Hasratku Mati Suri* - FLP Blitar

Oleh: Faridha Fajriyah

Sudah banyak karya dicipta dalam rangka Writing Challenge yang termuat di blog FLP Blitar. Aku? Aku masih begini-begini saja, sambil nyinyir saat membaca karya kawan-kawan yang luarbiasa menginspirasi.

Adalah bagaimana kisah kita mengenal FLP hingga bergabung dengan FLP, rumah bagi penulis seperti kita. Setiap dari kita memiliki jejak kisah sendiri-sendiri. Pun aku, yang sejak dulu memutuskan untuk menjadikan FLP menjadi sangat berarti.

Maka, malam ini aku pasang dengan pelan sebuah lagu bernotasi mesra untuk mengundang semua memori. Anggap saja itu sebuah ritual yang pasti kita semua miliki saat menulis. -Teruntuk kunang-kunang tengah malam, aku berharap kehadiranmu membawa ilham dari Tuhan. Hilangnya sajak yang lalu tak menyurutkan cintaku padamu, ribuan kunang-kunang yang suatu ketika akan ku abadikan. Apa? Gadis di tengah telaga itu katamu? Iya. Aku tidak melupakannya. Aku juga pasti menulis tentangnya.-

***
       Blitar adalah salah satu kota bersejarah. Banyak bangunan tua dan museum yang dapat dikunjungi wisatawan lokal maupun asing. Aku pun salah seorang gadis yang lahir di Blitar kota Patria.

       Tepatnya, 6 tahun yang lalu di bulan Agustus, telah diselenggarakan seminar kepenulisan Forum Lingkar Pena di salah satu sudut Blitar kota Patria. Aku tidak serta-merta tahu adanya Forum Lingkar Pena. Seperti yang dialami oleh beberapa kawan yang lain, aku pun memiliki tingkat percaya diri yang rendah untuk berani tampil bersama karya milik sendiri. Aku bersyukur Tuhan memperkenalkan aku dengan seorang guru yang luar biasa mengerti passion-ku terhadap menulis. Dia adalah Ibu Dra. Koesmiati, guru Bahasa Indonesia yang mengumumkan bahwa tulisanku layak dibaca. Rupanya aku mendapat nilai yang baik saat lomba menulis cerpen dalam rangka HUT SMPN 5 Blitar dengan tema Pendidikan dan Moral. Aku tidak tahu sebab-sebab tulisanku layak dibaca, aku hanya senang saat mendengar kabar baik itu.

       Melalui beliau pula, yang suatu ketika memberiku informasi tentang seminar kepenulisan dari FLP dengan tema Writing Tresno Jalaran Soko Kulino. Kalau tidak salah begitulah jargon FLP, dulu. Ketika itu, kami berencana datang berdua. Namun sayang sekali, karena keperluan keluarga beliau tidak bisa hadir dalam acara tersebut. Lalu bagaimana aku datang ke sana? Aku bukanlah remaja yang suka kota-kota sehingga aku tidak tahu lokasi acara tersebut diselenggarakan.

       Aku bimbang saat itu, antara tetap ikut atau tidak. Terlintas dalam ingatan, bagaimana aku mendapatkan tiket masuk agar bisa mengikuti acara tersebut. Aku harus mencari dahulu orang yang menjual tiket acara, Bang Yopi namanya. Untuk aku yang baru saja lulus sekolah menengah pertama dan jarang sekali menyambangi wilayah Blitar bagian pusat kota, menemukan alamat rumah Bang Yopi memerlukan perjuangan. Aku harus berkali-kali nyasar, berputar-putar di kompleks yang sama hanya untuk menemukan letak Jl. Pandan no. 01, kalau tidak salah itu alamatnya. Hari menjelang sore, aku gelisah bagaimana kalau rumah beliau tidak kunjung ketemu sementara bahan bakar motorku mulai menipis. Aku hanya membawa uang untuk membeli tiket masuk, tidak punya yang lain. Tapi Tuhan selalu baik hati, akhirnya kediaman Bang Yopi kutemukan. Kediaman yang asri dengan halaman luas dan beberapa pohon mangga di depan rumahnya, -seingatku-.

      Aku beruntung sekali bisa sampai di kediaman beliau pada saat beliau hendak pergi ke sebuah acara. Dan beliau tidak jadi pergi karena aku datang membeli tiket masuk seminar FLP. Tidak membutuhkan waktu lama berada di rumah Bang Yopi, aku bersyukur sudah memegang sebuah tiket masuk. Tetapi, berita bahwa Ibu Koesmiati tidak bisa menemaniku mengikuti acara membuatku sedikit kecewa. Sudah kubilang aku termasuk seorang gadis dengan tingkat percaya diri yang rendah. Aku hampir membatalkan mengikuti acara tersebut. Namun, Ibu Koesmiati membesarkan hatiku bahwa,"Kamu harus berani walau pun sendiri". Begitu katanya.

      Akhirnya, aku meminta tolong kakakku untuk mengantar dan membantu mencari alamat diselenggarakan acara tersebut. Memakan waktu yang lama saat mencari alamat tersebut, dan kusingkat saja ceritanya, aku pun berhasil menemukan lokasi acara dengan bantuan sang kakak. "Akhirnya..." batinku penuh rasa syukur.

       Hingga pada saat acara dimulai, peserta semakin merapatkan posisi duduk, aku mencoba tenang mengikuti acara tersebut. Sama sekali tidak ada yang aku kenal. Yang aku tahu dari salah satu panitia acara adalah Bang Yopi, seorang kurus tinggi yang menjual tiket acara. Aku tidak tahu yang mana mbak Gesang Sari Mawarni, yang mana kak Shinta Yudisia, dan lain sebagainya. Sampai akhirnya, mereka memperkenalkan diri di depan para audience dan kami pun mengetahui nama setiap dari mereka.

       Di sana, kita membahas beberapa materi, sayangnya aku lupa apa detail pembahasannya. Yang aku ingat, bahwa membuat tulisan harus dikembangkan Dengan cara menulis juga. Sama seperti jargonnya, Writing Tresno Jalaran Soko Kulino. Kita memanglah harus rajin menulis agar tumbuh rasa cinta dalam diri dan hati kita terhadap menulis, sehingga melahirkan tulisan. Audience juga mendapatkan motivasi dari beberapa penulis terkenal termasuk mbak Gesang Sari Mawarni.

        Setelah acara demi acara dilalui, pada akhir acara pihak panitia menawarkan pendaftaran anggota baru FLP cabang Blitar. Tentu saja aku mendaftarkan diri. Banyak sekali yang mendaftar saat itu. Dan beberapa hari setelah acara tersebut selesai, kami mendapatkan pesan singkat dari mbak Sari untuk menghadiri pertemuan pertama FLP di Taman Baca yang terletak di wilayah Kebon Rojo. Pas sekali, semasa SMP aku paling gemar mampir dan membaca buku di sana. Lokasinya terbilang dekat dengan sekolahku, dan setiap hari Jumat aku berkunjung ke sana.

***

       Lebih dari sepuluh remaja sebayaku menghadiri pertemuan tersebut. Kami melakukan tanya jawab perihal karya tulisan yang paling sering diminati oleh kawan-kawan anggota. Cerpen, puisi, novel, dan lain sebagainya. Sedangkan untuk pertemuan FLP selanjutnya, kami dibagi menurut kategori usia yakni anak-anak, remaja, dan dewasa. Kami melakukan pertemuan rutin di Perpustakaan Bung Karno. Selama pertemuan atau rutinan, kami dibimbing oleh mbak Sari dan Bang Yopi. Banyak sekali peserta saat itu. Mereka hadir dengan intelejensi menulis yang luar biasa. Ada yang bagus dan enak dibaca, ada yang imajinatif sehingga tersihir oleh tulisannya, ada tulisan yang segar dan polos sesuai kategorinya yaitu anak-anak.

       Dengan masing-masing kehebatan dari mereka, rasa percaya diriku luntur juga. Aku tidak bisa hadir dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya karena takut tidak bisa membuat tulisan sebagus mereka. Itu memang sebuah keputusan yang tergesa-gesa, tetapi aku memang bukanlah seorang pemberani saat itu. Aku belum menyadari bahwa menulis perlu dipelajari, tidak seketika langsung jadi. Yang lain pasti melakukan pembelajaran menulis berkali-kali hingga mendapatkan hasil yang apik. Tapi hal itu tidak bisa aku sadari ketika ego ternyata lebih menguasai. Akhirnya aku kalah saat itu. Menghindar adalah jalan satu-satunya dan memupus cinta terhadap menulis adalah langkah terjun bebas lalu mati. Aku sadar sekali. Aku jauh dari FLP selama bertahun-tahun, dengan tidak menulis apa pun dan akhirnya yang kudapat hanya sepi.

***
      Di penghujung 2015 saat aku patah hati, menceritakan lukaku kepada orang lain bukanlah cara yang tepat untuk mendapat kelegaan atas emosi. Karena peristiwa patah hati itu, aku kembali menuliskan dengan pelan dan menuangkan segala perasaan, sumpah serapah dan seluruh luka. Tidak cukup menulis, aku juga mengadukannya kepada Tuhan. Aku yakin, Dia juga pasti menyalahkan aku atas patah hatiku. "Salah sendiri, siapa suruh dengan mudah memberikan hati?" Mungkin begitu gerutu Tuhan terhadapku yang sempat labil pada masanya. But, actually I really realize that Allah loves me and guide me all the way.

***

       Di pertengahan 2016, saat aku membersihkan beberapa kardus yang berisi buku-buku jaman aku masih cupu, tanpa sengaja aku menemukan sertifikat saat aku mengikut kegiatan FLP tahun 2008. Aku menemukan beberapa lembar kertas yang lain dan tercantum nomor HP Mbak Gesang Sari Mawarni, pembimbing menulis saat rutinan dulu. Iseng saja aku mencoba menghubungi nomor tersebut dengan mengirim pesan singkat. Aku memang tidak punya pulsa saat itu. Beberapa saat kemudian, nomor mbak Sari masuk dalam daftar panggilan, segera aku angkat dan untuk pertama kali setelah sekian lamanya, suara ramah tamahnya menguasai gendang telinga. Kembali aku bersyukur masih diberikan kesempatan menjalin silaturahmi dengannya. Walau pada akhirnya, aku sedikit kecewa saat mengetahui bahwa mbak Sari sudah pindah ke Jakarta. Tapi bukan masalah, aku sangat bersyukur bisa kembali berbincang dengannya.

       Saat itu juga, beliau menawariku untuk mengikuti grup komunikasi dalam sebuah aplikasi agar aku bisa mengikuti kegiatan FLP lagi. Aku senang sekali beliau sudah berbaik hati. Memang setelah aku tidak mengikuti kegiatan FLP, ada rindu untuk menulis lagi. Dan ini adalah kesempatan keduaku. Namun ternyata, tidak semudah itu mengikuti alur mereka yang sudah menginjak titik berhasil dalam membuat karya. Sepenuhnya aku menyadari, aku sudah tertinggal jauh secara teori dan praktik ketimbang mereka. Aku harus pelan-pelan belajar kembali menyusun setiap puzzle sajak yang sempat berantakan. Sementara waktu, aku diam saja di dalam grup Whatsapp sambil mencuri banyak ilmu yang disebarkan oleh mereka.

***

       Kesempatan terbaik yang lainnya adalah, pada penghujung tahun 2016 telah diselenggarakan launching buku Jejak-Jejak Kota Kecil buah karya para anggota FLP Blitar. Mereka hebat, bukan? Buku itu dibuat dengan segenap usaha dan juang, dengan peluh keringat mereka, mungkin juga lupa makan lupa minum, dan galau gelisah menunggu kapan terbitnya buku tersebut. Dan akhirnya, mereka melahirkan anak kandung juga. Anak kandung yang begitu berarti bagi mereka. Dan aku, masih menjadi penikmat yang berharap karyanya bisa dinikmati sambil minum secangkir kopi, suatu saat nanti.

      Akhirnya aku dan FLP selayak cinta lama bersemi kembali, entah mana yang menyapa, yang jelas kini aku dan FLP kembali berjumpa. Dengan adanya banyak kesempatan tersebut, aku tidak akan lagi melakukan kesalahan yang sama. Aku buang rasa takut karna jarak antara takut dan berani amat tipis sekali. Sementara keberanian akan tercipta ketika kita mau mengambil langkah awal yang baru, dan mau menembus dinding tipis yang sering kusebut rasa takut. Bisa atau tidak dalam menyusun tulisan, bagus atau tidak tulisanku nanti, aku harus menyelesaikannya. Baju tidak akan nyaman dipakai bila menjahitnya setengah saja. Tulisan tidak akan bisa dinikmati bila tidak selesai membuatnya. Maka sampai kapan aku tidak ingin menyelesaikannya?

         Menulis. Setiap dari kita selalu memberikan yang terbaik saat menulis. Mereka bilang, menulislah, menulislah, dan menulislah. Maka aku menulis. Benar kata teman sekamar asrama saat aku menyelesaikan studi di kota sebelah, tulisan yang kita buat ibarat anak kandung. Bagaimanapun hasilnya tetap saja berarti bagi sang empunya.[]

***

Blitar, 27 Pebruari 2017

*Tulisan dipersembahkan untuk Forum Lingkar Pena, rumah ternyamanku. Tak lupa untuk Ibu Dra. Koesmiati selaku guru Bahasa Indonesia saat aku SMP. Terimakasih untuk segalanya.

**Bu, suatu ketika jika Allah menghendaki (semoga), aku berharap Ibu Koes membaca tulisanku ini. Hanya ingin engkau tahu, aku tidak melupakanmu dan selalu terngiang wajah teduhmu. Akulah yang bersalah, tidak pernah menjengukmu. Aku sering bertanya kemana perginya sang waktu, mengapa sulit sekali menemuimu? Semoga engkau tetap berada di rumah. Suatu saat aku akan datang membawa buah karyaku, untukmu, sebagai bentuk rasa terima kasihku.

No comments:

Pages