Wahai
mentari
Izinkan aku
menerka jumlah sudut senyumnya
Pada
bapak-bapak pengayuh roda menerjang aspal
Yang dibawa
bersama jejak-jejak kucil
Di tengah
sepinya jalan-jalan kecil
Tak ada pemirsa
bahkan hanya permisi
Ah iya
Senyumnya
tertutup selembar kain hijau
Yang diberi
oleh anak gadis di simpang pertokoan
Yang peduli
pada bapak akan serangan prajurit yang tak nampak
Bapak
terlihat gopoh
Tangannya
keriput
Kakinya
tanpa sandal penuh kapal
Sepedahnya
reyok menahan rombong
Menanti para
pemirsa duduk manja #dirumahaja
Untuk
sekedar melirik aroma sambal
Bapak
terengah
Wajahnya
menengadah langit
Melihat
rinai jatuh membasahi kening
Lalu
menengok kanan kiri yang teduh
Digiringnya
semakin menepi
Apa ini?
Jahat!
Bahkan
mentaripun telah kalah
Pada
gelapnya mata sendu bapak
Pada
jahatnya keadaan yang enggan berpihak
Mencerca
dengan kesulitan tak terlihat ujungnya
Jahat!
Bahkan belum
sempat ku menerka sudut senyumnya
Apakah bapak
baik-baik saja meski dihajar keadaan
Dihujam air
langit dan ditonton harapan kosong
Inginku
menghujat!
Entah pada
apa atau siapa.
Entah perlu
kata apa atau bagaimana
Bilik ini
sudah lelah merekam sendu si bapak
Sial!
Kubuang saja
muka ini
Hujan
semakin deras
Mataku semakin
rabun melihat kapan jeda berakhir
Hanya
kemudian
Bilik
bersuara ringan
“Pemantau tengan
melihat
Hingga ruah
raka dan ringkih
Pada
arogannya rasa sedih
Hingga pada
batas apa bilik-bilik mampu berlaku apik
Terlepas
tentang bapak berdada tegak”
(Blitar, 2020)
No comments:
Post a Comment