Aku dan Puisi - FLP Blitar

Aku dan Puisi

Bagikan




Dalam tulisan kali ini, saya tak akan mengupas teori-teori ataupun metode-metode kajian dalam menulis puisi sebab saya pun sebenarnya juga belum terlalu paham dengan berbagai banyaknya tulisan mengenai puisi. Namun, yang ingin saya tuliskan hanya seputar pengalaman “aku dan puisi”. :-D
Sebelum membaca tulisan saya harap diingat, bahwa tulisan ini sedikit mengandung senyuman dengan adonan kesantaian. Jadi, tak perlu serius-serius amat, Bro!
Bagi saya menulis puisi adalah suatu kebanggan tersendiri, apalagi sebagai seorang pemula, puisi seperti saya menjelajahi dunia yang tak semua orang bisa memasukinya, memasuki sebuah dunia sunyi, memasuki petualangan jiwa yang kerap terombang-ambing dalam alam bawah kesadaran. Kenapa harus bangga? Sebab saya bisa melepas virus alaisme ke ruang bebas, ruang yang dipenuhi para penjajah kata-kata. (ini becanda hihi :-D)
Sampai sejauh ini saya cukup menikmati proses tumbuh kembang anak-anak puisi yang lahir dari rahim jari-jemari, hasil pembuahan antara sunyi dengan imajinasi yang lebih dahulu dimatangkan oleh beraneka makna dalam kehidupan.
Pertama kali menulis puisi, saya termasuk penganut aliran puisi yang tidak mau meribetkan diri dengan kata-kata atau diksi-diksi yang saya sendiri tak memahami dan baru mengenalnya. Ya begitulah, akhirnya puisi yang saya lahirkan tampak begitu datar, bahkan jika membaca puisi itu lagi saya malu sendiri. Tapi, semua itu kan memang butuh proses. Dan inilah beberapa puisi yang saya buat sebagai seorang pemula sampai sekarang pun saya juga masih menjadi pemula. :-D
Lelaki Tanpa Kaki

lelaki tanpa kaki
menyendiri di kaki langi mati
menatap horizon waktu yang tak kunjung henti
memandang siluet senja dengan mata hati

lelaki tanpa kaki
bersua tanpa jeda di setiap selanya
berbincang tentang jiwa yang tak ada akhirnya
berbagi kisah terbalut mega-mega

lelaki tanpa kaki
waktu kian merangkak kini dan nanti
kelak kan ada asa meraih api
menyulut cita cinta abadi

Blitar,20 februari 2014


            Selanjutnya saya masih terus berproses, dan puisi-puisi yang lahir pun semakin berontak. Seperti terlempar ke planet asing, pada puncaknya puisi-puisi semakin mendekati kejahanaman kata-kata, menggunakan kata yang aduhai ulala seperti membuang makna yang seharusnya ada dalam setiap puisi yang dibuat. (haha :D) Bahkan saya sendiri tidak mengenalinya. Coba simak puisi ini, mungkin ada beberapa kosakata yang tampak asing, saya menulisnya juga lupa apa maknanya.
Peristiwa Zohrah

Zohrah masih malu mengintip bumi
Embun menyeruak di balik dedaunan
Hialit tersiar menjadi warna
Terbaut apik isofen yang tlah dirangkai
Jejak sang pemimpi meraup cinta Illahi
Hai dunia, galaksi bima
Jenggala dimanapun berada
Insan jentayu yang merana
Semangat mengaur dari hati yang terus terayun

Blitar, 01 maret 2014

            Saya mendapatkan bermacam-macam tausyiah puisi, dan kini saya kembali belajar untuk membuat sajak yang merakyat. Pesan dari salah satu abang penyair kepada saya suatu hari, “Tulislah puisi yang merakyat, puisi dengan bahasa yang bisa dimengerti oleh semua kalangan masyarakat bukan cuma kalangan penyair atau kaum intelektual saja.”
Puisi itu milik semua orang, dan merakyat dalam artian bisa dipahami oleh semua rakyat sehingga makna yang terkandung di dalamnya pun diharapkan bisa dipahami.
            Nah, sementara itu dulu ya! Simak juga di edisi selanjutnya. :-p

No comments:

Pages