KISAH SEBENTAR (3) - FLP Blitar

KISAH SEBENTAR (3)

Bagikan

Oleh: Adinda RD Kinasih


Ayla makin keheranan saat kubelokkan motor ke pelataran sebuah gedung berlantai dua.



“Ayo turun,” ucapku setelah memarkirkan motor. Ayla menurut, meski ada kebingungan yang tersirat dari raut wajahnya. “Inilah tempat berkumpulnya semua kenangan kita.” sambungku pelan. Ayla menggelengkan kepalanya beberapa kali. Aku tahu dia masih belum mengerti maksudku.



“Lihat.” telunjukku mengarah pada sebuah papan nama yang tak jauh dari tempat kami berdiri. Kini Ayla terbelalak. Ya, aku mengajaknya ke sini, tempat pertama kali kami bertemu. Gedung SD kami dulu. Kupandangi Ayla yang masih terpaku di tempatnya. Ada kaca-kaca air yang mulai pecah di sepasang mata itu.

“Regan…aku nggak nyangka kamu…bakal ngajak ke sini…” ucapnya terbata. Lagi-lagi, aku hanya bisa tersenyum.



“Ayo masuk, Ayla.” ajakku sambil menggenggam tangannya. Kami berjalan bersisian dalam diam.



Beberapa saat kemudian, langkah kami terhenti di lapangan. Aku duduk di salah satu sudutnya, sementara Ayla mengambil tempat di sampingku. Sore itu sekolah sudah sepi, karena siswa pulang lebih awal. Akhir-akhir ini, hampir semua sekolah di Blitar sedang musim ujian.



Menit demi menit berlalu, tapi tak ada sepatah kata pun yang terlontar dari bibir kami. Entah mengapa lidahku kelu. Semua kata yang telah kususun sejak berangkat dari rumah tadi mendadak lenyap.



“Regan…aku kangen banget sama kamu…” sontak kutolehkan kepalaku ketika mendengar kalimat itu. Sesaat aku tersenyum, namun kemudian wajahku berubah serius lagi.



“Aku masih nggak percaya, kamu bisa ada di sini sekarang, Ayla.” ujarku. Ayla terkekeh pelan.



“Aku juga nggak nyangka bisa main ke Blitar, terus sekarang ada di sini. Sama kamu…” tatapan matanya berubah sendu. Aku tertegun. Kebekuan kembali hadir di tengah-tengah kami.



“Eh, kamu ingat nggak, dulu aku suka main bola di lapangan ini.” kataku tiba-tiba, mencoba mencairkan suasana. Ayla lagi-lagi tertawa, matanya menyapu sekeliling.



“Iya. Dulu kamu mainnya selalu mau menang sendiri. Terus suka jahilin teman yang lain juga. Tapi justru nggak pernah berani usilin aku!” kelakarnya sambil menjulurkan lidah. Aku nyengir menahan malu. Tak kusangka Ayla masih mengingat semuanya.





“Ayla…aku mau cerita sesuatu…”



Ayla mengangkat wajahnya yang sedari tadi tertuju pada layar ponsel. “Ya? Apa?”



Kupejamkan mata sebentar. Kuhela napas panjang. Kemudian mulai bicara.

”Enambelas tahun lalu, pernah ada seorang bocah lelaki kecil yang sangat menyukai seorang gadis sebayanya. Gadis itu berwajah manis, dengan senyum yang tak pernah bosan singgah di bibirnya. Rambutnya selalu berkepang satu. Tutur katanya lembut dan sabar, tapi dia akan berubah tegas dan berani, setiap kali sifat usil lelaki kecil itu mulai kambuh. Dan anehnya, lelaki itu selalu menuruti perkataannya. Lelaki itu pun tak pernah marah, meski gadis berkepang satu itu punya nama panggilan yang berbeda dengan lainnya. Lelaki kecil itu mulai sadar bahwa ia sangat menyayangi gadis berkepang satu itu,”



Aku terdiam, sejenak memandang Ayla yang terpana.

“Tapi, pada suatu siang, ada sebuah kejutan yang diberikan gadis itu. Dia berkata di depan kelas, bahwa hari itu adalah hari terakhirnya bersekolah di situ. Lelaki itu tersentak, dan hanya sanggup terdiam. Bahkan dia tak sanggup beranjak dari bangkunya untuk mengucapkan perpisahan pada gadis itu. Lelaki itu tak pernah merasa sesedih itu sebelumnya. Tapi hari itu, untuk pertama kalinya, airmata lelaki nakal itu mengalir tanpa henti. Untuk pertama kalinya ia merasa…hmm, patah hati…”



Ayla memandangiku tak percaya. Sepasang matanya sudah bertelaga sejak awal aku bicara.

Kugenggam erat kedua tangannya.

“Aku sayang kamu, Ayla. Bahkan sejak hari pertama kita bertemu di SD saat itu. Tadinya kupikir, rasa itu akan hilang seiring dengan kepindahan kamu. Bahkan beberapa tahun setelah itu, aku coba melarikan hati ke hal lain, bahkan pada orang lain. Tapi, aku nggak bisa bohong, bahwa ada satu ruang di sini yang pintunya nggak bisa dibuka. Karena ada satu penghuni di dalamnya. Kamu, Ayla.” kuakhiri kata-kataku dengan selengkung senyum. Kini hatiku melega.



Tapi Ayla tak tersenyum. Justru isaknya yang makin jelas tertangkap telingaku. “Aku juga sayang kamu, Regan…."



Seharusnya, jawaban Ayla bisa melebarkan senyumku. Tapi, ada sesuatu dalam tatapan matanya yang berhasil memakuku di tempat. Membisu. Ada sesak yang melingkupi hatiku lagi.

Bersambung...
Baca part sebelumnya di sini.

No comments:

Pages