Nostalgia Bubuk Kopi Nenek - FLP Blitar

Nostalgia Bubuk Kopi Nenek

Bagikan

Oleh : Faridha Fajriyah

Hari yang melelahkan itu membuatku tidak ingin langsung pulang ke rumah. Kegiatan sehari-hari lebih banyak membuat penat. Sebagian kegiatan yang membuatku lelah adalah bagian dari yang kucinta. Sebagian lagi harus aku lakukan dengan semangat untuk mengisi berbagai kebutuhan dapur rumahku. Setiap malam selalu terngiang, masak apa aku besok pagi? Selalu, setiap hari.

Pukul delapan malam ini, sepulang aku menjual ilmu pada anak-anak bimbingan belajar, aku berkunjung ke rumah nenek. Kalau aku datang saat malam, biasanya nenek memintaku untuk menginap. Tapi selalu kutolak dengan halus menggunakan berbagai alasan. Memang, aku mengunjunginya karena ingin tahu kabarnya saja. Bukan untuk bermalam. Tapi, kali ini aku bermalam. Bukan main nenekku senang dan menyiapkan segala makanan yang ada untuk kusantap. Segala makanan yang ada itu meliputi nasi putih, sayur seadanya, kalau ada krupuk juga beliau suguhkan, jika ada gula dan bubuk kopi pasti dibuatkan secangkir kopi hitam. Pokoknya apa pun yang ada disuguhkan.

***

Malam ini, perempuan berusia hampir 80 tahun itu merapikan kamarnya, mengebas kasur yang sudah mulai mengeras karena lama tidak dijemur. Tapi nenekku adalah orang yang bersih sekali. Meski tempat tinggalnya amat sederhana, beliau selalu menjaga kebersihan terutama kebersihan badannya. Mandi tiga kali sehari selalu diterapkan. Aku saja kadang-kadang dua atau bahkan mandi sekali saja bila sedang dalam waktu yang tidak memungkinkan untuk mandi.

Biasanya jika aku bermalam, selalu tidur bersamanya. Mendengarkan seluruh pengalamannya ziarah wali ke berbagai wilayah. Sering pula beliau memberiku nasihat tentang pentingnya sholat berjamaah, membaca ayat suci Al Quran dengan benar, pengajian ke sana ke mari, sering juga mengajakku untuk hadir di sebuah rutinan setiap hari Minggu Pon. Berbeda sekali dengan ibuku yang lebih sering menceritakan pengalaman masa mudanya.

Aku juga sering mendengar nenek bercerita tentang pek-pekan, sebutan untuk penculik anak kecil yang dulu pernah berkeliaran. Jaman dahulu, setiap mendengar cerita tentang itu, anak kecil selalu takut dan menangis. Begitu pun aku. Mungkin itu cara orang tua kita agar anak-anaknya tidak keluar rumah setiap habis pulang sekolah, yaitu dengan menakut-nakuti anak-anak dengan adanya penculik anak kecil yang disebut pek-pekan.

Menarik lagi saat nenek menceritakan tentang bromocorah. Bromocorah adalah sekawanan lelaki bertato yang membuat keresahan terhadap masyarakat. Berbagai tindak kriminal dilakukan dan membuat resah masyarakat. Kemudian, sekawanan polisi dan militer melakukan tindakan. Setiap lelaki bertato tiba-tiba hilang, dan beberapa hari kemudian ditemukan mereka mati tertembak dan tertusuk benda tajam, kepalanya tertutup kain. Dan terjadi hampir bersamaan di beberapa tempat yang lain. Kejadian itu membuat para bromocorah ketakutan dan memilih menghilang sebelum diculik dan dibunuh dengan kepala tertutup. Memilih meninggalkan istri dan anak dalam kesusahan.

Dulu, nenek hendak menikahkan ibuku dengan seorang guru. Tetapi ditolak oleh ibuku sebab beliau belum bekerja. Lalu setelah ibuku mendapat pekerjaan tetap, ia bersedia menikah. Tapi bukan dengan seorang guru yang ditunjukkan nenekku, melainkan dengan ayahku yang pekerjaannya sebagai pengrajin. Seorang ayah yang setiap hari menungguku pulang sekolah.

Cerita-cerita itu layaknya lagu nina bobo yang tak perlu susah payah membentuk nada. Apa yang kubayangkan saat mendengar cerita-cerita tersebut, telah menciptakan dinamika tersendiri dalam anganku. Banyak sekali kisah-kisah lain yang teringat hingga menghantarku terlelap. Selalu di samping nenek yang lebih dulu terlelap. Di tangannya selalu memegang tasbih, lalu digerakkan tasbih itu setiap malam saat membuka mata (red : nglilir)

***

Pukul lima pagi selepas aku bangun, nenekku sudah tidak ada di sampingku. Entah pukul berapa beliau bangun. Aku merapikan selimut lalu bergegas melaksanakan kewajibanku. Nenek selalu marah-marah jika aku tidak segera melaksanakan kewajiban. Macam-macam amarah disebutkannya untukku. Dan aku hanya diam. Tidak ada kata yang bisa membantah amarah nenekku.

Dapur adalah tujuan selanjutnya pada pagi yang cerah ini. Tidak ada embun, pun dengan mendung. Cerah sekali. Aku menengok rak tempat gula dan kopi disimpan. Setelah ketemu, aku langsung meracik dengan takaran kesukaanku ke dalam sebuah gelas. Lalu kuamati tungku api, tidak ada kayu. Kuamati kompor, gas LPG-nya menipis. Kuangkat termos air panas di hadapanku, berat sekali. Aku tersenyum, termosnya terisi penuh. Maka aku tuang ke dalam gelas air panas dari termos tersebut.
Aku mengaduknya, lalu duduk di depan tungku api sambil menikmati segelas kopi di tanganku.

Pagi hari, suasana desa. Dengan rumah kecil yang masih memasang tungku api di dapurnya. Sebagian rumah nenek-nenek yang sempat menikmati abu dan asap sewaktu penjajahan, memang tidak meninggalkan tungku api. Memasak masih tidak menggunakan penyedap rasa. Ajaibnya, walau memasak hanya dengan mencampur bumbu dapur sederhana saja, setiap masakannya tetap saja sedap. Masih menggunakan cara lama, pun dengan mendidik anak cucunya.

***

Segelas kopi lalu membuatku seperti nonton film dengan setting tahun 90'an. Mempertontonkan sebuah adegan di mana pemerannya adalah keluargaku sendiri. Di dapur itu, dulu pernah ada lima tokoh berarti dalam hidupku.

Kakekku, yang di hari pemakamannya membuat ayahku menangis. Kemudian nenekku, yang setiap bertemu cucunya selalu memberi jutaan nasihat dan petuah hidup. Ayahku, yang membuatku tidak percaya ketika di hari kelulusanku beliau berpulang juga. Dan ibuku yang setiap hari sibuk dengan cucunya di rumah.
Mereka pernah menikmati kopi bersama. Kopi dengan aroma yang sama dengan buatanku pagi ini.

Nenekku tidak pernah membeli kopi di toko atau warung terdekat. Beliau memiliki banyak pohon kopi di belakang rumah. Dengan telaten beliau memunguti biji kopi kemudian dijemur. Setelah kering, beliau menggoreng dalam wajan tanpa minyak dengan campuran beras. Setelah warnanya menghitam dan didinginkan, beliau sendiri yang menumbuknya dalam sebuah lesung dari batu. Kopi hasil tumbukannya tidak pernah menghasilkan bubuk kopi yang halus dan lembut sempurna. Tapi di sanalah letak nikmatnya. Kopinya sedikit memberikan kesan ampas yang kasar, terkadang menjadi bahan gigitan di setiap seruputan.

Sewaktu aku masih kecil, jarang sekali rumah yang memakai gas LPG bersubsidi. Hanya menggunakan kayu dalam tungku saat merebus air, kemudian air panas tersebut disimpan dalam termos agar memiliki persediaan dalam sehari. Karena disimpan dalam termos, suhu panasnya selalu menurun sedikit demi sedikit, sehingga tidak terlalu panas saat digunakan untuk menyeduh kopi.

***

Ah, aku jadi merindukan momen indah itu. Terlebih kepada beberapa tokoh yang telah tiada, rindu yang teramat kadang-kadang membuat dadaku sesak juga. Aku baru menyadari, akhirnya hanya bisa menikmati kopi itu sendirian, di tempat yang sama. Nenekku tidak lagi  menikmati kopi karena sedikit masalah dengan lambungnya. Ibuku kini lebih sering meminum teh daripada kopi. Dan aku masih menikmatinya.

Bubuk kopi buatan nenekku itu perpaduan antara nikmat dan jahat. Kenangan bisa saja seenak jidat datang tanpa diundang dan pergi tanpa permisi. Tapi tak semua kenangan harus dilupakan. Sebagian lainnya terkadang membawa damai kerinduan pada seseorang yang terkenang, kemudian lahirlah doa dalam setiap malam.

Bubuk kopi buatan nenek berbeda jauh dengan nikmat kopi made in angkringan yang pernah kutemui di beberapa kota, atau di kota Blitar sendiri. Bubuk kopi buatan nenek membawaku menyelami lorong waktu damainya dengan keluarga. Sedangkan kopi yang biasa aku nikmati di luar rumah, lebih banyak mengingatkan momen kebersamaan dengan seorang penikmat kopi, pecinta seni ukir dan lukis, yang telah berlalu pergi tanpa pamit.

***

Tiga hari aku bermalam di rumah nenek, menikmati seluruh nasihat yang lebih banyak kudengarkan daripada kutanggapi. Kalau aku menanggapi seluruh nasihatnya, pasti terdengar seperti orang yang sedang beradu mulut. Sebab fungsi pendengaran nenekku sudah berkurang. Fungsi penglihatannya juga sudah berkurang, tetapi tetap lancar untuk membaca Al Quran.

Setiap lima belas hari sekali nenek selalu membuat bubuk kopi untuk persediaan. Biasanya saat ibu berkunjung, nenek pasti membungkus beberapa ons bubuk kopi untuk dibawa pulang. Ibu lebih sering menerima daripada menolaknya, sebab pemberian orang yang lebih tua memang tidak boleh ditolak, katanya.

Anehnya, aku mendapatkan rasa yang berbeda saat aku menyeduh bubuk kopi buatan nenek di tempat yang berbeda. Di rumahku sendiri, misalnya. Rasa kopi yang aku buat sangat lain dengan yang pernah kubuat di rumah nenek. Mungkin karena suhu air panasnya; memang aku lebih sering memasak air terlebih dahulu dan menuangkan ke dalam gelas berisi bubuk kopi dan gula. Tidak seperti di rumah nenek yang menyeduhnya memakai air panas dalam termos dengan suhu air panas yang sudah menurun. Sehingga tidak terlalu panas setiap menyeduh kopi.

Tapi harus kuakui, kopi di warung memang nikmat walau tak senikmat bubuk kopi buatan nenekku.[]

No comments:

Pages