah. Ia tak ingin terperangkap dalam pertanyaan yang sama. Bertahun-tahun. Berulang-ulang.

 

“Lho, Mbak Pupun? Ini Mbak Pupun? Ya Allah,.. sudah besar ya?”

 

Nggih, bulik.” mencoba tersenyum, malu-malu.

 

“Mbak Pupun dulu pindah ke kota ya? Atau sudah pindah ke rumah bapak?”

 

Mboten, bulik.” masih mencoba baik-baik saja.

 

“Lho iyo ye? Nang ndi lho kok gak tahu ketok?”

 

“Tak kiro wes rabi, nduk.” lalu banyak orang tertawa.

 

“Ng... Niku... Anu...” seketika ia tak lagi “terpelajar.” Pupun teringat kata dosen Bahasa Indonesianya, “anu..” adalah kata haram di kelas. Tidak pas saja mahasiswa terlihat ragu-ragu dan tidak tegas saat menjawab pertanyaan sederhana. Lebih baik diam memikirkan kata-kata daripada mengucapkan frasa tak bermakna. Semoga ia tak mengucapkan “anu..” hari ini.

            ***

Tempat Pemungutan Suara belum terlalu ramai. Meski kursi-kursi antrian, tempat pengawas dan bahkan papan yang menunjukkan calon-calon wakil rakyat dan negara sudah terpampang pada tempatnya. Baru sekitar belasan orang yang datang dengan membawa selembar undangan pencoblosan dan KTP. Beberapa orang terlihat familiar bagi Pupun walaupun, tidak dengan nama-nama mereka. Beberapa lagi, terlihat sebagai panitia dengan seragam putih oranye yang khas, yang laki-laki memakai songkok, yang perempuan berjilbab putih. Ketika Pupun datang bersama bibinya duduk dibangku antrian, panitianya baru akan menghitung surat suara. 

 

Tak sedikit yang Pupun kenal diantara mereka. Beberapa teman kecilnya yang sekarang resmi menjadi ibu-ibu dan bapak-bapak. Seharusnya mereka dan Pupun saling menyapa, tapi Pupun merasa urung, karena mungkin mereka tak mengenal lagi dirinya. Terbukti banyak orang yang sudah pangling bahkan mengira Pupun adalah warga baru. Apakah Pupun sudah berkelana terlalu jauh? Padahal Blitar dan Surabaya bukan seperti Blitar ke Mekkah atau Madinah. Namun mungkin rasanya sejauh itu, sampai Pupun sendiri lupa cara menyapa ala kampungnya. 

 

Di tempat ia duduk, Pupun menghela nafas. Masih lewat sepuluh menit dan panitia masih sibuk dengan surat suara yang warna-warni. 

 

“Ngopo nduk?” 

 

“Nggak apa-apa, bulik.” 

 

“Nyesel kan datang pagi? Panitianya aja belum siap. Tahu gini kan, masih sempat cuci baju dulu.” 

 

“Mending nunggu gini daripada nanti harus antri banyak, bulik. Bulik nggak perlu ngerasa rugi. Hari ini jatahku yang cuci baju.” kilah Pupun saat bibi mendengar helaan nafasnya. Pupun kira bibi tidak peduli. Nyatanya bibi diam-diam ikut merasakan kegelisahan keponakan tercintanya itu. Namun kali ini bibi kurang tepat menerka. Pupun memang gelisah, tapi bersamaan pula ada rasa syukur dengan ketidaksiapan panitia saat ini. Artinya ia tak harus merasa bersalah karena tidak menyapa orang-orang yang dikenalnya. Disamping itu, datang pagi memanglah strategi Pupun untuk sedikit merasa lega karena orang-orang yang hadir belum banyak dan yang paling penting,.. mereka bukan ibu-ibu. Datang sepagi ini akan mengurangi resiko banyak bicara dan basa-basi. Ibu-ibu di desanya mungkin saat ini sedang sibuk mencuci di sungai sisi selatan. 

 

Jujur saja, bagi Pupu jika ia tidak diminta pulang, Pupun memilih mencoblos di tempat rantau saja. “Pulang, kalau masih mau dianggap keluarga!” Ancam bibi satu hari sebelum Pipun pulang. Pupun yang sudah tak punya ayah ibu, akhir mengalah, pulang. Bibi yang sudah dianggap sebagai orang tua tunggal, membuat Pupun tak mungkin mengatakan “aku baik-baik saja di sini. Aku tak perlu pulang!”

            ***

Pemilihan umum tahun ini benar-benar istimewa. Mulai dari calon presidennya, debatnya, drama para pendukungnya, hingga angka yang dianggarkan negara. Begitu utama, bahkan Pupun terancam dicoret dari KK. Pupun hanya bisa pasrah dengan keadaan. Bibi yang duduk di samping Pupun sepertinya tidak merasa jika Pupun semakin gelisah dengan mulai banyaknya orang berdatangan. Mungkin beliau masih kesal karena tidak diberi kesempatan mandi. Bagaimana tidak? Pukul tujuh tepat, Pupun merajuk meminta segera ke TPS disela-sela jadwal paten bibi mengurus halaman belakang dan mencuci baju. Hal yang menggugah bibi hanyalah Pupun berjanji untuk mengambil alih pekerjaan mencuci. 

 

Gadis dua puluh tahun itu memang merancang strategi ini semalaman tanpa minta pertimbangan siapapun. Singkat dalam logikanya “Datang paling pagi- Mengunakan hak pilih - pulang- merdeka dari segala perasaan aneh membebani yang tidak siapapun mengerti.” bibi memang tidak tahu dan Pupun memaklumi. Tidak ada yang tahu peristiwa masa kecil Pupun sebagai minoritas di sini masih begitu membekas.

 

 “Eh..” Tiba-tiba ia tertegun sendiri. 

Jika dilihat lagi, TPS ini tidak berbeda dari pemilu tahun-tahun lalu. Bahkan mungkin tidak berubah dari belasan tahun lalu dan tiba-tiba Pupun merasa diingatkan lagi. Pandangannya lurus ke arah lantai dasar TPS. Keramik, berwarna hitam. Hiasan dinding dan pernak-perniknya tak jauh berbeda sejak terakhir ia kesini lima tahun lalu. Tempat ini adalah ruang kelas taman kanak-kanak yang menampung dirinya dulu. Meski samar, Pupun masih ingat ia sangat pemalu. Ia terkenal sebagai anak pendiam dan sering terlambat yang datang. Setiap jam istirahat suka hati ia pulang ke rumah sebab rumah yang dekat tapi juga suka iri melihat teman-temannya yang pulang selalu dijemput orang tuanya padahal rumah mereka sama-sama dekat. Untuk yang terakhir, Pupun masih ingat sekali sebab ibu memarahi Pupun karena dianggap manja minta dijemput dan diantar. Ia menangis sejadinya. Mengenang hal itu Pupun mengulum bibirnya sebab tak mampu menahan senyum. Konyol sekali.

 

Ah, Pupun teringat, dulu ada seorang kawan yang membuat Pupun membuang kecemburuan sosialnya. Karib. Ada sosok yang selalu mengajaknya bermain petak umpet meskipun di akhir permainan Pupun sering ditinggal. Pupun lupa sosok persisnya, hanya saja senyumnya sangat lebar dan cerewet orangnya. Sosok pertama yang menjadi kawan karib Pupun meski gadis itu tak tahu kenapa mereka bisa berteman. Bahkan rasa-rasanya malah Pupun yanng sering dibuat menangis. 

 

Pupun benar-benar lupa nama dan sosok gadis kecil itu. Namun perlahan Pupun sedikit teringat tentang rumahnya gadis itu. Di dekat sungai yang berarus deras, di sisi selatan desa. Untuk menuju kesana, ada dua cara. Pertama, menyusuri sungai dari sumber air mengalir dari sungai dari sisi utara desa. yang maknanya dekat rumah Pupun. Lalu setiba di sungai arus deras dibawah jembatan, masih harus naik ke pematang sawah di atas sungai. Melalui pematang sawah itu barulah terlihat rumah gadis itu. Kedua, paling tidak Pupun harus punya cukup keberanian menyebrangi sebuah jembatan reyot di selatan desa yang langsung lurus menuju ke perkampungan kawannya itu. 

 

Seingat Pupun, ia hanya dua kali bermain kesana. Pertama kali bermain pasar-pasaran, kedua Pupun kesana setelah diusir ibu karena menolak tidur siang dan mengaji. Setelahnya, ia lupa. “Siapa ya namanya ? Bagaimana rupanya dia sekarang ? Dimana dia saat semua orang menuduhku orang cina dan aku dituduh mencuri?” Pupun menyisir pandangan ke setiap panitia hari itu, ia coba mengingat, apakah kawan lamanya ada disana.

No comments:

Pages