Hibiki "Kiat Menjadi Novelis" - Sebuah Kesan dan Ulasan - FLP Blitar

Hibiki "Kiat Menjadi Novelis" - Sebuah Kesan dan Ulasan

Bagikan

Oleh: Abi Subekti



Entah kapan tepatnya aku sendiri lupa, yang pasti pertama kali aku melihat potongan klip film Hibiki adalah di kolom eksplor Instagram.


Potongan klip film tersebut menampilkan adegan ketika seorang siswi SMA, menjatuhkan diri dari lantai tiga, gedung sekolah hanya demi membuktikan bahwa ia memegang kata-katanya untuk memenuhi permintaan seseorang yang ia mintai maaf.


Aku sempat terkejut dengan kuatnya penokohan si Hibiki ini. 


Dengan prinsip hidup sesuai kehendak sendiri, asalkan tidak merugikan orang lain—setelah menamatkan serial komiknya yang berakhir di volume ke-13, menurutku justru ia yang banyak merugikan orang lain dengan sifatnya itu.





Hibiki tidak segan untuk menghajar orang yang "mengganggunya" maupun orang terdekatnya. 


Di mana pun tempatnya, di hadapan siapapun, kapanpun waktunya. 


Pun ketika ia melakukan kesalahan dan harus minta maaf, Hibiki tak segan untuk melakukan apapun.


Film Hibiki sendiri ternyata merupakan adaptasi live action (peran hidup?) dari serial komik berjudul sama, Hibiki: Shōsetsuka ni Naru Hōhō. Dalam komik terjemahan bahasa Indonesia, judulnya menjadi Hibiki - Kiat Menjadi Novelis.


Sebuah judul provokatif bagi penggemar novel serta orang-orang yang suka menulis.


Apalagi latar belakang ceritanya tentang penulis dan dunia sastra itu sendiri.





Sepanjang cerita, ada satu hal yang sedikit mengecewakan, bahwa ternyata serial Hibiki tidak memuat kiat-kiat menjadi novelis secara eksplisit. 


Justru kiat-kiatnya disampaikan secara implisit. Secara tidak langsung melalui konflik tokoh dan perbincangan mereka sepanjang serial.


Bahwa menulis novel ternyata tidak hanya tentang keindahan kosakata, kerunutan cerita, konflik, tokoh yang kuat, tapi juga tentang bagaimana menggerakkan hati orang lain dengan cerita yang ditulis.


Banyak novelis di semesta Hibiki yang tenggelam, kalah dalam persaingan lantaran cerita yang mereka tulis tidak menyentuh hati pembaca. 


Penulis-penulis terkenal, dipuja hanya karena nama besarnya saja. Sementara karya-karya baru mereka dinilai membosankan—sudah tidak seseru seperti masa jaya mereka dulu.


Membaca serial Hibiki dari satu volume ke volume yang lain, sedikit banyak telah membuka pandanganku mengenai dunia sastra. 


Meskipun dunia sastra yang ditampilkan merupakan persona sastra di negara Jepang. Namun, agaknya kondisi sastra di beberapa negara mungkin realtif sama, termasuk Indonesia saat ini.


Dunia sastra di semesta Hibiki tidak hanya terkait alur cerita dan tulis menulis saja, tapi juga bisnis. 


Karya sastra, baik sastra murni maupun populer, yang berbentuk tulisan tidak mendapat perhatian lebih seperti dulu. Hanya terbatas pada penggemar-penggemarnya saja.


Penerbitan buku lesu. Jumlah penjualan novel juga hanya ribuan kopi. Sementara majalah sastra sudah tidak pernah diterbitkan selama lima puluh tahun terakhir.


Hingga si tokoh utama, Hibiki yang masih kelas 1 SMA di awal cerita, mengirim naskah novelnya‒berjudul Taman Dongeng, ke sebuah lomba menulis novel yang diadakan salah satu penerbit besar, Mokuren.


Novelnya berhasil menarik perhatian para novelis ternama yang menjadi juri. Novel karya Hibiki digambarkan sebagai novel terbaik di semesta Hibiki saat itu.


Pembangunan dunia antara hidup dan mati ditulis begitu indah. Penokohan karakternya kuat serta memikat. Hibiki dapat menarasikan sebuah keindahan ironi kehidupan dalam cerita novelnya melebihi penulis-penulis berpengalaman—lagi-lagi hal ini juga disampaikan secara implisit melalui perbincangan para tokoh. 


Hal itulah yang akhirnya merubah dunia sastra Jepang.


Sastra kembali bangkit. Masyarakat yang awalnya kurang peduli dengan sastra, kembali melihat sastra sebagai suatu keindahan budaya. 


Bahkan karena tulisannya, majalah sastra kembali diterbitkan. Dan Hibiki yang masih remaja dipuja sebagai penulis muda paling jenius.


Hal lain yang tak kalah penting terkait dunia tulis menulis dalam semesta Hibiki adalah peran editor bagi setiap penulis. 


Sebagai pembaca pertama, editor menjadi rekan sekaligus pemandu para penulis dalam membangun cerita yang memukau.


Editor berperan besar dalam proses kreatif para penulis, sehingga karya mereka dapat menjadi yang terbaik.


Meski tidak semua penulis akan menerima sepenuhnya saran editor. Lantaran ada penulis, menuliskan cerita sesuai dengan apa yang memang mereka ingin tulis. Tidak lebih.


Hibiki membuka mata bahwa dunia sastra ternyata sangat kompleks. Banyak hal yang menggerakkan dan digerakkan olehnya.


Karena karya yang baik adalah karya yang dapat menggerakkan hati pembacanya. 


Satu hal penting lain yang mengiringi konflik sepanjang serial Hibiki. Selain kemampuan menulis para novelis itu sendiri. Hal yang membuat banyak orang iri terhadap Hibiki si penulis muda jenius, adalah bakat.








No comments:

Pages