Masihkah Televisi Mejadi Tontonan Yang Menyehatkan? (2) - FLP Blitar

Masihkah Televisi Mejadi Tontonan Yang Menyehatkan? (2)

Bagikan



 oleh Sheefa A
 
Dalam tulisan saya sebelumnya, saya menulis beberapa acara yang ada di televisi, yang kebanyakan tidak mendidik. Sayangnya tak hanya 4 acara seperti yang saya tulis sebelumnya. Ada beberap acara lagi di televisi yang menurut saya juga tidak menyehatkan bagi penontonnya. Ada tigat jenis acara yang akan saya tulis kali ini. Jika merasa masih ada lagi yang menurut anda bisa dimasukkan katagori acara yang tidak menyehatkan, silahkan ditambahkan sendiri.

Talkshow.
Program talkshow yang kali ini akan saya bahas adalah sebuah program yang mengedepankan-lagi-lagi-curhat masalah pribadi di depan umum. Tapi bedanya mereka dari kalangan masyarakat biasa, bukan artis. Tentu saja saya tidak perlu menyebutkan nama acaranya, anda pasti akan tahu sendiri jika nanti membaca tulisan saya ini sampai akhir. Konsep acara ini kurang lebih adalah orang yang sedang punya masalah pribadi, entah dengan kekasihnya, teman atau keluarga, yang menurut konsep acara ini sendiri, pihak penyelenggara acara akan membantu menyelesaikan masalah mereka yang datang ke acara ini. Tapi saya tidak tahu secara pasti apakah masalah mereka akan benar-benar selesai atau ini hanya akal-akalan pembuat konsep acara demi rating dan sharing yang ujung-ujungnya pada pembodohan masyarakat?

Di tengah acara, orang yang sedang mempunyai konflik dengan mereka yang datang ke acara ini akan di datangkan. Setelah orang tersebut datang, biasanya emosi-emosi dari keduanya akan muncul. Tidak jarang dari mereka yang kemudian akan marah-marah di depan kamera, karena mengetahui ternyata kekasihnya selingkuh misalnya, dan selingkuhannya kemudian juga diundang di acara ini. Saya, maaf sedikit jahat, ingin sekali mengatakan “Lah situ kok marah-marah di depan kamera? Bukannya kamu sendiri yang ingin datang ke acara ini, dan ingin supaya masalah kamu diselesaikan-ya kecuali kalau kamu hanya ingin mencari sensasi-? Harusnya kamu tahu dong konsekuensi untuk menceritakan masalah pribadi di televisi, yang pastinya pihak televisi juga ingin mendapat keuntungan dari masalahmu.”

Beberapa artikel yang saya baca mengatakan jika acara ini hanya sekedar settingan belaka. Tetapi meski begitu toh kenyataanya program ini tetap tayang sampai sekarang dan mereka medapatkan jadwal tayang pada waktu prime time, bahkan pernah mendapatkan sebuah penghargaan. Saya benar-benar tidak tahu apa yang membuat program ini pantas untuk mendapatkan penghargaan pada kategori program Talkshow, sedangkan nomine lainnya lebih pantas mendapatkan penghargaan, sebut saja acara Hitam Putih yang dibawakan oleh Deddy Corbuzier misalnya.

Saya juga tidak tahu manfaat apa yang bisa diambil dari acara ini. Saya heran dengan orang yang datang ke acara ini dan menceritakan masalah pribadinya ke masyarakat luas. Saya juga heran dengan penggagas acaranya, kenapa harus membuat acara dengan konsep seperti ini. Tapi saya lebih heran lagi dengan orang-orang yang mau menghabiskan waktunya hanya untuk menonton acara semacam ini. Semoga kita bukan salah satunya yaa.

Gosip Artis.
Acara satu ini bisa dipastikan selalu ada di setiap stasiun televisi Indonesia. Kecuali stasiun TV yang memfokuskan dirinya pada news dan TVRI sebagai televisi yang konsentrasi pada hal-hal yang berkaitan dengan keindonesiaan. Memangnya apa saja yang dibahas di acara ini? Namanya juga gosip artis, maka yang jadi bahan perbincangan juga seputar kehidupan artis itu sendiri. Mulai dari artis A yang sedang berpacaran dengan artis B. Lalu mereka diwawancara, ditanyai tentang tips menjalin hubungan kekasih agar selalu romantis dan sebagainya. Tentang artis C yang baru putus dengan artis D, lalu ditanya tentang bagaimana perasaannya setelah putus, atau apa kira-kira yang menyebabkan mereka putus.
Tak hanya itu, bahkan artis yang sedang makan, menonton film di bioskop, memasak, bahkan juga berbelanja pun juga akan menjadi isi dari acara ini. Apa sih sebenarnya spesialnya seorang artis yang sedang makan hingga harus dimasukkan ke dalam berita? Mengikuti apa yang dikatakan seorang Comic (istilah untuk para stand up comedian), mungkin jika artisnya makan beling akan menjadi menarik untuk diberitakan. Sekali lagi maaf ya agak kasar. Hehehe...

Barang-barang yang dibawa artis saat di lokasi shooting pun tak luput dari jeratan para pemburu berita ini. Apa saja isi dompetnya, isi tas, hingga apa saja isi mobilnya juga akan diberitakan.

Kita pastinya sudah bisa memilih bukan apakah gosip artis ini menjadi program TV penting yang harus ditonton ataukah sama sekali tidak penting jadi lebih memilih untuk tidak melihatnya?

Berita.
Kenapa saya memasukkan berita menjadi salah satu program TV yang tidak menyehatkan? Sebelum menjawabnya, izinkan saya mengutip ungkapan Joseph Goebbles seorang Menteri Propaganda Nazi zaman Hitler, “Kebohongan yang diulang-ulang akan menjadi sebuah kebenaran”.

Di bangku sekolah kita pasti diajarkan jika berita mempunyai sifat yang faktual atau sesuai fakta yang pastinya tidak akan melakukan kebohongan, tidak berpihak pada kepentingan atau netral, dan semacamnya. Dan kita tentu saja percaya. Begitu juga dengan saya yang percaya dengan hal tersebut. Hingga akhirnya ketika kuliah, salah satu senior saya di pers mahasiswa bercerita tentang media (termasuk televisi) dalam membuat berita tidak selalu seperti sifatnya yang saya sebutkan tadi. Contohnya saja pada permasalahan “Lumpur Lapindo”, ada media ketika membuat berita ini menggunakan judul “Lumpur Lapindo” dan ada juga yang menulisnya dengan “Lumpur Sidoarjo” atau “Lumpur Porong”. Kira-kira apa yang membedakannya? Kita tahu jika Lapindo adalah nama perusahaan, sedangkan Sidoarjo/Porong adalah nama daerah. Media yang memilih judul “Lumpur Lapindo” seakan mengatakan jika bencana banjir lumpur ini diakibatkan oleh perusahaan, sedangkan media yang memilih judul sebaliknya menganggap bahwa bencana ini adalah bencana nasional bukan akibat perusahaan. Lalu media mana yang lebih memilih menggunakan “Lumpur Sidoarjo” atau “Lumpur Porong” sebagai judul beritanya? Jika belum tahu, silahkan cari tahu sendiri ya. Lalu silahkan cari tahu juga apa hubungan media tersebut dengan PT. Lapindo.

Jika kita mengingat pemilu presiden tahun 2014 lalu, dan mencermati berita yang dibuat oleh media, mungkin memilih untuk mematikan televisi dan memilih tidur adalah pilihan yang tepat. Ada beberapa media yang begitu condong kepada salah satu calon presiden pada saat itu. Berbagai berita mereka ulang-ulang untuk membangun citra calon ini, dari waktu pagi sampai ketemu pagi. Menjatuhkan pihak lawan juga dilakukan berulang-ulang. Berita-berita ini mereka sisipkan di berbagai program mereka, entah yang dalam bentuk news atau talkshow biasa bahkan sampai acara seperti Stand Up Comedy.

Mereka terus memberitakan prestasi sang calon meskipun itu biasa saja. Persis seperti yang dikatakan Joseph Goebbles tadi, kebohongan yang dilakukan terus menerus akan menjadi kebenaran, tapi di sini bedanya hal-hal biasa saja yang diulang-ulang dan ditambah dengan sedikit bumbu-bumbu akan menjadi hal yang luar biasa. Bukankah sesuatu yang berulang-ulang dapat menghegemoni kita serta merasuk ke alam bawah sadar kita. Jika sudah begitu bisa dipastikan hal tersebut akan mempengaruhi sudut pandang kita dalam melihat dan menilai situasi.

Akhirnya berita-berita yang mereka buat sukses mengantarkan sang calon memenangi pemilu. Masyarakat percaya begitu saja dengan berita-berita yang mereka buat tanpa melakukan kroscek terlebih dahulu apakah berita tersebut bisa dipercaya 100% atau mereka sedang tertipu karena ada maksud lain dibalik pembuatan berita tersebut.

Tak berhenti sampai disitu, ketika sang calon terpilih dan mulai mengenalkan para menterinya, TV ini kembali beraksi. Dalam sebuah talkshow mereka mengundang beberapa ahli untuk membahas tentang gaya berpakaian sang presiden terpilih dan para menterinya. Mereka membahas tentang kemeja berwarna putih sampai lengan kemeja yang dilipat. Wow. Memang sebegitu pentingnya ya membicarakan tentang lengan kemeja yang dilipat sampai mengundang beberapa ahli?

Saya tidak sedang membenci siapapun ketika menulis ini. Saya hanya kecewa dengan sebuah media dalam membuat berita yang harusnya tidak memihak pada pihak manapun terutama permasalahan politik, tetapi ini malah sebaliknya. Tapi tidaklah mengherankan jika media satu ini begitu getol untuk membangun citra salah satu calon presiden tersebut. Kita mengetahui bersama jika pemilik media ini juga merupakan ketua umum dari salah satu partai politik, sedangkan partai politiknya sendiri memang berkoalisi dengan calon ini. Take and Give. “Aku membangun citramu di TVku, nanti kamu kasih aku jatah dalam kabinetmu”. Kurang lebih seperti itu. Dan sampai hari ini pun, televisi ini tidak berubah dalam berita-beritanya. Masih tetap membuat pencitraan terhadap pemerintah dan program-programnya. Hal ini mengingatkan saya pada nasib media di zaman Orde Lama dan Orde Baru. Media juga digunakan sebagai alat untuk mendukung kekuasaan pemerintah pada saat itu.

            Maka sejak hari itu, tepatnya ketika senior saya di pers mahasiswa mengatakan jika berita di media tidak netral, saya lebih hati-hati dalam melihat atau membaca berita. Saya memutuskan untuk tidak langsung percaya pada berita mereka, meskipun itu media nasional sekalipun. Biasanya saya terlebih dahulu melihat TV atau koran apa yang memberitakan, dengan begitu saya juga bisa tahu kenapa media ini pro dan kenapa media ini kontra terhadap pemerintah. Jadi saya tidak akan menelan bulat-bulat apa yang mereka beritakan. Bahkan kalau saya benar-benar muak dengan pemberitaan sebuah televisi maka dengan cepat saya akan segera mengganti salurannya atau memilih untuk mematikan televisi dan menggantinya dengan kegiatan yang lain.

Pada berita di televisi juga tidak jarang terlihat sebuah peristiwa yang sebenarnya salah tapi dibuat seakan-akan benar, sedangkan yang benar dibuat menjadi salah. Tentu saja mereka tidak hanya melakukannya sekali, tapi berkali-kali hingga kita yang menontonnya tidak sadar jika berita tersebut sudah dibolak-balik kebenarannya. Jika acara berita yang diharapkan bisa memberikan kecerdasan bagi penontonnya saja seperti ini, lebih baik kita juga tidak usah melihat berita.

            Dari ketujuh acara televisi yang saya ceritakan, saya tidak bermaksud untuk mengeneralisir bahwa semua TV dan programnya seperti itu. Saya masih melihat ada televisi yang tidak mengikuti arus ini. Mereka punya sinetron yang “lebih bisa ditonton” dari pada sinetron TV lainnya, yang biasanya dikonsep dalam bentuk sitkom dengan permasalahan yang diangkat juga lebih sederhana dan lebih masuk akal, tidak melulu tentang cinta. Stand up comedy juga menjadi pilihan yang bisa ditonton. Selain itu ada juga program komedi yang diisi oleh pemain yang memang cakap dalam melempar jokesnya, tanpa harus menceritakan masalah pribadi di atas panggung. Masih ada juga berita yang menyehatkan. Mereka jarang bersentuhan dengan berita politik. Mereka lebih sering memberitakan tentang anak-anak muda Indonesia yang berprestasi atau ide-ide kreatif lainnya dalam menangani permasalahan masyarakat yang kompleks.

           Tapi mengingat acara TV yang menyehatkan jauh lebih sedikit dari pada acara yang tidak menyehatkan, saya secara pribadi lebih setuju dengan pendapat teman saya yang memilih untuk tidak membeli televisi nanti ketika berumah tangga. Pemilik televisi dengan program-programnya ibarat penjual dan barang dagangannya, sedangkan kita sebagai penonton ibarat pembeli. Sebagai seorang pembeli tentu kita punya hak untuk memilih barang mana yang akan dibeli. Seorang pembeli pasti juga akan memilih barang yang bagus dan bermanfaat baginya. Jika sebuah barang memang tidak bagus, maka ia akan meninggalkan dan tidak akan membelinya. Tapi sayangnya masih sedikit sekali “pembeli” yang cerdas dan bisa memilih “barang” mana yang bagus dan bermanfaat baginya.

           Jika kita kembalikan pada undang-undang penyiaran, sudahkah acara televisi kita sesuai dengan tujuannya yang menumbuhkan sikap mental masyarakat Indonesia? Bagaimana mental akan tumbuh jika disuguhi dengan adegan putus cinta lalu menangis berhari-hari seakan-akan ia menjadi orang yang paling menderita sedunia? Sudahkah memperkokoh persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia? Bagaimana bisa mempersatukan masyarakat Indonesia yang mempunyai beragam warna kulit, jika konsep cantik dan ganteng adalah milik mereka yang berkulit putih, rambut lurus, sedangkan mereka yang tidak adalah sebuah “pelanggaran”? Sedangkan kita tahu sendiri jika saudara kita di Indonesia bagian timur kulitnya berwarna gelap, khas dengan rambut keritingnya. Saya juga tidak akan membahas tentang apakah acara televisi tersebut dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan masyarakat Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jauh sekali.

No comments:

Pages