Sahabatku, Kekasihku - FLP Blitar

Sahabatku, Kekasihku

Bagikan

Beberapa minggu ini saya intense scrolling akun tiktok. Akun yang kebetulan saya scroll banyak membahas soal pasangan, masalah pernikahan, jomblo, atau perselingkuhan. Pas sekali dengan kondisi saya yang saat ini sedang Long Distance Married. 

Saya jadi ingat waktu masa muda. Saat teman-teman sedang maraknya punya pasangan. Saya malah sibuk dengan aktivitas kuliah dan organisasi. Sampai tak pernah terpikirkan bagi saya harus menikah umur berapa. Tamat s1 saya langsung bekerja mengajar sebagai guru les dan guru SD. Setelah itu saya melanjutkan kuliah di Universitas GadjahMada. 

Tanpa sadar usia saya sudah dua puluh delapan tahun. Usia yang cukup terlambat bagi perempuan untuk menikah. Saya tidak punya kenalan cowok apalagi gebetan. Kalau teman teman organisasi sih banyak. Tapi hanya sekedar partner kerja. 

Akhirnya suatu hari saya dikenalkan dengan seorang lelaki yang usianya 4 tahun lebih muda daripada saya. Kami bertemu hanya sekali kemudian saling mengajukan pertanyaan. Pertanyaan yang saya ajukan adalah, kalau memang serius saya lebih tua dari kamu. Apa kamu keberatan. Dan dia menjawab. Khadijah dan Rasulullah saja usianya terpaut jauh. Tidak ada masalah bagi saya. 

Pertanyaan kedua. Saya penerima beasiswa unggulan dikti dan harus mengabdi sebagai dosen. Saya juga akan lanjut s3. Apakah kamu keberatan. Tidak. Dia menjawab mantap. 

Singkat kata pertemuan yang hanya berlangsung 40 menit itu seminggu kemudian menjadi acara khitbah, dua bulan kemudian menjadi acara akad nikah. 
Sungguh, saat itu saya belum begitu mengenal suami saya. Begitu juga dengan keluarga besarnya. Hari hari saya lalui dengan beradaptasi dengan karakternya. Dari awal menjadi istrinya hingga saat ini setelah lima tahun bersama ada saja ujian kesabaran yang menimpa rumah tangga kami. 

Saya merasakan suami saya bukan tipe orang yang romantis. Tidak suka memberi bunga atau coklat. WA saya yang panjang dijawab ya dengan singkat. Puisi puisi yang saya kirimkan bahkan tidak ditanggapi. Dia juga terkesan cuek. Jarang menelepon kalau tidak ditelpon duluan. Itu membuat saya kesal. Karena saya sedang pada masa ingin diperhatikan diajak ngobrol apalagi soal sastra. 

Suami saya adalah dosen matematika yang nol soal sastra dan bahasa. Suatu ketika saya bertanya. Apakah kamu benar benar mencintai saya. Dia lama menjawabnya. Tak perlu kamu ragu katanya. Aku lebih suka bukti bukan kata kata. Dan ketika saya bertanya apa itu cinta. Dia menjawab cinta itu "tanggung jawab. "

Kesal dengan jawabannya. Saya tidak berharap soal tanggung jawab. Karena kesannya dia hanya menunaikan kewajiban nya saja pada saya. 

Suatu hari dia berkata. Aku mau pindah ke blitar. Biar aku berhenti jadi dosen. Aku mau dagang saja. Seketika saya menangis. 
Begitu besarkah dia berkorban. Apa saya tega dia berkorban sejauh itu hanya untuk saya. Dan saya menjawab jangan mengorbankan dirimu. Kita harus maju bersama. Tidak boleh ada yang saling mengorbankan. 

Di kesempatan yang lain saya kabari Bapak sakit. Dan dirujuk di RS Hasan Sadikin Bandung. Dia berkata, ok aku langsung pesen tiket pulang. Seketika air mata saya menetes. Tidak perlu yah, nanti kalau kondisinya gawat baru saya minta ayah pulang. Jawab saya sambil menahan tangis. 

Suami saya memang tidak bisa merangkai kata. Dia lebih suka bertindak. Action. Dan keputusannya kemarin saat saya minta pertimbangan apakah saya boleh daftar S3 tahun ini. Dia langsung menjawab silahkan daftar saja. Lalu bagaimana dengan anak-anak? Anak anak biar aku yang urus. Yah, apakah bunda bukan ibu yang baik? Aku bertanya dengan hati-hati. Tidak kamu lanjut s3 itu berarti mempersiapkan masa depan anak anak kamu. 


No comments:

Pages