Ilustrasi |
Sekitar pukul 11.45 saya duduk di cafe dekat Bandara Husein
sastranegara, Bandung. Perjalanan dari Juanda ke Bandung ternyata hanya
ditempuh 70 menit. Tidak terasa lelah sedikitpun, justru rasa lelah lebih
terasa ketika perjalanan dari Malang ke Surabaya yang ditepuh sekitar 150 menit
dengan mobil. Siang itu, saya memesan spagheti bolognise seharga Rp28.500/porsi
sebagai makan siang, ditambah segelas teh panas setengah manis seharga Rp6.000.
hmm... mungkin itu adalah makan siang termahal saya.
Menunggu sekitar 15 menit, akhirnya spagheti itu datang,
saya penasaran bagaimana rasanya. Dengar-dengar, spagheti adalah makanan
populer di Eropa, terutama di Italia. Namanya saja spagheti bolognise. Konon
ini adalah makanan khas kota Bologna, Italia. Kebetulan, jika menyantap
makanan-makanan eropa, kesannya modern sekali. Saya mulai mencicipi, bentuknya
seperti Mie yang agak tebal, ada saus merah yang kental, ditambah parutan keju,
mayones, timun dan daun lobak. Rasanya agak manis-manis asem begitu. Apakah ini
selera masakan eropa? Sebagai orang jawa, saya merasa “mengkirik”. Mengkirik
itu sejenis ekspresi ketika menyantap makanan yang rasanya berlebihan, kadang
terlalu asin, terlalu manis, terlalu asam atau bisa juga terlalu banyak
campuran.
Saya menggerundal, makanan semacam ini harganya Rp28.500?
jika di warung soto lamongan sumbersari gang 1 kota Malang, uang segitu bisa membeli
4 porsi dan itu kenyang plus nikmat. Entahlah, apa karena lidah saya tidak
cocok dengan lidah orang eropa, atau karena saya yang terlalu ndeso.
Menyantap sepagheti itu membuat perut saya “muneg-muneg”. Padahal sekali-kali
ingin rasanya menjadi modern dengan menyantap masakan-masakan eropa. Untung
saja makan siang itu dibayarin. Hehe
Saya memang pecinta Mie, terutama Mie ramen. Harga Mie ramen
satu porsinya Rp25.000, tapi menurut saya rasanya enak sekali. Setelah saya
check, Mie ramen adalah makanan khas Jepang. Yang biasa, misalkan Mie Pangsit,
Mie Ayam, Mi goreng dan lain sebagainya. Saya sudah cicipi semua, sampai Mie
jawa hijau. Untuk spagheti ini, memang paling mahal.
Sore harinya, saya berjalan-jalan ke paris van java, salah
satu pusat perbelanjaan di kota Bandung. Tempatnya begitu luas, perpaduan
antara gaya klasik dengan modern. Klasik karena di beberapa sudut, masih ada
nuansa pasar tradisional. Namun disisi lain, harga yang ditawarkan begitu
melangit, terutama cafe-cafe di kiri-kanannya pintu masuk. Kesan modern,
western dan glamor. Untuk satu cangkir cappucino saja, kadang kita harus
merogoh kocek dalam-dalam.
Begitu pula dengan harga makanannya, baju-bajunya dan
asesoris-asesoris. Oh Mahalnya. Ada yang terjangkau, tapi hanya di beberapa titik
saja. Saya dan tiga orang teman sempat ‘kesusahan’ mencari tempat nongkrong.
Bukan karena tidak adanya tempat, tapi karena menyesuaikan kantong.
Di tempat itu pula saya benar-benar mengamati secara
langsung brand Bandung sebagai kota fashion. Rata-rata, anak-anak mudanya
sangat fashionable. Karena trend busana di tanah air memang bermula dari
Bandung, baru kemudian menyebar ke kota-kota lain. Makanya, banyak sekali toko
baju yang menggunakan brand Bandung: Bandung sport, bandung mode, bandung
fashion, dan lain-lain. Tak salah juga jika Bandung mendapatkan julukan Paris
van Java (Parisnya pulau Jawa). Paris adalah salah satu kota paling fashionable
di Dunia.
Karena tak menemukan tempat nongkrong yang pas. Akhirnya
saya dan tiga teman lainnya memutuskan untuk kembali ke Hotel. Jam sudah
menunjukkan pukul 18.02, sementara kami belum shalat magrib, agak lama kami
menunggu angkot yang lewat, apalagi kami juga tidak tahu, apakah ada angkot
yang lewat Hotel Aston di Cihampelas, tempat kami menginap. Akhirnya kami
memilih naik taksi.
Setelah shalat magrib di hotel, kami pun berjalan-jalan
sekitar hotel, sekaligus mencari menu makan malam. Menurut info, di sekitar
hotel Aston ada tempat hiburan bernama Ciwalk (Cihampelas Walk), tapi tentu
kami harus merogoh kocek dalam-dalam jika hendak makan malam disana. Akhirnya,
pilihan jatuh ke warung bebek goreng depan hotel. Sebuah warung sederhana,
bukan cafe, bukan resto, bukan pula rumah makan mewah. Lebih tepatnya warung
lalapan bebek goreng.
Harganya memang lebih terjangkau, dan nuansanya lebih
sederhana, tapi tak kalah nikmatnya. Satu porsi bebek goreng plus segelas susu
putih di sebuah warung sederhana, ditengah hujan malam itu, di kota Bandung
yang dingin, Alhamdulilah. Serasa mejadi orang jawa lagi. Hehe...
Jujur saja, meskipun makan di resto yang mahal dengan
berbagai menu yang asing ditelinga itu terdengar wah dan modern. Tapi bagi
orang desa seperti saya, tempat-tempat sederhana seperti ini masih cukup
nyaman. Jika tidak karena kegiatan kampus, saya mungkin saja tidak akan
menginap d hotel mewah, makan di cafe mahal atau jalan-jalan dengan taksi yang
argo minimalnya Rp25.000 itu.
Ini untuk kelima kalinya saya menginap di Hotel. Semuanya
Gratis, alias di danai instansi. Pertama, ketika kegiatan Workshop LVE
(Living Value Education) Kementrian Agama RI bekerjasama dengan Pusam (Pusat
Studi Islam dan Multikulturalisme) UMM sekitar Bulan Mei 2012 di Hotel UMM Inn.
Kedua, dalam acara pelatihan deradikalisasi agama di purnama hotel
kerjasama antara BNPT (Badan Nasional Penanggulangan terorisme) dan Pesma Al
Hikam Malang. Ketiga, dalam acara workshop kewirausahaan Kementrian
Agama RI bekerjasama dengan Kemahasiswaan UIN Malang sekitar Desember 2012 di
Toety Villa and Resto Batu. Keempat, ketika workshop Jurnalisme keberagaman
yang di gelar Serikat Jurnalistik untuk keberagaman (Sejuk) bekerjasama dengan
Kedubes Canada dan FNS (Friedrich-Naumann-Stiftung) Jerman.
Akhirnya, selepas makan malam itu, banyak yang menyarankan
untuk menghabiskan waktu jalan-jalan. Tapi saya memilih kembali ke hotel,
menikmati istirahat karena perjalanan yang melelahkan dari Malang ke Bandung,
mengitari paris van java dan lari-larian di tengah hujan. Setibanya di kamar
nomor 2083, saya menyalakan laptop dan menikmati fasilitas wi-fi. Alhamdulilah,
jaringannya lancar sekali. Selama meninap di hotel tersebut saya berhasil
mendownload 63 Video, 5 diantaranya berdurasi antara 1 hingga 2 jam. Tak salah
memilih hotel semewah ini.
Sekitar pukul 21.00, mata saya sudah berat sekali. Saya
rebahkan tubuh diatas ranjang, AC dimatikan, karena tidak terbiasa menyalakan
AC, takut masuk angin. Detik-detik menjelang mata terpejam, saya mengingat lagi
satu porsi spagheti dan bebek goreng itu. dan rasa-rasanya, saya memang bangga
menjadi orang desa, dengan menu masakan yang sederhana, murah, namun sama-sama
nikmatnya. Semoga esok harinya saya bisa menikmati Batagor atau soto Bandung
itu. Selamat tidur.
Bandung, 6 April 2014
A Fahrizal Aziz
No comments:
Post a Comment