Menyadari Bahwa Kita Istimewa - FLP Blitar

Menyadari Bahwa Kita Istimewa

Bagikan

Senin, 31 Agustus 2020
Oleh Fahrizal A.

Dalam sebuah perjalanan, di dalam mobil, seorang bapak meminta pendapat saya atas suatu hal. Kenapa harus minta pendapat saya?

"Ya ingin tau aja pandangan sampean terkait ini, biasanya punya pandangan berbeda," Jawabnya.

Bapak itu sudah kepala lima. Kami sedang perjalanan untuk menghadiri sebuah acara organisasi, yang sebenarnya--topik pembahasannya--bukan wacana yang selama ini saya baca secara intens.

Namun, menurut beliau, ada suatu keunikan tersendiri, ketika misalnya saya membuat tulisan pasca mengikuti kegiatan tersebut.

Karena menulis

Ya, hal istimewa yang sementara dilihat orang dari saya ialah karena saya menulis. Utamanya menulis esai. Suatu catatan sederhana dari kesan atas acara tersebut.

Saya kadang juga baru menyadari bahwa menulis itu unik nan istimewa. Setidaknya, ketika itu dibaca orang lain.

Memang, kadang-kadang saya harus menulis berita standar. Sementara, yang menurut beberapa orang istimewa, ketika itu ditulis dalam bentuk esai. Ada personalitas yang dimunculkan.

Itulah salah satu alasan kenapa pada akhirnya saya makin mendalami esai, karena ternyata, kadang-kadang itulah hal unik yang dilihat dari kita.

Maka, saya menyakinkan teman-teman komunitas bahwa dengan menulis, kita istimewa. Apa yang kita tulis, khususnya esai, adalah sisi unik yang kita miliki.

Menuliskan sisi lain

Lalu bagaimana agar tulisan kita terkesan unik dan tiada dua?

Esai sebenarnya memberikan ruang untuk itu. Kesan selalu bersifat personal. Hanya, jangan terlampau dibuat-buat demi agar terlihat berbeda.

Kadang-kadang, kesan juga banyak yang sama, standar, sudah bisa ditebak. Jadi tidak menarik lagi.

Padahal, dalam hal apapun--tidak hanya menulis--mencari sisi berbeda itu akan jadi daya tawar.

Dalam dunia fotografi, memotret pada sudut berbeda mampu menciptakan suatu hasil foto yang istimewa. Dalam dunia kuliner, inovasi pada produk kuliner jadi nilai tawar baru bagi penikmatnya.

Inovasi bisa dari segi rasa, kemasan, atau teori marketingnya.

Menulis, agar menjadi istimewa, perlu memunculkan sisi berbeda. Istimewanya, hal berbeda dalam suatu tulisan--khususnya esai--ada pada diri kita sendiri. Kita saja yang kurang menggalinya.

Kita harus mulai sadar bahwa masing-masing kita istimewa. Sapere aude, kata Immanuel Kant. Berani berpikir mandiri, juga berani memunculkan kesan sendiri.

Agar bisa memunculkan hal istimewa, kita perlu memiliki cukup pengetahuan. Pengetahuan soal apapun. Kita juga merenungi kondisi kita, lingkungan, perasaan, yang jika dicampur bisa jadi memunculkan kesan tersendiri.

Misalnya, teman saya yang memiliki cukup pengetahuan soal sejarah, selalu mengaitkan nama-nama dusun, desa dan kecamatan dengan kemungkinan keterkaitan dengan sejarah pada masa tertentu.

Seorang teman yang concern dalam bidang ekologi selalu mengaitkan struktur bangunan dengan dampak ekologisnya. Letak pohon-pohon, serta jenis tanaman yang di sekitar lokasi.

Ketika itu ditulis, akan memunculkan suatu keunikan tersendiri. Biasanya orang punya kesan standar : senang-sedih, bagus-jelek, atau sejenisnya. Orang dengan pengetahuan yang cukup akan memiliki analisis tersendiri atas kesan tersebut. Kenapa dia senang, kenapa dia sedih, kenapa biasa saja?

Dalam suatu acara, selain materi yang disajikan, kadang saya menganalisis basic dari penyajinya, agar terasa greget. Kenapa? Sebab dalam sebuah statement yang disampaikan, atau sikap yang dimunculkan, ada latar belakangnya tersendiri.

Dengan menulis, proses pengamatan dan penghayatan akan lebih tajam dan mendalam. Selamat menulis, selamat menikmati keistimewaan itu. []

No comments:

Pages