Manusia Minus Rasa - FLP Blitar

Manusia Minus Rasa

Bagikan

Saya dengar Pak Jokowi suka musik metal. Aneh kedengerannya. Bagaimana mungkin sosok yang perawakannya kalem seperti itu, menyukai musik yang temponya cepat dan cenderung keras. Itu berarti, dibalik sifatnya yang kalem, ada jiwa yang gesit, rebel, dan apalah itu. Ndak apa-apa. Justru bagus. Itu berarti Pak Jokowi punya cita rasa seni yang unik, yang keterbalikan dengan pembawaannya.

Hal ini sebenarnya agak keterbalikan dengan Pak SBY. Sang Tentara yang tinggi besar tegap berwibawa, namun ternyata menyukai musik-musik oldist. Musik perjuangan dan musik romantis. Apa jangan-jangan jiwa seni Pak Jokowi dan Pak SBY tertukar? Ya ndak. Itulah seni, tak terpaku pada karakter umum, yang biasa terlihat di hadapan publik.

Pak Habibie, yang serba canggih, modern, dan lama tinggal di Jerman itu, justru menyukai musik keroncong. Aneh kan? kenapa? Bukankah “Peradaban” Musik Eropa begitu maju pesat jika dibandingkan Indonesia. Tapi kenapa Pak Habibie masih tetap saja suka keroncong yang di negara sendiri kurang diurus dan diminati? Ya entahlah. Tapi sekali lagi, jiwa seni seseorang memang sangat mengejutkan.

Kalau Gus Dur, sukanya Sholawatan. Kalau ini ndak terlalu surprize, karena memang Gus Dur kan orang pesantren. Mungkin kalau misalkan, Gus Dur suka Michael Jackson, itu baru surprise. Kalau Bu Mega, sukanya lagu My Way Frank Sinatra. Jadi intinya, semua orang, termasuk Presiden yang super sibuk sekalipuan, punya selera musik, dan selera itu dipengaruhi oleh rasa.

Apalagi orang-orang biasa? Tentu setiap kita suka terhadap seni. Entah itu seni musik, lukis, tari, sastra, hingga yang paling mutakhir misalkan, seni instalasi, seni ruang, seni verbal, seni-seni yang lain yang saya juga ndak tahu namanya.

Seni itu penting sodara-sodara, karena seni itu bisa mencairkan sesuatu yang kaku, seni pula bisa mempengaruhi mental dan persepsi seseorang. Seni itu mengajak orang memaknai hidupnya, mendefiniskan sisi-sisi lain dalam dirinya yang mungkin tak terdefinisi oleh kaidah-kaidah formal. Seperti misalkan, Pak Jokowi yang kalem itu, ternyata suka musik metal. Siapa tahu, jiwa metalnya itulah yang membuatnya berani berhadapan dengan keruhnya birokrasi dan kerasnya politik.

Atau misalkan, Pak SBY yang terbiasa hidup dalam lingkungan Militer yang serba instruktif dan keras, ternyata punya sisi-sisi melankolik karena suka mendengarkan lagu-lagu oldist nan romantic. Hebat kan? Siapa tahu, musik romantic itulah yang turut serta membuat hati Pak SBY lembut ketika dihadapkan pada sesuatu yang keras dan sebagai orang militer, dia tidak melakukan hal yang keras itu.

Bisa saja, ketika ada demonstrasi besar-besaran yang merongrong kekuasaannya dulu, Pak SBY tidak menyelesaikannya dengan cara-cara militer seperti mengerahkan pasukan untuk menghentikan aksi tersebut. Tapi Pak SBY menanggapinya dengan kelembutan.

Sayangnya, seni di sekolah-sekolah masih dianggap sebagai aktivitas tambahan. Di masukkannya pun hanya dalam ekskul. Di kelas, meskipun ada pelajaran Kertakes (atau sejenisnya) tapi orientasinya bukan untuk seni itu sendiri, melainkan hanya sekedar nilai-nilai di raport. Padahal, seni itu tidak terkait dengan salah benar, bagus-tidak, atau indah-tak indah. Seni itu adalah ungkapan yang paling personal.

Misalkan anda disuruh menilai lukisan abstrak yang kayak ceker ayam itu, dengan lukisan figuratif yang polanya terstruktur rapi. Lebih bagus mana? yang jelas, anda tidak bisa menyebut lukisan abstrak itu jelek. Meskipun anda tak paham, atau bahkan tak bisa menikmati dan melihat sisi indahnya.

Kalau seni hanya diukur bagus-tak bagus, indah-tak indah. Maka itu sama saja “mengebiri” ekspresi seseorang. Jahat. Jahat betul orang yang seperti itu.

Maka tak heran kalau kita mendapati lulusan sekolah yang minus rasa. Artinya, dia sangat formal, terpola, dan strukturalis. Hidupnya berjalan dalam ritme yang sudah ditentukan, selera humornya rendah, kaku, dan kalau diajak bicara isinya hanya hal-hal praktis. Kalau ndak hitam ya putih. Kalau ndak salah ya benar. Bla bla bla.. ngomong sama orang model begini, seperti ngomong sama robot yang disetting sedemikian detailnya melalui komputer super canggih abad 21.

Ya bagus sih. Disiplin dan terukur. Tapi kan kita manusia, bukan robot. Hidup ini terlalu singkat untuk dijalani secara serius. Ya, meskipun orang tipe ini punya banyak rumah, mobil, harta dari hulu ke hilir, tapi kalau ndak punya rasa, kadang kasihan juga. Untuk apa sih semua itu?

Catatan sekedar lewat
6 November 2015
A Fahrizal Aziz

No comments:

Pages