Cerita-cerita Tentang Jakarta - FLP Blitar

Cerita-cerita Tentang Jakarta

Bagikan



Sudah 11 tahun kami kenal, namun belum pernah bertemu.

Waktu dia ke Malang untuk syuting, saya tidak sempat menemui karena padatnya kegiatan kampus.

Waktu saya ke Jakarta, dan ada cukup waktu untuk sekadar ngopi bareng, dia juga tengah sibuk meeting untuk persiapan syuting keluar negeri.

Padahal, banyak cerita tentang Jakarta ingin saya dengar langsung darinya, sebagai perantau nekat dari Cilacap. Selama ini hanya mendengar via telepon. Sungguh unik, bukan?

Meskipun cerita-cerita tentang Jakarta banyak saya dengar, dari Misjune misalnya, atau dari Pak Adhie yang belakangan ini sering hadir ke pertemuan FLP Blitar.

Juga dari seorang bapak tua yang ingin kembali ke kampung halaman, menikmati masa pensiun sembari membawa sebagian asetnya. Wow.

Jakarta memang kota besar, peredaran uang kencang di sana, namun mencari tempat ngopi murah susahnya minta ampun. Mending menyeduh sendiri. Atau ingin yang murah sekalian, di warung-warung pesisir rel, yang tentu bukan ruang privat.

"Enak di kampung halaman sebenarnya," Ungkap seorang Ibu yang saya temui di KRL, yang aslinya Malang kabupaten.

"Di Jakarta juga enak, kalau bisa menikmati," Kata seorang teman, yang saya temui di Bogor.

Saya saja yang mungkin kurang nyaman melihat banyaknya rumah-rumah petak, yang untuk menjemur baju harus diselampirkan pada fentilasi dan pagar pembatas jalan. Bahkan celana dalam di pajang sana sini.

Dalam perjalanan pulang dari Gambir, sepanjang rel sampai Jakarta barat, pemandangan itu biasa terlihat. Bahkan terdapat warung atau rumah berdinding seng, juga sekelompok orang bercengkrama di antara tangga kecil dan pembatas rel. Duh.

Meskipun, di bagian kota, juga di bagian tertentu, ada perumahan mewah. Minimal kontrakan layak huni. Bukan rusun. Sebab, tinggal di rusun itu seperti direlokasi.

Kesenjangan begitu terlihat. Dari melihat sekelompok orang berdanan super rapi dan formal, sampai yang super dekil dan tak sempat menyisir rambut, apalagi menggunakan pomade.

Selintas saya teringat ide Gubernur Anies yang hendak memfungsikan trotoar sekaligus sebagai tempat jualan. Ya syaratnya trotoar harus diperlebar, ruang untuk jualan harus teratur.

Anda tahu, jalan kaki menyusuri trotoar Jakarta itu capeknya minta ampun, sekalipun fasilitas trotoarnya tersedia. Apalagi banyaknya kendaraan yang melintas, udara kurang fresh, polusi, bikin dada sesak.

Di Jakarta memang enak, mudah dapat uang, banyak skill bisa terwadahi. Seorang teman yang punya pekerjaan mirip saya, sebagai content writer, laptopnya merk apple.

"Udah tinggal sini aja, di sana ada apa?" Godanya.

"Kebetulan aku lagi butuh penulis dan juga desain web," lanjutnya menyakinkan.

Ada banyak peluang nih. Batin saya. Sayangnya, Jakarta bukan kota yang saya rindukan. Halah.

Selain Jogja dan Malang, ya sementara ini berada di Blitar masih jadi prioritas, sembari berkejaran dengan tren, bahwa sekarang adalah era yang tak terikat ruang dan waktu.

Memang gampang dapat uang, tetapi juga gampang habisnya, kalau tidak sekalian bergelut pada pekerjaan dengan potensi pendapatan yang besar sekalian.

Apalagi, ketika mendengar cerita teman, yang pendapatan bulanannya besar, namun bisa mengalami bokek, dan hanya memesan paket Rp25.000 di kedai cepat saji.

Dalam keadaan bokek saja masih ke kedai cepat saji.

###
Saya menikmati cerita-cerita tentang Jakarta, suatu asupan jiwa yang menggetarkan sekaligus menyentuh, tentang Ibukota yang belakangan selalu dipersoalkan dan akhirnya akan dipindah.

Sampai Jumpa, Jakarta.

Purwokerto, 27 Januari 2020
Ahmad Fahrizal Aziz

No comments:

Pages