Pintu Pertama - FLP Blitar

- Jangan biarkan mati untuk hal yang baru dikenali; bertahanlah dan ubah haluan nasib -

 

Batu, pasir, ombak, dan senja menemani lamunanku saat itu. Inilah jati diriku. Merasa bebas lari ke sana–ke sini, dan bermesra dengan alam. Memainkan pasir, lalu menghampiri batu besar, dan kududuk di atasnya.

 

Aku merasa bahagia, bahagia sekali. Ini kesempatan langka yang hadir dalam hidupku, menemukan sebuah arti kebebasan dan bersahabat dengan alam hingga beberapa hari lamanya. Saat itulah, sembari berkaca-kaca, aku menginginkan hal lebih dari sekedar suasana pantai permai ini. Berteman dengan kehidupan luar, dan merasakan sebuah kebebasan batin.

 

Terlahir sebagai anak rumahan, hanya menghabiskan waktu dengan pondok, kampus, lalu pulang ke rumah (dua  minggu sekali) menjadi rutinitasku kala menjadi mahasiswa baru di IAIN Tulungagung.

 

Mentalku jarang sekali ditempa oleh realitas luar, pun jarang mendapat kesempatan mengamati hiruk pikuknya kehidupan luar. Aku merasa bosan, dan membutuhkan hal lebih. Jiwaku tak sabar, dan sangat menginginkannya.

 

Lalu, berorganisasi adalah salah satu pelampiasan diri atas rasa jenuh akan semua aktifitas yang hanya seperti itu saja. Teater, Komunitas Debat Bahasa Inggris, HMJ, GREAT, IIWC, dan beberapa komunitas kecil lainnya, kuikuti. Meski semuanya harus terbatas perizinan di pondok.

 

“Oke, ada namaku di sini. Dan Theresya juga, teman sekelasku!” seruku saat melihat sebuah daftar peserta terpilih untuk mengikuti Annual Meeting 2014 yang diselenggarakan oleh IIWC (International Indonesia Work Camp) di Semarang.

 

FYI, IIWC adalah sebuah platform yang berfokus pada kegiatan kerelawanan. Dari sinilah aku mulai mengenal makna relawan dan memiliki mimpi untuk turut aktif berkonstrubusi memberi perubahan positif di lingkungan sekitar.

 

Sayang sekali, sehari sebelum konfirmasi kehadiran peserta, temanku memilih mundur. Seketika, tubuhku lemas. Ini adalah sebuah mimpiku untuk bisa bepergian ke luar kota. Merasakan menjadi traveller sungguhan, bukan hanya sebagai anak sekolah yang keluar kota saat liburan akhir, mengunjungi makan-makam para wali ataupun candi-candi dengan segala aturan yang diberikan oleh guru.

 

Aku tak yakin mampu bepergian seorang diri. Terlebih apa yang harus kujadikan alasan untuk mendapat izin orang tua.

 

Keesokan harinya, akhirnya kuputuskan untuk tetap pergi. Membuat alasan sebagai perwakilan kampus hingga ditemani beberapa teman lainnya, kulakukan untuk memperoleh izin pergi. Kuhela nafas kuat-kuat untuk menenangkan diri dari kebohongan ini, sembari meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. 

 

Hari menuju keberangkatan sudah tiba. Karena kehabisan tiket untuk keberangkatan dari Tulungagung, akhirnya ku memilih Stasiun Kediri sebagai titik awal. Bertanya sana-sini di mana dan bagaimana akses menuju stasiun Kota Kediri, terlebih aku tak punya kendaraan bermotor sehingga tentu bis akan menjadi trasnportasi alternatif.

 

Namun, sial. Jalur bis yang harus ditempuh sangat merumitkan. Harus beralih dari bis satu ke bis yang lain. Lalu menaiki transportasi umum lain untuk menuju ke stasiun. Dan aku tak terbiasa dengan hal semacam ini. Belum lagi, aku harus berangkat setelah menyelesaikan jam kuliah terlebih dahulu.

 Akhirnya, kuputuskan untuk meminta teman mengantarkan ke sana. Teman baik dari jurusan lain. Dia bersedia mengantarkanku meski jarak cukup jauh. 

Tepat setelah dia melakukan salat jumat, aku menantinya di gerbang barat kampus. Kami berangkat pukul 12.30. sementara tiket kereta tertera keberangkat pukul 13.40. Estimasi perjalan berkisar 30-40 menit, aku akan tiba bekisar 13.10 an. Mungkin akan tiba di stasiun tepat waktu.

 

Perjalanan tak begitu ramai, semua sesuai perkiraan.  Setiba di depan stasiun, kita berpisah. Dia  berpesan ini itu, menghawatirkanku yang seorang diri dengan wajah polos dan tanpa pengalaman hendak pergi ke Semarang.

 

“Semuanya akan baik-baik saja. Doakan yang terbaik. Terimakasih banyak sudah mengantarkanku sejauh ini," ucapku.

 

Lalu kumulai beranjak memasuki stasiun dan melambaikan tangan ke arahnya. Waktu masih tersisa beberapa menit. Setelah memasuki stasiun, aku segera menuju sebuah mushola. Melaksanakan ritual ibadah. Lalu menunggu kedatangan kereta di depan mushola.

 

Seorang laki-laki berumur 24 tahunan, duduk di sampingku menanti kereta dengan jalur yang sama. Dia menyapaku, lalu berlanjut berincang-bincang ringan hingga kereta tiba.

 

Ternyata gerbang kami pun juga sama. Aku tak tahu banyak tentang jalur kereta. Hingga dia pun memintaku untuk mengikutinya saja.

 

Kaosnya berwarna coklat, dengan celana jeans panjang. Dia juga mengenakan topi, ransel hitam, dan gelang tasbih di tangan kanannya.

 

Semuanya kuamati, tingkahnya kuawasi. Mempersiapkan segala kondisi apapun yang akan terjadi, sembari mencoba percaya padanya.

 

Kami memasuki gerbang. Tempat duduk kami berjarak beberapa baris kursi di belakangku. Tetapi dia memilih duduk di sampingku.

 

“Bukannya tempat duduknya sebelah sana?” tanyaku.

 “Nggak apa-apa, sekalian ngobrol biar nggak kesepian. Mumpung sini juga masih kosong,” jelasnya.

 

Kami pun lanjut berbincang-bincang, menghabiskan waktu di kereta hingga berjam-jam lamanya. Meski beberapa orang silih berganti mengisi kekosongan kursi di samping, namun dia masih tetap duduk di sampingku.

 

Meski sesekali kutinggal tidur, kuabaikan dengan bermain Hp, mendengarkan musik sembari mengamati pemandangan di luar jendela. Dia tetap tidak beranjak, malah sesekali menawariku makanan.

 

Namun, semakin lama di dekatnya, aku merasa semakin terbiasa dengan kehadirannya. Bak seorang kakak laki-laki yang benar-benar menjagaku kala itu.

 

Bahkan, ketika tempat duduk di sekitarku telah dipenuhi oleh pemiliknya, dia rela berdiri tak jauh denganku. Memastikanku baik-baik saja.

 

Aku menggumam tanpa suara dengan artikulasi yang kubuat sejelas mungkin ke arahnya.

 

“Duduk saja di tempat nya mas,” sambil menujuk karcis agar dia paham apa yang ku maksud.

 “Gpp, nungguin Ulil sampai tiba di stasiun tujuan,” balasnya.


 Ah, seketika teringat dengan ucapanku tadi saat berbincang dengannya.

 “Nanti kasih tau ya, kalau sudah hampir tiba di Stasiun Semarang? Biar aku bisa siap-siap.”

 Apakah mungkin itu yang membuat dia tetap bertahan di sekitarku.

 

Ibu-ibu di depanku pun bertanya.

 “Ouh dia saudaranya Mba?”

 “Bukan.”

 “Pacarnya?”

 “Bukan juga. Baru kenal di kereta Bu.”

 “Ouhh… kok mau nuggu gitu?”

 “Kurang tahu juga, padahal sudah saya suruh duduk di tempatnya.”

 

Waktu sudah menujukkan pukul 19.30. Stasiun pemberhentianku sudah hampir tiba. Dia pun langsung memberitahuku, membantu membawakan tasku, mencarikan celah dari desakan orang-orang lain yang juga tengah keluar masuk kereta dengan satu pintu, lalu mengantarku hingga di bibir pintu kereta.

 

Aku turun dari kereta, melangkahkan kaki beberapa meter ke depan, dan menoleh ke arahnya. Dia masih berdiri di pintu kereta sembari melambaikan tangannya, dan berkata, “Jangan lupa berkabar kalo sudah sampai di tempat!"

 

Aku mengangguk dan membalasnya dengan senyum haru. Menantinya masuk ke gerbang kembali, dan menunggu keretanya berangkat, meski hingga beberapa menit lamanya.

 

Kulihat dia dari balik jendela. Akhirnya dia duduk di tempatnya. Ketika bunyi kereta sudah terdengar hendak melaju, aku sekali lagi melambaikan tangan. Mengantarkan pandanganku hingga kereta sudah melaju cukup jauh.

 

Akhirnya aku tiba di Semarang, sembari menghirup kuat-kuat aroma khas Kota Semarang dan memandangi sekeliling.

 

“Baik, perjalanan masih berlanjut. Semua akan baik-baik saja,” gumamku.[]




1 comment:

Davis said...

Great reaading

Pages