Obor Kematian - FLP Blitar

Obor Kematian

Bagikan

Oleh: Saif Ahmad

Nyala obor itu semakin dekat. Berarak bagai pasukan semut yang dikejar kuda-kuda Nabi Sulaiman. Membuat tubuhku mendadak lemas dan gemetar. Peti ini begitu kuat. Aku tak berdaya didalamnya. Sebentar lagi aku akan mati. Diluar, orang-orang mulai berkumpul membawa obor. Mereka terlihat garang namun puas.

“Aku belum mati. Aku belum mati!” teriakku. Suaraku tertahan. Tenggorokanku tercekat.

Obor terus menyala nanar. Rasa panas mulai menjalari tubuhku.

“Aku bukan dukun santet.” Teriakku. Dadaku sesak. Aku memang seorang dukun, tapi aku tidak menggunakann ilmuku untuk menyantet orang.

Puluhan jam yang lalu orang-orang menangkapku. Aku tak berdaya ketika warga mengeroyok, memukuli dan membuatku lumpuh. Aku dimasukkan ke dalam peti seperti manusia sampah yang memang pantas dibakar hidup-hidup. Mereka tertawa terbahak, setelah berhasil menyingkirkan para dukun santet yang keberadaanya mengancap kampung. Mereka di bunuh dengan brutal. Naasnya aku satu diantara mereka yang salah tangkap. Dan sebentar lagi aku akan menemui ajalku.

Penduduk sepakat untuk membakarku. Karena mereka yakin para dukun santet tidak bisa mati, kecuali dibakar hidup-hidup. Diluar peti, dari arah kejauhan kudengar puluhan derap kaki melangkah mendekat. Salah satu dari mereka berteriak marah.

“Tunggu! Tolong jangan bakar suamiku. Ia tidak bersalah.” Kata perempuan tua itu memalas.

“Suami saya hanya mengobati, namun sembuh tidaknya hanya tuhan yang berhak menentukan, tidakkah kalian menyadari itu?” Perempuan tua itu murka. Dadanya berdebar, napasnya tersengal. Orang-orang menatapnya garang. Tak sedikitpun yang bersimpati.

“Kau jangan ikut campur, hai perempuan tua. Aku melihat dengan kepalaku sendiri saat suamimu mengirim santet pada anakku. Malam itu sebelum anakku sekarat, ada benda jatuh diatap rumahku, kemudian anakku kejang dan nyawanya melayang. Semua orang tahu bahwa benda atau pulung yang jatuh berasal dari rumahmu.” Teriak seorang laki-laki tua yang diiringi koor orang-orang disekitarnya.

“Bukankah suamimu bekas murid Aki Sanusi, dukun santet yang terkenal itu. Bahkan dia sudah tamat karena ulahnya sendiri? pasti sifat jahatnya menular pada muridnya.” Teriak salah satu warga.

“Betuul!” koor semua warga.

“Bakar! Bakar saja laki-laki itu! Sebelum wabah itu menular. Ini merupakan kutukan dari Sang Yang Widhi!” teriak seorang pemuda.

Perempuan tua itu tak berkutik. Ia tak bisa berbuat apa-apa lagi, namun ia tak mau meninggalkan suaminya. Ia menghadang setiap langkah yang mendekat. Perempuan tua itu bagai induk ayam yang melindungi anaknya dari musang.

“Jangan!  Jangan bakar suami saya. Dia satu-satunya punggung keluarga kami. Kami mohon jangan bakar suami saya.” Kata perempuan tua itu memelas. Ia terus menghalangi setiap orang yang mendekati peti.

Matanya berkilat-kilat oleh cahaya obor. Sementara aku yang berada didalam peti terus beristigfar dalam kepasrahan.

Mendung bergelayut diatas kota Banyuwangi. Aku terus berdoa agar tuhan menumpahkan airnya dan melahap api-api nakal itu. Dari dalam peti kurasakan api mulai mendekat. Warga melempar obornya ke peti yang ditaburi tumbukan kayu dan minyak tanah. Sementara istriku yang mengamuk, diamankan oleh warga. Beberapa orang memegangi pundaknya dan mencengkeram kuat bahunya. Ia menangis pilu menyaksikan suaminya dibakar hidup-hidup.

Banyuwangi memang terkenal dengan dukun santet. Aku adalah diantara dukun santet yang salah tangkap. Sebenarnya beberapa minggu ini, aku sudah tidak melakukan operasi dukun santet sejak memeluk agama baruku. Namun, apalah daya, ternyata takdir berkata lain.

Obor-obor kematian semakin dekat. Perempuan tua itu terduduk dalam tangisnya. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Aku terus menceracau merapal doa-doa.

Hasbunallah wani’mal wakiil. Hasbunallah wani’mal wakiil. Begitu berulang-ulang aku bisikkan. Aku merasa damai dan ikhlas. Api terus menjalar dan membakar petiku.
Aku sama sekali tak merasakan rasa panas. Tubuhku terasa sejuk.

Dengan tersenyum aku menyambut obor kematian yang semakin dekat. Hasbunallah wani’mal wakiil, begitu bisikku hingga api melahap tubuhku.

(Ngawi, 25 Desember 2017)

No comments:

Pages