Ali bin Abi Thalibku - FLP Blitar

Ali bin Abi Thalibku

Bagikan

Oleh : Mila Jamilaturrasyidah

Tanganku gemetar hebat mencengkram ujung pilinan katun merah muda di tubuhku. Masih dengan keterkejutanku di bawah renungan rohani, dari celah pembatas antara pria dan wanita, terlihat senyum manis sampai lesung pipit menyembul tanpa sengaja. Rentetan gigi putih menyamarkan penglihatannya, aku tau itu. Matanya menyipit, aku menunduk takut takut.

Pantang bagi remaja ingusan memandang yang bukan mahrom sampai sedetail itu. Seorang pria setengah abad dengan sorban disampirkan di bahunya terus mengibarkan zona batasan perempuan dan laki laki. Menambah kegelisahan satu diantara jamaah pengajian lainnya.

''Perempuan itu harus di muliakan tundukkan pandanganmu wahai kaum adam!''

Masih berseru-seru lelaki yang mengikrarkan diri sebagai ustadz. Sementara seperempat jamaah sudah merasakan pelukan angin malam di bulan Rajab. Sungguh aku ingin menoleh ke samping kiri, menatapi lamat lamat pria berpeci hitam dengan lesung pipit yang kental. Sayangnya perangaiku tak kekar sedetik lalu baru diterang perihal pandangan.

''Nduk!''

Seorang wanita memakai baju batik lusuh meminta jalan untuk kaki keriputnya lewat. Aku mengirim senyum dan bergerak mundur. Perempuan tua itu duduk tepat di depanku. Ocehan garis keturunan Hawa menyiar sampai ke telinga tetangga. Meski sound sistem menyala begitu kencangnya.

Ibuku justru menunduk memainkan ponsel entah untuk apa terkadang terkekeh, sedang ponsel di genggam kumatikan sejam yang lalu. Kini aku menatap kosong Ustadz menyimak guyuran malam tanpa sepeserpun bintang.

''Jangan salah kan pria jika banyak hal yang tak di harapkan terjadi. Itu karena perempuan gemar memakai singlet dan you can see ''

Jamaah pria yang sudah mengerti hal semacam itu mulai tergelak tawanya. Mereka pikir ucapan yang menggelegar tadi adalah guyonan alam. Tak urung dari berpeci, bersarung, bahkan yang memakai celana jeans menimpali dengan gelagak tawa. Jamaah perempuan –terutama ibu ibu– bersorak tak terima. Merasa didiskriminasi atas tawa kumpulan suami di serambi masjid.

Kini masjid berlantai dua yang dibangun dari semulanya tempat menjemur ikan asin dan kerupuk, di penuhi sorak sorak bak lagu 17 Agustus-an. Ustad bernama Yusuf tadi meringis, diluar ekspetasi dzikirnya pengajian bisa sekacau ini. Lemparan kata kata menjamu tak peduli papan triplek yang terdorong kesana kemari. Beringasnya mereka. Aku semakin tersiksa duduk diantara ibu dan wanita seusia ibuku yang terus saja teriakannya kecolongan masuk di telingaku.
 
''Nyuwun ngapunten geh, saget dilanjut?''

Semua orang bungkam, rahang mengatup, dengan senyum tanpa rasa bersalah mengangguk serempak. Anak anak setinggi lutut orang dewasa mengambil alih, berlarian di depan panggung pengajian, melepas jilbab dan menarik ujung roknya ke atas. Pusing sekali andai aku menjadi Ustad Yusuf.

Dengan suara putus asa Ustad Yusuf berkata, ''Inilah akibatnya menonton saudara perempuannya atau bahkan ibu, dan tetangga memakai pakaian yang tak sempurna menutup auratnya.'' Mendengar hal itu jamaah pria merasa mendapat tim sukses. Wajah perempuan yang sempat menyeru opini kini memalu sedikit.

Para ibu yang merasa anak perempuannya bermain diatas panggung mulai bersihut menyahut putrinya untuk duduk di karpet jamaah. Dengan jilbab dikibas kibaskan ke udara. Anaknya menggeleng keras, menyibak rok ke atas mengelap peluhnya. Seragam diniyah yang mencetak keringat nampak kucel akibat aksi dance ambradul itu.

Lelah membawa sang Ustad yang jauh jauh naik sepeda montor 20 Kilometer, duduk diatas kursi. Pembawa acara lantas menggulir jadwal ke acara pembagian prestasi kepada murid murid diniyah. Pipiku lantas bersemu merah, bukankah si lesung pipit akan maju nantinya? Ia mengaji di tempat ini, sementara aku menempuh tartil dan SBQ di tempat lain.
 
Pupilku bergerak liar diantara blitz kamera ponsel, cahaya lampu cabe di panggung benar benar mengganggu. Lalu, senyumnya lagi meneduhkan hati. Bahuku meluruh, saat ia menyapa salah seorang teman kecilku yang mengaji disini. Rontok sudah harapan menyapanya, sampai rela duduk sendiri menyelinap ke depan.

Kukeluarkan ponsel dan mulai merekam mantra mantra al quran yang deret deret mereka nyanyikan. Sampai selesai, tak sempat lidah berucap setelah empat tahun tak bertemu dan bicara. Apalagi mata ini mengucap syukur bertemu dengan pupilnya. Kecewa. Aku kembali duduk di baris ke tiga, nanti sepulangnya aku bisa menemuinya. Lagi pula, dia yang dulu memintaku menjadi kawannya.

Dia Ali bin Abi Thalibku, bacaan Al Qurannya sama seperti menyeduh teh hangat di pagi hari. Indah seperti matahari terbit menyejukkan persis saat gerimis mengguyur petak persawahan. Kawan pria pertamaku, aish! Masih jelas saat perkenalan kita tanpa sengaja di masjid empat tahun lalu.

Di bulan Ramadhan, aku berlarian kecil membelah jalanan beraspal yang semulanya ramai dengung semacam lebah, sunyi dengan angin pukul 3 malam yang menakjubkan. Mukena putih, sandal jepit,dan bau apek bangun tidur. Seusai sahur aku berikrar akan sholat malam di masjid.

Ayah tersenyum simpul, aku membuat bunyi berisik dari sandal jepit yang terhentak di tanah. Sampai di gerbang masjid, aku terkagum. Dari luar jamaah sholat malam lumayan banyak. Luar biasa, andai setiap bulan adalah bulan Ramadhan tak akan tersakiti hati Muadzin dan Imam yang tersusah mencari makmum. Tak perih hati masjid yang berdiri kokoh lemah dengan satu dua makmum.

Aku girang tak kepalang, melempar sandal sembarang arah dan berlari mengambil barisan. Merapal doa agar tak tertidur ketika sholat nanti. Tapi naas, setelah jeda antar sholat. Ah! Ketika dzikir panjang, punggungku menyandar di pilar tanpa sengaja terlelap singkat. Lalu, bunyi jam dinding mengangkat nyawaku kembali,peringatan imsak. Di serambi masjid tinggal satu gelas air kemasan. Sebenarnya ada galon besar di ruang Remaja Masjid. Aku malas kesana, kuraih dengan cepat gelas air itu, sayangnya aku kalah gesit dengan seseorang.

Batal dua kali. Seseorang tadi laki laki. Sudah tertidur, dan tersentuh kulit lawan jenis. Malu sekali, aku memilih menyingkir, menyibak mukena atas bergegas melangkah ke kamar mandi sebelum imsak lewat.
Tapi, laki laki tadi memanggilku kembali, mengulurkan segelas air –yang kami rebutkan– padaku. Sebelum bertanya, ia sudah menyela, ''Ambil saja.''

Pertemuan tanpa sengaja, saat sepertiga malam adalah sunset bagiku. Sejak malam itu, dimalam malam berikutnya aku sesegera ke masjid untuk sekedar melihatnya. Lalu semua terhenti ketika–

''Bergegaslah, Ayo Pulang!''

Lamunan bercampur ingatan membawa cairan bening mengalir tanpa izin. Untung aku ahli menjinakkan isakkan. Empat kotak makan berbahan sterofoam ku genggam erat, sepasang sandal rajut mengetuk lantai paving gelisah. Menyalaki semua yang berjalan di hapadan, pria berlesung pipit itu menghilang bagai kunang kunang malam.

Rusukku seakan merosot sampai tanah, memang siapa aku di dunianya sehingga mustahil dilupakan. Diralat, mustahil diingat. Aku kembali pulang ke rumah dengan doa dan memori yang tertinggal di masjid.

''Tuhan, ia bagai Ali Bin Abi Thalib.
Maka jadikan aku Fatimah, yang senantiasa sabar menantinya, sampai ia memilihku suatu hari nanti.”[]

Blitar, 14 May 2017

No comments:

Pages