Oleh Fahrizal A.
Para penulis biasanya memakai nama pena, terutama penulis karya sastra seperti puisi, cerpen dan novel. Penulis buku-buku ilmiah, yang umumnya akademisi, menggunakan nama sesuai dokumen negara karena itu tugas kelembagaan.
Lantas apa sebenarnya tujuan memiliki nama pena?
Nama pena atau nama alias/samaran sebenarnya sudah lama digunakan oleh para pujangga atau penulis zaman kerajaan.
Nama itu bisa diambil dari gelar pangkat atau keturunan, bisa jadi memang nama samaran yang khusus digunakan untuk karya tertentu.
Misalnya, Ronggo Warsito. Ronggo Warsito yang kita kenal sebagai penulis banyak serat, salah satu yang terkenal adalah Serat Kalatida itu adalah Ronggo Warsito III. Artinya ada Ronggo Warsito I dan II.
Mpu Prapanca, penulis Kakawin Negarakertagama, juga bukan nama asli, melainkan nama pena. Ada banyak temuan karya tulis terdahulu yang menggunakan nama samaran sehingga tidak diketahui secara pasti siapa nama penulisnya sesuai catatan administratif.
Penggunaan nama pena atau alias itu menunjukkan suatu rasa rendah hati. Karya harus lebih dikenal dari penulisnya, bahkan ada istilah bahwa ketika suatu karya tulis dilahirkan, penulisnya mati.
Nama asli Mpu Prapanca pun baru diketahui setelah melalui suatu analisis filologi. Sebelumnya, ketika Kakawin itu menyebar ke publik, terutama pasca kepemimpinan Prabu Hayam Wuruk dan kerajaan setelahnya, tak banyak yang tahu siapa sebenarnya sosok Mpu Prapanca itu.
Rasa rendah hati itu muncul karena dulunya para penulis adalah sosok Linuwih ; mereka yang diberikan kemampuan lebih untuk melihat masa lalu dan masa depan, termasuk melalui suatu tirakat tertentu.
Nama pena sebenarnya juga berbeda dengan nama panggung dengan tujuan komersil. Nama-nama panggung dibuat agar mudah diingat oleh penonton.
Nama pena dibuat untuk menunjukkan rasa rendah hati dihadapan sang maha tahu, menyakini bahwa tiap karya yang ia lahirkan tak lain juga karena pencerahan dari sang pencipta.
Maka biarlah karya itu memberikan manfaat banyak orang tanpa orang lain tahu siapa penulis aslinya.
Kini, penggunaan nama pena mungkin tidak bertujuan demikian. Penggunaan nama pena lebih layaknya nama panggung, agar mudah diucap dan diingat. Terlebih bagi mereka yang namanya cukup pasaran.
Di era digital, nama pena juga dibuat untuk mengurangi persaingan dalam pencarian di rimba raya google. Nama pena harus khas, bahkan satu-satunya, agar ketika nama itu diketik yang muncul adalah karya dan sosok dirinya.
Sekalipun seseorang memiliki nama pena, namun wajah, domisili, hingga nama sesuai akta kelahirannya pun tetap muncul. Termasuk profil mereka yang sudah masuk Wikipedia.
Sehingga, nama pena kini lebih sebagai nama alias, unique name, untuk membedakan dengan nama lain, mudah diingat, mudah diucap, dan mungkin juga untuk kepentingan komersil.
Pemilahan nama pena juga dibuat beragam, umumnya dengan suatu arti tertentu, yang arti tersebut bisa menjadi doa atas karya-karyanya kelak.
Maka jika kalian para (calon) penulis, yang sudah memiliki nama unik, mudah diucap dan diingat, barangkali tak perlu nama pena.
Namun jika nama kalian adalah nama pasaran yang pasti ada dalam setiap RT, mungkin boleh juga mulai memikirkan nama pena.
Bukan berarti tidak menghargai nama yang diberikan orang tua, namun nama pena adalah doa atas karya-karya yang nantinya kita buat sebagaimana doa atas nama yang diberikan orang tua pada kita. []
Blitar, 24 Juli 2020
No comments:
Post a Comment