Menulis Esai Sejarah - FLP Blitar

Menulis Esai Sejarah

Bagikan

Catatan pertemuan rutin mingguan FLP Blitar, membahas esai sejarah.

Ahad, 31 Oktober 2021

Tiga kawan membuat janji untuk bertemu dan ngopi bersama di Dhedaunan Waroenk. Mereka bertiga sama-sama berprofesi sebagai penulis.

Kawan pertama adalah seorang Jurnalis di Harian Weekly, kawan kedua adalah seorang esais plus editor rubrik opini, kawan ketiga adalah sastrawan.

Mereka bertiga memesan kopi hitam. Tersajilah di meja tiga cangkir kopi hitam.

"Ini kopi hitam," ujar sang Jurnalis.

"Kopi hitam ini terlalu banyak gula, harusnya bubuk kopinya lebih banyak biar tidak seperti air gula," sahut si Esais.

"Kopi hitam ini selalu mengingatkanku pada mantan pacarku saat sekolah dulu, setelah kami pisah, aku merasa kopi hitam tak lagi seenak dulu," sambung si Sastrawan.

Dari cara memandang kopi saja, ketiganya sudah berbeda. Si jurnalis hanya menyebutkan fakta kalau ini kopi hitam, si esais memberi komentar dan pandangan tentang rasa kopi hitam itu, si sastrawan merefleksikannya dengan kisah hidup.

Bagi si jurnalis, sosok sastrawan ini mungkin berlebihan, kopi bisa dibawa ke masa lalu, jadi kenangan dan imajinasi yang hidup terus menerus.

Bagi si sastrawan, hidup si jurnalis itu teralu kaku dan baku. Menulis sesuatu yang sudah ada, kurang menantang, kurang filosofis, kurang imajiner.

Dunia esais

Namun kali ini kita akan membahas tentang si esais, yang terbiasa menulis esai. Dalam karya esai, subyektifitas punya ruang. Maka tak heran jika si esais bisa memberikan pendapat atas rasa kopi tersebut.

Pendapatnya itu bisa jadi berbeda dengan orang lain yang lebih suka sisi manisnya.

Esai sejarah

Dalam menulis esai sejarah ini, kita memosisikan sebagai esais. Kita bukan sejarawan. Sejarawan adalah akademikus yang meneliti, menemukan dan mengangkat sejarah sebagai sumber pengetahuan baru.

Esais adalah mereka yang membaca sejarah dan memberikan komentar atau tafsir atas sejarah itu, yang mana komentar atau tafsirnya sangat mungkin berbeda dengan esais lain.

Esais itu lebih sebagai penikmat, atau ibaratnya tukang icip di sebuah rumah makan. Ia mengomentari komposisi, varian serta teknik memasaknya sehingga menghasilkan sebuah asumsi.

Benar tidaknya, itu kembali ke juru masak yang membuatnya. Namun bedanya, sejarah itu sesuatu yang telah berlalu, melibatkan orang-orang lampau yang sebagian sudah tiada, dan peristiwa yang juga telah berlalu.

Sementara, pengetahuan sejarah itu kadang disusun pada era yang berbeda melalui sumber-sumber tak langsung, yang itu pasti menimbulkan pertanyaan.

Seperti misal di era Majapahit, kenapa Ronggolawe memilih memberontak Raden Wijaya yang telah ia selamatkan ketika Singosari diserang Jayakatwang.

Kenapa Raden Wijaya lebih memilih Nambi menjadi Mahapatih dibanding Lembu Sora?

Kenapa? Akan muncul tafsir A, B hingga C. Itulah ruang bagi esais untuk menggoreskan pikiran-pikiran bernasnya atas sejarah.

Menurut Prof. Taufik Abdullah, sejarawan LIPI, sejarah adalah peristiwa dan tafsir atasnya.

Hingga sekarang muncul banyak esai yang menafsir kenapa Bung Karno membongkar rumah proklamasi, yang seharusnya dibiarkan bentuknya agar menjadi situs sejarah.

Setelah akhirnya rumah itu dibongkar, ada banyak tafsir yang menyertainya, tidak hanya satu, mana yang benar, hanya Bung Karno sendiri yang tau, dan kini beliau sudah tiada.

Sejarah yang ditulis menjadi esai

Apakah masing-masing dari kita bisa disebut sejarawan? Ataukah sebutan sejarawan hanya untuk akademisi yang disiplin keilmuannya di bidang sejarah?

Namun, masing-masing kita punya sejarah hidup, dan itu layak ditulis, terlepas kita siapa.

Sampai saat ini, saya masih penasaran tentang kakek saya dari pihak Ibu, yang meninggal sebelum saya dilahirkan. Namanya unik, punya dua suku kata. Sepeninggalnya, ia mewariskan tanah yang cukup luas di daerah Kedungrombang, Desa Serang.

Siapa beliau dulunya? Tak ada sumber sejarah yang memadahi dari pihak keluarga, dan tak ada ingatan yang cukup dari paman-paman saya untuk mendeskripsikan sosoknya.

Kita adalah sumber utama dari sejarah hidup kita masing-masing, maka saat kita menuliskan sejarah sendiri, berarti kita menulis sejarah dalam bentuk esai.

Ada sedikit perbedaan antara menulis esai sejarah dengan menulis sejarah menjadi esai.

Selamat berkarya.

Dhedaunan Waroenk,
Ahmad Fahrizal Aziz

No comments:

Pages