Oleh : Heru Patria
Bertanya pengamen kecil di bawah lampu merah
Pada seorang pengemudi mobil mewah
Bagaimana bisa hidup tak pernah susah
Darimana harta bisa berlimpah
Bibir selalu tersenyum sumringah
Kerja keras dia tak pernah
Tapi tak ada jawaban membikin puas
Perut pengamen kecil justru jadi mulas
Wajah lugunya kian memelas
Ingat mbok bapak tak lagi punya beras
Pada siapapun pengamen kecil mengadu
Jawaban yang didapat hanya satu
Mboh aku ora weruh
Bertanya anak sekolah pada bangku kosong
Bagaimana bisa ilmu pengetahuan ia boyong
Sedang pelajaran disampaikan lewat daring
Penjelasan sekilas tak mudah tuk dijaring
Sekolah bukan sekadar cari pintar
Tapi mencetak generasi pintar
Namun tak ada jawaban sesuai mereka dapati
Lantaran semua hal ditikam pandemi
Sampai kapan semua akan usai
Tak seorang ahli berkata dengan pasti
Ini konspirasi atau memang bencana alami
Jawaban yang terdengar membikin trenyuh
Mboh aku ora weruh
Bertanya janin dalam perut ibunya
Berapa hutang ditanggung saat lahir ke dunia
Adakah lapangan kerja kan menampung dirinya
Tersisakah lahan untuk tempat tinggalnya
Mampukah biaya pendidikan dibayarnya
Hutang negara menimpa pundaknya
Tak seorang pun mampu memberi penjelasan
Semua berdalih dengan berbagai alasan
Wajah wajah ramah terbungkus topeng
Sekadar menutupi perilaku bopeng
Hanya supaya nama tak tercoreng
Satu jawaban palsu mereka suguh
Mboh aku ora weruh
Keringat buruh membanjiri jalan raya
Pada para penguasa mereka teriakkan tanya
Mengapa kebijakan tak pernah berpihak padanya
Mengapa undang undang justru melindungi orang manca
Kemana raibnya janji janji yang pernah diobral
Mengapa aspirasi hanya dianggap omong gombal
Tiada jawaban pasti yang buruh temui
Kedatangan mereka justru disambut gas airmata
Suara mereka membentur angkuhnya tembok istana
Bagai lalat mereka dihalau barikade aparat
Hingga membentur kesombongan diri
Dari satu jawaban hati yang keruh
Mboh aku ora weruh
Para penyair dipaksa melipir ke pinggir
Jangan pernah suarakan bait bait satir
Kalimat protes bernada menyindir
Membuat banyak telinga merasa terkilir
Untuk siapa penyair merangkai diksi
Jika ketajaman kata dianggap belati
Tiada seorang pun mampu beri solusi
Sebab kehidupan bernegara tak lebih cerita fiksi
Sekadar hiburan bagi sekelompok barisan sakit hati
Yang menyaksikan perjalanan negerinya serupa parodi
Di sini mengharap jawaban pasti hanyalah mimpi
Jangan lagi miliki hati teguh
Cumbui saja rasa kecewa tanpa mengeluh
Mboh aku ora weruh
Lalu suara hiruk pikuk itu perlahan sirna
Senja datang hadirkan senyap
Angin bersemilir hening
Sepi
Hingga lamat Lamat terdengar nyanyian seorang kawan
Dengan suara sumbang teriakkan ketidakpuasan
"Penindasan serta kesewenang-wenangan
Banyak lagi teramat banyak untuk disebutkan
Oi hentikan hentikan jangan diteruskan
Kami muak dengan keserakahan dan ketidakpastian
Oo Yao Yao ya bongkar
Oo Yao Yao ya bongkar"
Entah siapa yang akan membongkar siapa
Tak sempat lagi tuk memikirkannya
Sederet tanya selamanya tetap jadi tanda tanya
Siapa kelak temukan jawabannya
Mboh, mboh, aku ora weruh
Blitar, 25 Oktober 2020
No comments:
Post a Comment