Sebuah Jalan yang Bernama Kehidupan* - FLP Blitar

Sebuah Jalan yang Bernama Kehidupan*

Bagikan

Oleh : M. Kafin Azka

Semua orang tahu, kehidupan adalah sebuah perjalanan.Tapi, tak satu orang pun yang tahu apa yang akan terjadi dalam hidupnya. Suratan taqdir yang ada,  seakan mengikat segalanya agar berjalan sesuai dengan apa yang tertulis di dalamnya. Membuat manusia tak berdaya. Dalam keterpurukan yang bernama taqdir. Namun, bukan berarti tangan-tangan kecil ini tak bisa mengubah taqdir untuk menjadi lebih baik. Yang ku inginkan, aku bisa menulis suratan taqdirku sendiri. Dan menjalaninya di jalanku sendiri.

#

Suaranya membelah kesunyian malam. Senandung sholawat yang membuat hati tentram. Di sebuah pesantren aku tinggal, sejak kelas empat SD sebagai murid pindahan. Sebenarnya agak berat dirasakan, jauh dari orang tua, meninggalkan teman masa kecil, dan harus menyesuaikan dengan suasana baru. Tapi,di sinilah semua dimulai, PESANTREN AL-MUSTHOFA.
Aku hanya bisa terdiam saat sowan ke ndalemnya Pak Kyai, lama orang tuaku berbicara dengan Pak Kyai. Beliau mempersilahkanku untuk memilih kamar. Kulihat masing-masing kamar memiliki nama sendiri. Aku memilih kamar Al Faruq yang setahuku artinya adalah pembeda.

Saat membuka pintu jantungku berdebar-debar, dan ketika pintu terbuka, betapa luarbiasa berantakannya kamar ini. Kuucapkan salam dan mulai berkenalan dengan penghuni kamar yang berjumlah 8 orang. Setelah banyak cas cis cus yang kami bicarakan, kantuk mulai menyerang dan malam semakin larut, dan kami memutuskan untuk tidur.

#

Saat hari pertama sekolah, awalnya semua berjalan normal untuk murid pindahan sepertiku. Hanya saja ketika pelajaran dimulai aku kebingungan mencari sesuatu yang kulupakan. Ya, sebuah pulpen, bagaimana bisa aku lupa membawa pulpen di hari pertama sekolah. Maklumlah, anak-anak. Dan kemudian seorang anak perempuan menyodorkan padaku sebuah pulpen. Aku mengucapkan terimakasih dan ia hanya tersenyum, yang akhirnya kutahu namanya adalah Fitri.

Jam istirahat, tentu saja tempat yang kutuju adalah tempat yang jauh dari keramaian, Perpustakaan. aku menyusuri ruang demi ruang dan melihat tulisan perpustakaan. Aku pun masuk dan terpesona dengan apa yang kulihat. Sebuah perpustakaan yang cukup besar untuk sebuah SD. Dan aku salah, karena di sana tidaklah sepi, tapi cukup ramai. Aku berkeliling melihat rak buku. Banyak buku yang tersedia dalam berbagai kategori, mulai dari buku pelajaran, cerita, novel, pengetahuan umum, bahkan juga terdapat  Ensiklopedia di sana, koran-koran bekas pun kulihat di sudut ruangan. Aku jatuh cinta dengan tempat ini, dengan buku-buku ini. Dan dari sinilah aku menjadi gila baca.

   ”Hai.”
   “Eh Fitri, ada apa Fit?”
   “Suka baca buku ya?”
   “Iya ini lagi baca novel, tapi bab akhirnya hilang.”
   “Hilang? Coba kulihat,” aku memberikan buku yang sedang kubaca.
   ”Kalau begitu kau tulis saja bab yang hilang itu sendiri.” ujar Fitri kemudian.
   “Apa maksudnya?” tanyaku tak mengerti.
   “Menulis buku juga berarti menulis inti sari dari kehidupan, menulis hikmah dan pelajaran yang kau dapat saat kau hidup. Ibaratkan buku sebagai sebuah dunia, jika hidup tak berjalan dengan baik dan tak sesuai dengan apa yang kau inginkan, maka tulislah hidup yang sesuai dengan keinginanmu,tak akan ada yang keberatan dan mungkin itu juga termasuk do’a, siapa tahu hidupmu akan menjadi lebih baik.”

Aku terdiam, terkagum-kagum dengan apa yang ia katakan. Itu bukanlah kata-kata yang biasa diucapkan oleh anak SD.

#

Setelah aktivitas pesantren selesai aku membaca buku yang kupinjam dari perpustakaan, lama aku membaca, dan rasa kantuk mulai menyerang. Aku keluar kamar dan melihat semua lampu sudah tak ada yang menyala. Aku menengok jam dinding dan astaghfirullah, pukul 02:00 pagi. Kekagetanku membuat rasa kantukku menghilang. Aku menjadi kepikiran apa yang fitri katakan. Aku mengambil buku dan pulpenku, dan mulai menulis kelanjutan dari bab yang hilang.

Saat mencapai dua paragraf, tiba-tiba lampu mati dan sebuah rotan melayang ke punggungku. BUUKKK!!!
Aku menggeliat seperti ulat yang kepanasan, eh bukan, menggelepar seperti ikan yang diangkat ke daratan, kemudian aku mendengar kata- kata kasar, ”Sudah malam, bukan waktunya belajar, cepat tidur, awas kalau besok pagi gak ikut kegiatan!”

Pengurus sialan, umpatku dalam hati. Apa cuma itu yang bisa dia katakan. Apa dia tidak bisa mengatakanya dengan sedikit kasih sayang, misalnya, “Dek sudah malam, sudah dulu belajarnya, cepat tidur ya, besok pagi ngantuk lo.”
Aku masih menahan sakit, tapi kuakui caranya memang ampuh untuk menidurkan orang. Mungkin pengurus itu cita-citanya jadi tentara.

#

Setelah sekian lama aku jadi sadar bahwa teman-teman sekamarku merupakan orang-orang gila yang luar biasa, orang-orang idiot yang ber IQ tinggi. Bayangkan saja anak berumur 12 tahun sudah hafal Al-Qur’an 17 juz, GILA bukan? Ada juga temanku yang tulisan tangannya seperti komputer, kaligrafinya sngat warbiazah. Aku bergumam, kapan tulisanku bisa sebagus itu? Ada juga satu-satunya orang di pesantren, seorang pengurus yang lancar berbicara Bahasa Inggris. Kebanyakan santri di pesantren lebih menyukai Bahasa Arab, karena lebih berguna saat pengajian.

Tentu saja aku ingin belajar dari teman-teman sekamarku ini. Namun, saat aku minta tolong, “ Kang, kalimat ini artinya apa?” temanku menjawab, “Lagi laper nih, jadi gak bisa mikir deh. Traktir dong.” Yah, belajar dari mereka tidaklah gratis.

#

Saat SMP, sebenarnya aku ingin mengikuti kegiatan kepenulisan seperti ekstrakurikuler Jurnalistik. Sayangnya di sana tak ada Jurnalistik seperti yang kuharapkan. Kalau begini sih siapa yang nggak kecewa? Tapi aku tidak menyerah sampai di sini.

Aku mencari guru bahasa yang mau dimintai tolong, ya semacam kursus menulis pribadi gitu. Beliau memberiku tugas untuk membuat puisi, cerpen dan teks berita, dan segala hal yang mengenai kepenulisan, yang kemudian beliau memberi koreksi atas karyaku. Beliau juga memberi materi dan penjelasan padaku. Ada guru pembimbing yang mau mengajariku saja aku sudah senang.

Kegiatan kursus itu hampir berlangsung satu tahun, tapi suatu hari guru pembimbingku memberi tahu bahwa ia tak bisa mengajariku karena sutu alasan yang menurutku terlalu dibuat-buat. Yah mau bagaimana lagi, mungkin beliau cukup sibuk dengan pekerjaanya. Karena alasanya yang tidak terlalu jelas membuatku sedikit kecewa. Tapi aku mencoba untuk terus maju, mencari guru lain yang bisa mengajariku. Namun sulit untuk mendapat seorang guru pembimbing untuk sebuah ekstrakurikuler tidak resmi beranggotakan satu orang saja. Setelah mengalami berbagai penolakan, aku menyerah. Andaikan saat itu ada kesempatan, pasti aku akan mengambilnya. Tapi harapan sudah tiada. Aku pun menutup buku dan meletakkan pena.

Menjelang akhir semester, guru pembimbingku dulu menemuiku dan memintaku untuk ikut serta dalam ekstrakurikuler Jurnalis yang akan didirikan. Tahu apa yang kulakukan? Jelas aku menolaknya, bukan karena dendam, tapi karena aku memang sudah kehilangan ketertarikanku pada dunia tulis-menulis saat itu. Aku ingin fokus pada hal lain yang sedang kukerjakan. Sang guru terlihat sedikit memaksa naman aku tak bergeming dari pendirianku. Dan benar saja, sampai aku lulus dari SMP, ekstra Jurnalis tetap masih belum berdiri. Bukankah ironis, saat kau tidak membutuhkan suatu hal kau mencampakkannya, dan saat kau membutuhkannya hal itu sudah hilang.

#

Saat lulus dari SMP dan pesantrenku yang lama, aku mencari pesantren dan sekolah yang akhirnya kutemukan di Blitar. Saat itu kupikir akan jarang memegang pena, karena kata temanku, SMK sih anak teknik. Itu nggak banyak nulis, karena yang dipegang bukan pena, tapi obeng, kunci, dan perkakas mesin lainya. Aku menyanggahnya, bahwa anakTKJ (Teknik Komputer dan Jaringan) kerjanya nulis program, dan nulis nggak selalu harus pakai pulpen. Temanku nyengir mendengar apa yang kukatakan.

Di SMK, awalnya aku mengikuti ekstrakurikuler PMR, karena menurutku akan banyak manfaatnya. Tapi saat tengah semester agenda kegiatannya banyak yang kosong sehingga aku keluar dari PMR. Karena sudah tak ada ekstrakurikuler yang kuikuti aku menuju tempat favoritku dari dulu, masih perpustakaan. Di perpustakaan aku berkenalan dengan seseorang, namanya Dafa, dan kami pun semakin akrab.

Suatu hari ia memberitahuku akan diadakan ekstrakurikuler Jurnalis. Aku terdiam. Dafa telah membuka peti kenangan yang sudah kututup rapat. Aku tahu bahwa ia akan mengajakku untuk mengikuti ekstrakurikuler tersebut. Dan tanpa sadar aku menyetujuinya, hatiku tak bisa menolak saat-saat seperti ini, yang memberikan titik balik dari kehidupanku bahwa aku ingin menjadi seorang penulis.

Ketika mengikuti kegiatan ekstra yang belum resmi  ini, awalnya fokus pada tatacara menulis yang baik dan benar. Waktu itu hanya beberapa orang saja yang mendapat perhatian khusus, menurutku itu menyebalkan. Bahkan aku sempat tidak mengikuti kegiatan Jurnalis ini dalam beberapa minggu. Dan pada akhirnya ke-12 anggota melepaskan diri satu persatu. Hanya ada satu anak yang bertahan. Karena dia mempunyai kesempatan, sang guru masih bisa menemaninya belajar. Dafa memang beruntung, berbeda denganku saat SMP.

#

Aku menjadi teringat waktu aku SMP, bagaimana aku mengalami hal yang sama dengan Dafa, kira-kira berapa lama dia akan bertahan? Saat dia jatuh, apa yang akan dia lakukan? Tentu saja aku tak bisa membiarkan apa yang kualami dulu dialami oleh orang lain. Aku membantunya menyiapkan berbagai hal agar ekstrakurikuler ini mampu berdiri. Kami mendapatkan lima belas anggota, kami mengajukan proposal kami dan dengan bantuan guru pembimbing kami, ekstrakurikuler jurnalis mampu berdiri.

Progam kerja kami yang pertama adalah pembuatan majalah sekolah edisi pertama dalam waktu enam bulan. Waktu yang cukup lama untuk sebuah majalah sekolah. Dengan tema Berani Berkarya, kami berusaha sebaik mungkin untuk edisi pertama ini. Setelah kami menyelesaikan tugas-tugas kami, kami berhasil menerbitkan majalah sekolah edisi pertama. Kami semua merasa senang dengan keberhasilan kami. Dalam hati aku menangis bahagia, rasanya sangat memuaskan seperti tak ada hari kemarin ataupun besok, yang ada hanya saat itu, saat impian kami terwujud.

#

Suatu hari guru pembimbing kami memberi tahu ada acara launching buku  antologi cerpen Jejak Jejak Kota Kecil. Hanya akan ada lima siswa terpilih, dan aku adalah salah satunya. Saat acara berlangsung, aku mencoba memahami apa yang kulihat di sana, namun dibutuhkan lebih dari melihat untuk memahami apa yang terjadi di sana.

Sampai aku bertanya pada temanku, FLP itu apa? Karena tak satu pun dari kami yang tahu, kami memperdebatkan singkatan dari FLP dengan bayang-bayang yang ada di pikiran kami. Sampai saat ada selebaran yang dibagikan, yang ternyata adalah formulir pendaftaran FLP. Temanku bertanya, ini apa ini bagaimana, aku cuek dengan mereka, jika mereka ingin tahu tentu saja mereka harus masuk dalam FLP. Dan aku pun mengisi formulir pendaftaran tersebut. Itulah pertama kali aku mengenal FLP. Untuk lebih mengenal diriku sendiri, mungkin inilah salah satu jalan yang harus kulalui. Dan aku berharap, aku dapat mencapai impianku di ujung jalan ini.

#

Entah apa ini namanya, hanya saja jika kau bertanya bagaimana aku mencintai dunia tulis-menulis, tulisan di ataslah yang ada di kepalaku. Dan untuk mengetahui lebih lanjut, tentu saja kita harus menjalaninya di jalan yang benar, agar tidak tersesat dan kehilangan hal yang penting dalam hidup kita. Wassalam…[]

Blitar, 28 Pebruari 2017

*ditulis untuk Writing Challenge FLP Blitar, dalam rangka menyambut milad FLP ke-20.

No comments:

Pages