Cerbung PART 3 NGALAH - FLP Blitar

Cerbung PART 3 NGALAH

Bagikan


Kata Ngalah  adalah kosa kata atau istilah yang tidak pernah ada dalam kamus bahasa Jawa. Kosa kata ini diciptakan oleh Wali Songo pada jaman berkembangnya Islam di Nusantara.  Masyarakat Jawa hanya memiliki dua pedoman hidup, ketika mereka sedang berselisih atau berebut sesuatu, yaitu menang atau mati. Ngalah di ambil dari suku kata Allah, nga artinya menuju dan Allah  artinya  Gusti Allah, jadi kata ngalah memiliki makna menuju Gusti Allah. seperti misalkan kata ngalas, artinya menuju alas atau hutan, ngawang artinya menuju awang-awang dsb. Dalam bagian ini akan menyuguhkan kegalauan Rahajeng karena pamornya sebagai warrangono menurun.


Rahajeng  duduk di lincak  sambil menyulam kebaya barunya. Dia selalu mengerjakan  dan mempersiapkan semua pernak-pernik bajunya sendiri.
Tak terasa sudah tiga tahun dia berprofesi sebagai waranggono disela-sela jadwal sekolahnya. Bukan hanya baju dan asessorisnya, namun merias wajahpun dia lakukan sendiri. Ya, memang tututan bagi pekerja seni untuk bisa mandiri mengurus segala keperluannya.

Penampilan bukan hanya bisa dirawat secara lahiriah, namun juga ditempa secara batiniah. Secara lahiriah, Ibulah yang mahir mengatasi semua. Mulai menyediakan berbagai macam  lulur. Rahajeng tidak harus pergi ke spa atau salon untuk memanjakan kulitnya dengan berbagai jenis lulur. Ibu paham betul kapan dan lulur apa yang harus dia kenakan untuk mengatasi permasalahannya. Semisal untuk anti penuaan maka ibu membuatkan Lulur Kopi dan Minyak Zaitun atau Lulur Lemon dan Kunyit . Untuk srcab kulit lembut dan bercahaya, Lulur Minyak Kelapa dan Gula, Lulur Garam Laut solusinya. Bisa juga  menggunakan  Lulur Madu, Vanila, dan Peppermint. Untuk menghaluskan kulit  dan menghilangkan sel kulit yang mati bisa menggunakan Lulur Garam Epsom, Lulur Yoghurt dan Gula atau  Oatmeal Scrub. Untuk kecantikan, kelenturan kulit ada beberapa lulur pilihan seperti, Lulur Mangga dan Minyak Kelapa,   Lulur Pisang, Lulur Jahe dan Minyak Zaitun atau  Lulur Lavender dan Garam Laut. Semua ibu sendiri yang meramu untuk putri  semata wayangnya.

Beda lagi peran Bapak bagi Rahajeng. Setelah Bapak  merestui Rahajeng untuk menjadi waranggono, Bapak bukan hanya berperan sebagai body guardnya, namun juga sebagai penasehat sepiritualnya.  Bapak meminta Rahajeng banyak tirakat. Puasa senin kamis, puasa mutih atau puasa lainnya agar auranya mampu bersinar dengan terang. Rahajeng telah berhasil menjadi ratu tonil.

Namun, akhir-akhir ini Rahajeng merasa terganggu dengan polah tingkah Dewi padanya. Pernah Dewi memasukkan cundrik kecil ke dalam tas kecil Ajeng. Menancapkan sebilah pisau ke fotonya. Membubuhkan rawe pada bedaknya. Hasilnya Rahajeng batal manggung, karena gatal yang teramat sangat. Membuat kulitnya merah-merah dan bengkak.  Rahajeng benar-benar kuwalahan dengan semua keisengan Dewi untuk menjatuhkannya.

“Andap Asor, Wani Ngalah Luhur Wekasane, Ndhuk. Ngalah belum tentu kamu kalah. Apa repotnya menahan amarah barang sejenak. Dipikir dengan hati, dicerna dengan pikir. Baru kamu mulai bertindak. Jangan grusa-grusu semaumu.”

“Tapi, ini sudah keterlaluan Pak. Bapak ndak prisa sendiri. Mesti enak dawuhnya.”

“Wellah ndak tahu bagaimana to? Coba ceritakan, mana yang Bapakmu ndak ngerti?”

“ Dewi itu sudah begitu sering menjaili Ajeng,Pak. Dia itu  punya peganggan. Dia menghalalkan segala cara untuk menjatuhkanku. Bapak prisa piyambak  berapa kali dia mencoba mencelakai Ajeng. Dewi berlindung di balik dukun ternama dari Banyuwangi. Di sana kan pusatnya ronggeng. Jadi lumrahlah kalau sekarang Dewi jadi primadona tonil. Bukan itu saja, lihat pak, hampir setiap hari dia mendapat kiriman hadiah. Dibanding saya, apa saya?”

“Gusti Pangeran, na njur iri kamu, Nduk. Terus maumu apa?”

“Ajeng juga akan mencari dukun sakti, Pak. Biar pamor Rahajeng  kembali naik. Hadiah akan berdatangan, perkakas dapur, barang elektronik sampai mobil. Gincu, bedak pupur akan datang sendiri. Rahajeng tinggal ongkang-ongkang dandan cantik, menari sana-sini. Badan cantik, harum dan dompet tebal seperti bantal.”

Bapak tidak segera menjawabku. Dia menyesap kopi yang tinggal separo. Singkong rebus yang tersaji di piring lebih menarik dibanding dengan keluh kesahku. Bapak mulai menikmati kudapan itu. Pandangannya menerawang jauh. Sesekali menoleh ke arah sangkar burung murai yang sedang berkicau riang. Berdiri dari kursi Bapak mendekati sangkar itu. Menjetik-jetikkan jarinya sambil bersiul. Bapak tampak begitu senang.
Kesabaranku hilang menunggu jawaban Bapak. Harusnya dia membelaku. Aku anak semata wayangnya. Aku merasa diabaikan. Bagaimana bisa dia menggantung pembicaraan yang belum usai. Aku benar-benar marah. “Aku … ,”

“Aku apa? Cobalah mbok sareh dulu. Apa selama ini Gustimu membiarkan kamu kekurangan? Sandang, pangan lan papan? Apa memberimu sakit? Jangan menganggap sepele lho ya. Apa kau pikir semua pemberian itu tidak ada balasannya? Na, kalau kamu tau semuanya, ndak bakalan kamu mengeluh seperti ini. Untuk membayar napas yang kau hirup saja kamu belum mampu, kok cari dukun. Tunjukkan pada Bapakmu ini, dukun mana yang bisa membeli napasnya sendiri?”

"Atau kamu mau sholatmu tidak diterima selama 40 hari ke depan?
Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah, Ndhuk. Itu sudah tertulis di kitab Al Quran."

“Jleb,” aku Tak mampu berucap lagi. Malu, sungguh malu dengan segala rasa iri, dengki yang aku punya.

“Sudah sana, ambil wudhu tenangkan pikirmu. Gusti ndak pernah sare.”

Blitar, 10102019

Catatan :
Lincak : kursi panjang biasanya terbuat dari bambu
Prisa : tahu
Dawuh : ngomong
Prisa piyambak : tahu dengan mata kepala sendiri.



No comments:

Pages