Jawaban Tukang Pos - FLP Blitar


 

 Oleh: Subek A.B.

 

"Kau selalu saja seperti itu La, apa jawabanku begitu kau pedulikan?" Yuli mengaitkan pengunci tas surat lantas berbalik badan. Kini ia sedikit menyender di atas jok motor.

Labiru hanya tersenyum kecut, ia berniat menarik pertanyaannya, tapi Yuli keburu menjawab.

"Jujur, aku tidak pernah sama sekali merasakan apapun dengan surat-surat dan paket yang kuantarkan sekian tahun lamanya aku bekerja sebagai tukang pos. Aku pernah mengantar surat yang penerimanya sudah minggat jauh dari alamat yang dituju. Aku juga pernah mengantar paket kosong seorang penipu pada pembeli tak berdosanya, dan aku juga pernah merasakan sumpah serapah yang sebenarnya bukan ditujukan padaku, tapi pada seseorang yang barangnya kuantarkan padanya. Aku hanya dititipi umpatan-umpatan yang tidak pernah kukirim balik," jawab Yuli. Ia menghela napas tenang. Matanya sekilas menatap Labiru, lalu membuang tatapan ke horizon.

Pelabuhan semakin gelap, menyisakan temaram mega oranye di barat yang cahanya terbias memasuki kolong laut. Debur ombak perlahan berubah tenang. Sayup adzan terdengar mengalun bersahutan dari beberapa mushola perkampungan.

"Sudah adzan Yul−" belum selesai Labiru berkata, Yuli menyela.    

"Kepalang tanggung La, aku terlanjur bersemangat karena pertanyaanmu tadi. Biar kulanjutkan dulu." Yuli tersenyum dan Labiru tertawa kecil. Hati kecilnya merasa puas telah menyeret sahabatnya dalam diskusi petang hari ini.

"Tapi jika maksudmu perihal tanggung jawab dan dedikasi terhadap pekerjaanku. Iya, aku merasakan semua surat itu memohon-mohon agar segera diantar begitu tiba di kantor. Suara kerinduan, uforia kebahagian, jalinan tali silaturahmi yang harus diluruskan. Aku merasakan itu semua. Itulah mengapa hampir setiap hari aku selalu pulang lewat maghrib. Padahal jam kerjaku hanya sampai pukul empat sore. Dan kau tahu, tidak ada uang lembur untuk itu, hanya inisiatifku sendiri. Kalau kau bertanya lagi apa aku tidak protes? Apa aku tidak capek? Aku protes, aku merasa capek, tapi itu dulu sewaktu masih tahun-tahun awal aku baru bekerja.  Di benakku hanya terfokus bagaimana setiap hari target mengantarku terselesaikan, lalu menerima uang setiap bulan. Tapi berjalannya waktu aku memeroleh banyak pengalaman dari seniorku, juga orang-orang yang menerima surat yang kuantarkan. Aku belajar dari wajah-wajah bahagia mereka. Aku sadar pekerjaanku tak sebatas antar-antar kertas dan kardus. Aku mengantar potongan-potongan puzzle perasaan."

Labiru masih tepekur. Tampak menimbang-nimbang apa yang akan dikatakannya.

"Lalu, apa pemadam sepertimu selalu merasa menjadi seorang protagonis ketika melawan api yang jahat?" Yuli ganti bertanya.

 

"Api tak pernah jahat kali."

"Ya bukan ... enggak jahat gitu maksudku La, tapi kalian selalu digambarkan sekumpulan pahlawan yang melawan kobaran api seolah monster jahat yang tengah mengamuk dan mengahancurkan apapun." Yuli berkilah, ia memang bukan tipe orang yang sefilosofis Labiru.

Desir angin laut membawa udara dingin begitu menghempas kulit.

"Itu gambaran yang salah menurutku. Unsur alam tidak ada yang jahat, mereka hanya menjalankan hukum alamiahnya saja kan. Air yang kami andalkan pun bisa berbalik membahayakn jika volume dan tekanannya berlebihan. Hanya kita manusia lah yang menjustifikasi mereka jahat atau tidak."

Yuli menatap Labiru sekilas. Ia bergegas berdiri dan naik ke motornya.

"Yaudah La, udah kelewat maghrib, aku juga belum sholat."

"Hei santai lah Yul," kata Labiru. Ia memukul kecil pundak Yuli dengan tersenyum hangat.

"Aku tidak pernah menang melawanmu dalam diskusi La, aku juga bukan tipe orang yang terlalu ambil pusing apapun jawabanmu." Yuli menstarter motor, ia kenakan helm lantas bersiap melaju.

"Ini bukan kompetisi kawan." Labiru cengengesan melihat tingkah Yuli yang tengah kesal.

"Siapa juga yang bilang ini lomba debat. Ya−

Labiru menyela perkataan Yuli, "Hei, kita semua bekerja dalam resiko serta motivasi tanggung jawab yang beragam Yul, kau mungkin kerap melihatku hanya beres-beres di kapal dan kegiatan rutin membosankan lainnya. Tapi sekalinya ada masalah, tak menutup kemungkinan itu hari terakhirku melihat matahari. Dan jika kau bertanya apa itu sebanding dengan gajiku? Sama sekali tidak. Tapi aku juga tak mempermasalahkannya. Karena melihat seseorang berhasil kami selamatkan setelah dirundung musibah, itu lebih dari cukup bagi kami pekerja kemanusiaan."

Yuli hanya diam memandangi laut. "Kita lanjut lain hari mengobrolnya La. Yaudah aku duluan."

"Hati-hati Yul."

Yuli melaju pelan meninggalkan Labiru yang berjalan menyusuri pinggiran dermaga beton, mampir ke kantor sejenak lantas keluar lagi menuju mes tempat tinggalnya selama berdinas. Pelabuhan sudah gelap dan berganti diterangi lampu-lampu. Di sebelah dermaga beton, di samping dermaga kayu. Beberapa nelayan bersiap akan melaut. Lamanya obrolan mereka, ternyata tak lebih dari lima belas menit.

 

Tulungagung, 13 Oktober 2020

 

 

* 'Jawaban Tukang Pos' merupakan cerita pendek lanjutan dari 'Tanya Pemadam Pada Tukang Pos' yang bisa dibaca di sini.

No comments:

Pages