PILON #2 - FLP Blitar


baca PILON #1

....
Melainkan sebuah buku tulis tanpa garis. Bersampul perahu timbul. Dengan warna dominan hijau tosca. Terlihat sangat klasik terlebih ketika membuka lembaran-lembaran kertas didalamnya; berwarna coklat, berserat, dan sedikit lebih tebal dibanding kertas buku biasanya. Hanya berisi 30 lembar. Kubeli di sebuah pertokoan, Forum Bornova. Salah satu pusat perbelajanaan modern di Izmir, Turki, dua tahun silam.
Entah kenapa. Tiba-tiba sangat tertarik ingin membuka kembali. Mengenang masa lalu saat tubuh kecil ini harus tenggelam dikerumunan kawan-kawan yang lain. Kawan baru dari berbagai penjuru dunia yang saling memberi arti, dan sama-sama terpapar panas ala Turkimenyengat hebat, hingga wajah semakin gelap.
Tanganku mulai mendekati. Menyisihkan beberapa buku yang tertumpuk rapi di atasanya. Kuraih lalu kubuka perlahan. Tak banyak yang tertulis di buku itu. Sebuah corat coret gambar mimik wajah. Gambar setengah badan temanku dari Sinegal. Gambar-gambar kartun kurang jelas. Dan sebuah puisi-puisi singkat menceritakan suasana hati kala itu. Hingga lembaran terakhir sudah ku buka. Aku tersenyum bahagia akan nostalgia ini. Sembari menutup mata dengan ringan, dan membayangkannya dalam bingkai kenangan. Aku rindu mereka. Tak lama kemudian, aku membuka mata, menghela nafas dan menutup kembali buku yang penuh arti ini. Namun, masih ada sisa nostalgia yang mengganjal sampai sekarang. 
Sehari sebelum kami saling berpisah, saat acara gala dinner, temanku Jacobkebangsaan Amerikamendekat ke telingaku, dan membisikkan sesuatu. Aku tertegun. Alisku merapat. Belum sempat memalingkan wajahku ke arahnya, Jacob sudah beranjak dan kembali ke tempat duduknya. Pesan itu masih menjadi sebuah misteri yang entah sampai kapan aku bisa memahaminya.
Sebelum kutaruh buku ke tempat semula, tanpa sengaja mata ini mengamati sampul balik buku. Ada satu simbol kecil yang cukup aneh dan menarik perhatian. Aku mengamatinya lalu mulai berkhayal akan sesuatu magis muncul dari simbol itu. Membayangkan simbol ini adalah sebuah pintu rahasia. Aku masuk melalui pintu itu dan menemukan sebuah dunia lain.
Khayalanku mulai mirip serial film, The Chronicles of Narnia—adaptasi dari sebuah novel yang ditulis oleh C.S Lewis. Aku memilih berperan sebagai  Lucy Pevensie. Dan mulai melakukan  petualangan imajinasi ke dunia baru yang penuh misteri.
Berselang lima menit. “Hahahaha..  Baik. Baik. Berimajinasi itu memang indah. Sudah. Kini saatnya tidur”, gumamku mulai berhenti tertawa.
Akhirnya, aku benar-benar meletakkan buku itu. Menarik selimut. Dan menjemput mimpi.
Jam dinding menunjuk angka 1. Aku tertidur pulas. Sementara suara jangkrik menjadi pengiring tidur. Entah kenapa jangkrik itu tak kunjung diam sepanjang malam. Selalu memecah heningnya malam. Namun aku tak merasa sedikitpun terganggu, malah menjadi teman sunyi di sepinya malam. Dari pada sura jam dinding yang memekik telinga dan membuat rasa tidak nyaman, suara jangkrik jauh lebih bisa dinikmati. Sebenarnya, suara jangkrik itu belum lama muncul. Terhitung baru tiga malam ini.
Di tengah lelapnya tidur dan dimanjakan mimpi-mimpi filantropi. Tiba-tiba buku itu meronta kecil. Bergerak-gerak seakan ada sesuatu di dalamnya yang hendak keluar. 
"Bruuk", lalu terjatuh di bawah meja.

Bersambung…



No comments:

Pages