Project-S Chapter #1 - FLP Blitar

Project-S Chapter #1

Bagikan


DISCLAIMER!

Cerpen bersambung Project-S chapter 1 dan 2, yang diunggah pada laman web FLP Blitar merupakan versi remake dari cerpen yang sama, yang sebelumnya telah terbit dalam antologi cepren bersama "Artelavida" pada tahun 2020. terdapat perbedaan penanggalan, tahun, serta beberapa detail alur cerita yang disajikan. Sementara chapter lainnya merupakan cerita orisinil yang belum pernah dipublikasikan di mana pun dan merupakan kelanjutan seri cerpen bersambung Project-S. Project-S berlatar waktu pada tahun 2019, akan tetapi kondisi latar tempat cerita didasarkan pada kondisi saat ini.

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama, tempat maupun cerita, adalah hanya kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

 

 


                                                                           Antologi Cerpen Artelavida (2020)                                                                             

 

 

 

Oleh Abi Subekti

 

 

 

.

.

.

Perlu Diketahui Sebelumnya -  

 

Melalui blog ini, kami ingin berbagi cerita lucu, romansa, horor, lika liku kehidupan, juga banyak cerita-cerita lain. Kami ingin berbagi cerita tentang proyek yang baru kami buat. Sebuah proyek nekat, hasil keputusan kami bersama. Namun, berorientasi nyata untuk masyarakat luas guna membantu siapa saja yang membutuhkan. Juga sebagai perwujudan salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pengabdian masyarakat (menurut kami sendiri hehe).

 

Di sebuah kost kecil dalam gang sisi barat Universitas Islam Balitar, Blitar, kami bermarkas. Sebuah indekos kecil yang awalnya merupakan tempat tinggal teman kami selama menempuh studi di UIB. Kosan itu lantas kami sulap menjadi markas sekaligus kosan swadaya. Tempatnya yang sepi, terlebih dalam satu deret gang hanya terdapat empat KK warga, plus satu indekos yang dihuni teman kami ini. Hal tersebut kami pandang strategis, selain dekat kampus, juga dekat jalan uatma yang pasti akan membuat proyek kami dilirik masyarakat.

 

Sebuah plang kayu bertuliskan ‘PUSAT MINTA TOLONG!’ baru selesai kami pasang. Dibawahnya bertulisakan kecil ‘Bayar Seiklasnya, Minta Tolong Sepuasnya.’ Ya proyek kami adalah membantu kesulitan-kesulitan masyarakat yang membutuhkan, berkonsultasi sekaligus meminta bantuan menyelesaikan masalah yang kiranya sulit untuk mereka pecahkan sendiri.

 

Kami telah memikirkan hal ini matang-matang sedari akhir semester tiga. Barulah pertengahan liburan semester tiga ini bisa terealisasi. Jadi nantinya setiap kali ada tugas dari klien, kami akan bergantian mencatat ceritanya, lalu mengunggahnya di blog ini ya teman-teman.

 

Sebelum lanjut dengan kisah kami, di tim kami ada empat mahasiswa. Pertama si ‘pemilik’ indekos Cokro Andi, kedua Pradito Haris Ahmad, ketiga Dona Mardianto. Terakhir, satu-satunya perempuan di tim kami yaitu Dwi Masha Putri Arman.    

 

Mungkin cukup prolog kami. Pokoknya stay tune, dan kami ucapkan "Selamat Datang! Selamat Membaca!"  :)           

                                                                                                                                       Blitar, 12 Juni 2019

 

 

***

 

 

#1 – Catcalling Tengah Malam

14-17 Juni 2019

-Ditulis oleh Dona Mardianto 

 

 

Panggil saja aku Dona, jangan salah aku laki-laki tulen. Waktu kecil dulu aku pernah bertanya pada orang tuaku kenapa namaku seperti nama anak perempuan. Menurut mereka, katanya, Dona secara numerologi memiliki arti analitis, pengetahuan, juga senang belajar. Yah, aku tidak pernah mempermaslahkannya, toh dari kecil aku tidak mendapat masalah dengan nama ini.

 

Baiklah, untuk cerita pertama kami, aku ditunjuk teman-teman untuk menuliskannya. saat itu hari Jum’at, 14 Juni 2019, sekitar pukul tiga lebih sepuluh sore. Aku masih di dapur mencuci seabrek piring kotor sisa makan kami semalam plus sarapan tadi pagi. Setelahnya aku bergegas mengambil cangkir di rak dapur kosan, kemudian berganti mengisi panci dengan air galon, lalu memasaknya untuk kugunakan menyeduh teh jahe. 

 

Maklum sore itu udara dingin merambati kulit karena siang harinya hujan turun dengan deras. Setelah tehku jadi, aku melangkahkan kaki menuju ruang tengah yang biasa kami pakai untuk berkumpul sembari menonton televisi kecil. Layarnya saja hanya seukuran laptop. 

 

Ruang tengah ini berada di depan dua kamar, di sisi kanan juga kirinya. Di tengah ada jalan menuju ruang tamu. Antara ruang tengah dengan ruang tamu hanya disekat kelambu. Begitupun dari ruang tengah ke dapur. Baru saja aku niat akan duduk sembari menikmati teh. Terdengar suara percakapan Cokro dengan seorang perempuan, kuletakkan teh di atas kabinet, lantas berjalan menuju ruang tamu. 

 

Ternayata benar, aku menyalami ramah perempuan yang sendirian itu sembari menyebut nama. Ia juga menebut namanya, Feby, Mbak Feby. Ia mengenakan jaket krem terbuka dengan kemeja seragam berwarna hijau dibaliknya, berpadu dengan celana kain warna cokelat. Rambutnya diikat gelung. Perawakannya tinggi dengan kulit bersih kuning langsat. Nampaknya Mbak Feby sudah bicara panjang lebar tadi, tapi aku memohon padanya untuk mengulang ceritanya secara singkat, supaya aku juga tau poin-poin masalahnya. 

 

Cokro awalnya menatapku ngece. Dibanding aku dan Haris, perawakan Cokro lebih kecil, tapi cukup tinggi. Kulitnya kuning langsat, lebih cerah dibanding dirku dan Haris yang sawo matang. Rambut pendeknya ikal, bertipikal wajah oval dengan mata cokelat tajam. Namun, setelahnya Cokro mendukung permintaanku agar Mbak Feby mengulang bagian pentingnya saja. Cokro mengatakan pada Mbak Feby agar kami bisa lebih cepat melakukan tindakan, jika dia dan aku sama-sama paham masalahnya.

 

“Yaudah, jadi gini, aku kan kerja di Sinar Makmum Garum kan, sementara rumahku di Gang 3, barat Kantor Pos Sananwetan. Nah ... untuk satu bulan ke depan, shiftku dipindah sore sampai tutup malam, jadi setiap hari aku selalu pulang tengah malam. Karena kebiasaan, aku selalu lewat Jl. C.R. Soekandar, jalan gang utara palang pintu kereta situ,” Mbak Feby menunjuk utara dengan jarinya, palang pintu kereta berada di utara kampus UIB, “menurutku sih deketan lewat situ. Sekitar sepuluh harian ini, ketika lewat, tepatnya sekitar lapangan yang ada sekolahnya, aku selalu mendapat catcalling entah dari siapa. Suaranya ... deket, tapi setiap aku tolah-toleh cari-cari asalnya, sambil nyetir gak ada siapapun di situ. Kalaupun ada orang lagi mabuk-mabukan, pastinya rame kan. Nah ini suaranya cuma satu orang.”

 

Aku merinding seketika. Entah mengapa aku meraskan udara seolah berhembus tidak biasa. Tiba-tiba sayup terdengar suara lonceng berbunyi dengan irama ketukan satu satu. Sementara Cokro dari tadi hanya mengangguk-ngangguk sembari sesekali mencatat, sebagian catatannya dicoret-coret, mungkin ada beberapa poin yang dikoreksi. Tanganku bergerak memegangi tengkuk. Suara lonceng masih menggema, tapi kedua orang ini tetap tak acuh. Suara ini ... Jangan-jangan ....

 

Jangan-jangan ... jangan-jangan ... 

Tak lama kemudian, nampak di seberang kaca depan, ternyata bapak-bapak penjual es drop lewat menuntun sepedanya sembari membunyikan lonceng khasnya. Huuh ... Kirain apa.

 

“Gak setiap hari, tapi lumayan sering, mungkin dari sepuluh hari terror catcalling itu, ada delapan kali kejadian, dan yah catcalling-nya juga gitu-gitu, umumnya catcalling. Lalu akhirnya kucoba lewat sama temen, nyoba lewat gak sendirian. Sengaja aku ajak temenku nginep dirumah, dan kejadian lagi, bahkan temenku ikut celingukan nyari-nyari asal suaranya.”

 

“Lah, ngopo gak lewat Herlingga lurus aja Mbak, lewat perempatan Kejaksaan?” Aku menyela penjelasan Mbak feby.

 

”Udah pernah disaranin gitu, tapi namanya kebiasaan, dah terlanjur nyaman lewat situ aku. Nah, kebetulan aku nemu brosur kalian ini di depan toko, jadi kucoba aja ke sini. Soalnya kalau mau lapor ke warga, tau sendiri lah, warga kita kan sering menganggap remeh hal seperti ini. Lapor ke polisi pun males, apalagi cuman ucapan, gak sampai diapa-apain pasti gak terlalu direspon. Amit-amit jangan sampai sih. Padahal catcalling kan termasuk pelecehan seksual secara verbal.”


“Pelecehan seksual?” Cokro menyela, bertanya pada Mbak Feby dengan sorot mata terkejut. 

 

Mbak Feby mengangguk. “Iya, makanya aku minta tolong ke kalian-kalian, kan kalian katanya pusat minta tolong, untuk membantu masyarakat.”

 

“Jelas ... baik Mbak kiranya cukup untuk keterangannya. Kami pasti akan segera meluncur mencari biang masalahnya. Silakan tanda tangan disini, untuk biaya setelah permasalahan beres, cukup seikhlasnya kok.”

 

Cokro menyodorkan selembar kertas pernyataan pada Mbak Feby, penjelasannya udah kaya sales-sales teflon anti lengket, licin dan sangat meyakinkan. Setelah Mbak Feby pamit pulang, Cokro langsung menyuruhku mengambil sepeda phoenik jadul berwarna biru di belakang dekat dapur. 

 

Meski jadul, tapi sepeda phoenik ini masih mulus terawat. Bodinya licin, warnanya masih tajam. Keranjang depan juga masih kuat, ditambah boncengan belakangnya sudah dilapisi jok spons. Sepeda ini milik Ibu Kos kami, beliau memperbolehkan kami memakainya jika perlu. Maklum ia sendiri sudah tak memakainya lama dan daripada rusak Ibu Kos justru senang jika sepeda ini tetap terpakai dan terawat. 

 

Begitu sampai di teras depan, Cokro langsung mengajak survei lokasi kejadian, yang memang dekat dengan kosan kami.

 

“Emm Don, emange catcalling jelase pye sih? Koyo tau krungu tapi kurang paham.” tanya Cokro sembari mengayuh sepeda melintasi rel. Sementara ia membonceng di depan, aku duduk di boncengan belakang dengan dua kaki terlipat menumpu pada rangka samping sepeda.

 

Jabang bayik, catcalling itu memanggil perempuan dengan suitan, terus kata rayuan. Mirip pujian tapi konteksnya lebih ke ... gimana ya. Nanti googling aja lah.”           

 

Oalah ngono kui ...,” timpalnya sambil mengangguk-ngangguk.

  


***

 


Selepas Maghrib. Dua teman kami yang lain, Haris serta Masha datang ke kosan. Aku dan Cokro bergantian mmenjelaskan kasus pertama yang akan kami tangani. Sembari menikmati kopi dari cangkir masing-masing, mereka berdua nampak antusias dengan masalah Mbak Feby. Selain menjelaskan permasalahan utamanya aku dan Cokro juga memaparkan hasil observasi sore tadi.       

  

“Catcalling ya, pernah sih, tapi ya enggak sering, akupun cuek-cuek aja,” suara Masha terdengar lembut. Masha paling pendek diantara kami. Postur badannya sedang saja untuk ukuran perempuan. Berkulit kuning langsat. Ia tergolong perempuan yang seringkali jutek serta sensitif terhadap hal tertentu. Meski begitu, Masha lebih sering ceria dan selalu mencairkan suasana di tim kami.

 

“Nah ini, kita gunain Masha aja sebagai umpan, dia kan cuek,” celetuk Cokro.

 

Matamu!”

 

Cokro langsung menunduk celingukan, sementara aku dan Haris tertawa mengejek. 

 

Haris menyeruput kopinya hingga terdengar suara cecapan. Ia lantas meletakkan ponsel yang digenggamannya disamping lepek. 

“Dari hasil browsing-browsing sih, menurutku catcalling emang gak menyenangkan. Korban pasti merasa dilecehkan secara verbal. Karena ucapan ataupun pujian-pujian pelaku berkonotasi ke arah negatif. Lebih ke merendahkan. Tapi ... pernah kepikiran gak sih, kalau catcalling rawan disubjektifkan? Maksudku gini, setiap cewek yang jadi korban pasti mempunyai pemikiran baragam, bisa saja ternyata kalau pelakunya cowok-cowok yang menurutnya “good looking malah demen lagi, pun sebaliknya. Dan juga bisa aja kalau ceweknya terlalu over.  Menatap atau sekedar menyapa saja dianggap catcalling. Tapi kita kembali lagi ke penyelidikan dulu aja, aku yakin Mbak Feby ini orangnya gak kayak gitu kok.”

 

Perawakanku sama Haris hampir mirip, dengan badan sedang berisi. Tinggi kami juga hanya terpaut satu sentimeter. Aku seratus tujuh puluh satu, dan Haris seratus tujuh puluh. Tipikal rambut kami juga sama-sama lurus. Hanya saja bedanya rambutku panjang menutup telinga, ia pendek, dan aku juga mempunyai bekas tindikan di telinga sebelah kanan, Haris tidak.

 

“Bisa juga sih Ris,” timpalku setelah mencecap kopi yang kutuang dalam lepek, “kayaknya emang perlu diselidiki lebih lanjut.”

 

Malam ini kami fokuskan pembicaraan seputar masalah Mbak Feby, berdiskusi panjang lebar mengenai beragam aksi pelecehan, mencari penyebab-penyebabnya, dasar psikologis, maupun kebiasaan. Mencari dasar hukum yang mungkin bisa dipakai jika memang pelaku catcalling dapat dijerat. Segera kami susun strategi untuk beberapa hari kedepan. 

 

Masalah Mbak Feby ini, kami targetkan maksimal lima hari sudah selesai, batas minimalnya secepat yang bisa kami lakukan. Hingga akhirnya kami sampai pada keputusan tengah malam nanti, kami sepakat meminta Masha untuk melintas di sekitar lapangan itu. Tentunya dengan pengawasan dari kami bertiga. 

 

Pukul 23.50 WIB kami nekat berangkat menuju lokasi. Malam itu cuaca pasca gerimis. Udara dingin menyelimuti. Masha kami briefing untuk tetap tenang jika ada hal yang tak diinginkan, kami akan menjamin keselamatannya, dengan aku dan Cokro di sisi timur lapangan, smentara Haris akan memutar mencegat sisi baratnya. Namun, ekspektasi kami runtuh. Tidak ada catcalling sama sekali. Mungkin waktunya kurang tepat. Kami lalu memutuskan untuk menghentikan penyelidikan malam ini, dan melanjutkannya besok.

 

Keesokan harinya, karena penyelidikan kami lakukan hanya saat malam hari, menyamakan waktu seperti saat Mbak Feby mendapat catcalling. Dari pagi sampai siang aku, Cokro, dan Masha hanya bersantai malas-malasan sembari menonton televisi. Setelah sarapan tadi Haris pulang karena ada sesuatu. Sementara Masha bilang sudah ijin menginap di kosan beberapa hari. 

 

Di tengah kegabutan, ternyata datang klien kedua setelah kami buka beberapa hari yang lalu. Klien kedua kami ternyata ibu-ibu tetangga gang di timur kampus UIB. Ibu Sarah namanya, Ia meminta bantuan untuk mencarikan kucing persia medium peliharaannya yang kabur dari rumah. Kemungkinan kucingnya berkeliaran di sawah belakang gang. 

 

Dua jam lamanya kami berjibaku menyusuri sawah sampai akhirnya kejar-kejaran mengepung kucing sampai tertangkap. Untuk kasus kedua ini, kami diberi imbalan uang plus beberapa jajanan, lumayanlah. 

 

Malam harinya, di waktu yang sama, kami melakukan hal yang sama seperti kemarin. Hari ini cuaca sedang bagus, tidak terlalu dingin apalagi turun hujan seperti kemarin. Namun, lagi-lagi hasilnya nihil. Tak ada tanda-tanda catcalling maupun catcaller­-nya. 

 

Keesokan paginya kami menghubungi apa Mbak Feby kemarin tetap mendapat catcalling, dan ternyata hal itu masih saja terjadi. Mbak Feby mengatakan kemarin Ia pulang sekitar pukul satu dini hari. Sementara penyelidikan kami pukul setengah dua belas malam. 

 

Maka malam harinya kami berusaha kembali kesana di waktu yang lebih larut. Dan lagi-lagi hasilnya nihil. Aneh sekali!

 

Hari Minggu, 16 Juni. Haris dan Masha akhirnya menemui Mbak Feby di rumahnya, guna menanyakan detail-detail yang perlu kita pahami kembali. 

 

Sekembalinya ke kosan mereka berdua menuturkan ternyata selama ini yang menjadi korbn catcalling hanya Mbak Feby saja. kata Mbak Feby beberapa temannya yang lewat di sekitar lapangan pada waktu yang sama tak pernah mendapati catcalling sekali pun. Meski ketika lewat beberapa pemuda sedang pesta miras di lapangan. 

 

Aneh, jika Mbak Feby yang melintas entah sendirian maupun bersama teman sesepi dan sehening apapun pasti ada catcalling, tapi mengapa setiap orang lain yang lewat tak sekalipun ada catcalling? Aku mengutarakan pendapat apa jangan-jangan yang kami hadapi ini teror yang hanya ditujukan pada seorang saja? atau sebuah peristiwa supranatural?

 

Malam hari nanti kami ingin menunggu Mbak Feby pulang kerja, dan lewat depan lapangan seperti biasa. Sejak selepas Isya’, sekitar jam delapan. Aku, Masha, dan Haris sudah bersiap di sekitar lapangan. Aku bersembunyi dengan rapi dan aman di semak sisi timur lapangan, tepatnya yang berbatasan lansgung dengaan tembok rumah warga, sementara Haris di semak seberang jalan depan lapangan, dan Masha semak sisi barat. 

 

Sementara Cokro akan menyamar menjadi perempuan nebeng Mbak Feby nantinya guna memudahkan penyergapan. Kami sesekali namun sering bertukar chat via whatsapp untuk komunikasi. Tak lupa masing-masing dari kami memakai earphone agar komunikasi lisan kami tak didengar orang yang lewat. Kami juga mennyiapkan senter untuk menyorot si pelaku teror nantinya. 

 

Lapangannya gelap gulita meski letaknya di pinggir jalan. Ini karena penerangan hanya mengandalkan lampu jalan seadanya. apalagi hari ini mendung menambah gelap suasana, kalaupun ada seseorang ditengah lapangan pasti tidak akan kelihatan. Bangunan sekolah belakangnya juga gelap karena lampunya tidak dinyalakan. Namun, selama berjaga kami tidak menemukan seorang pun terlihat datang menuju lapangan. Atau jangan-jangan ia tidak datang dari jalan depan. Melainkan lewat persawahan utara lapangan yang tak kalah gelap gulita.

 

Tiga jam lamanya kami menunggu dalam semak. Udara yang dingin dan lembab bercampur aroma rumput kadang terasa mengganggu. Sambil menahan kantuk, kakiku sesekali digigiti nyamuk dan semut hingga gatal-gatal. 

 

Pukul 23.06 pesan di grup dari Cokro mengatakan Mbak Feby akan pulang kerja pukul 23.30 WIB. Aku mulai kembali fokus melihat situasi. Sesaat dalam keheningan malam, udara dingin sesekali berhembus. 

 

NGIIING!

 

Terdengar suara melengking mirip toa, namun suaranya lebih halus. Aku memegangi tengkuk, lagi-lagi bulu kudukku merinding. Masha dan Haris mengabarkan hal yang sama lewat grup. Aku semakin merinding, kami berempat membuka panggilan video grup, dan Cokro mengatakan lima menit lagi akan melintas. Aku mencoba fokus dengan senter di genggaman tangan yang setengah gemetar.

 

Rasanya menunggu lima menit kali ini sangat lama, berkali-kali aku menengok jam di ponsel, aku merasa waktu berputar begitu lambat. Rasa dingin sepeti tadi kini tak terasa lagi yang ada justru keringatku bercucuran sak jagung-jagung, bercampur gupuh ndredek. Suara motor terdengar dari arah timur, aku bisa menebaknya itu adalah Mbak Feby dengan Cokro, karena dari setengah dua belas sampai tengah malam ini tak ada satupun motor yang lewat. Benar saja itu Mbak Feby dan Cokro. 

 

Jiah, taku terbelalak. Ternyata dandanan Cokro mirip sekali dengan ukhti-ukhti. Ia duduk di belakang, Mbak Feby memboncneg di depan. Pasti Masha ilfeel banget bajunya dipakai Cokro demi penyamaran. Motor yang mereka tumpangi dipelankan. Tiba-tiba kalau tak salah dengar dari arah tengah atau hampir pinggir lapangan terdengar siulan menggoda, dilanjutkan dengan suara khas laki-laki pada umunya, “Cantik, malam-malam mau ditemenin?”

 

Catcalling-nya hanya terdengar dua kali tadi saat Mbak Feby dan Cokro melintas melewati lapangan. Namun rencana kami adalah memancingnya dengan lewat hingga tiga kali. Saat lewat yang kedua Mbak Feby memacu motor cepat. Terdengra suara “Sst ssst.” 

 

Untuk yang ketiga Mbak Feby memacu motornya pelan sekali, ini merupakan kode bagiku, Masha dan Haris untuk bersiap menyorot lapangan bersamaan. Suaranya terdengar lagi, tapi kali ini berubah lebih lembut pun dengan kata-katanya, “Cah ayu kok kluyuran tengah wengi.” Hanya sekali. 

 

Mbak Feby langsung mengehentikan motornya dan kami berempat pun sigap berdiri mengarahkan senter ke tengah lapangan, dan ... tak ada siapapun atau apapun di sana, senter kami arahkan membabi buta. Menyorot setiap jengkal lapangan sampai bangunan sekolah di belakang. Tidak ada apa-apa ... sama sekali. 

 

 

*** 
 
 

Selasa, 18 Juni 2019

 

Sekitar pukul setengah sepuluh pagi, Mbak Feby datang ke kosan, berniat memberikan imbalan untuk kami selama empat hari ini. Mbak Feby sudah tak mau ambil pusing dengan catcalling  yang dialaminya. Kami sebenarnya menolak, karena merasa gagal membantunya, dan itu juga sudah resiko kami jika tidak bisa meberikan bantuan terbaik. Tapi Mbak Feby memaksa, Ia juga mengatakan akan cuti kerja untuk sementara waktu, dan untuk lebih amannya Mbak Feby meminta kakak laki-lakinya menjemputnya setiap pulang kerja, ia juga memilih untuk lewat utara, lewat perempatan Kejaksaan, menghindari gang Jl. C.R. Soekandar baik siang maupun malam hari.

 

Alhamdulillah tok janan iki ...,” Cokro menyeletuk sesaat setelah Mbak Feby keluar kosan lantas memacu motornya keluar gang. 

 

Iyo,” Aku dan Masha menimpali hampir bersamaan.

 

“Lumayan, seru-seru kok, hahaha ....” Tawa Haris meular, kami hanya saling pandang sembari tertawa bersama.

 

No comments:

Pages